Setiap peristiwa, datang dan lenyap memekak dalam
keheningan malam. Ini malam merupa kesunyataan, dalam liturgi sunyi yang
membekas pesan terakhir pada inbox akun Facebooknya “Skrg
tlg “biasa” aja. Anggap km g prnh ungkapin apa2 n q g prnh tw apa2. Tu kl km
pgn qt baik2 aja. Maaf n mksh.”
Mungkin, seberkas senyumnya tak akan dirasanya lagi,
tak akan miliki, bahkan kala harapan adalah sejenis kemerdekaan untuk memilih.
Minggu-minggu ini tubuhnya gagu dan kaku, hanya
buku-buku jadi pelipur sunyi dan laranya, menemani setiap sepi waktunya—yang
mulai terasa disela hatinya yang merapuh, lepuh, hilang, tanpa jejak petanda.
Terkadang cinta memang seperti boomerang, membunuh
sang tuan dengan tajam ujung pusarannya yang mecengkeram angin. Tampak selongsong
ketiadaan didepan matanya ketika semua orang ramai dengan segala kepentingannya
masing-masing.
Malam kian tak merupa, pagi pun enggan menerakan
warnanya. Saat gelap mulai menyelubung mata, saat terang tak kunjung mengurai
hitam oleh terang cahaya. Bisakah cinta datang tanpa pembatasan dan keangkuhan?
Atau cinta itu hanya sejenis kepalsuan yang sengaja datang untuk melukai jiwa? Barangkali,
rasa sakit di jiwa tak mudah terhapus oleh segala macam penawar, ia terus
terngiang dalam jejak-jejak waktu yang telah hilang pada kesadaran, pada
ingatan yang entah dimana tempat penyimpanannya.
Pada panas mentari yang menyembur dalam kemarau, ini
kah sejenis mala? Larap yang mana akan jadi saksi bisu sayu yang mengeleparkan
hidupnya? Hidup dalam mati, mati dalam kehidupan, epifani wajahnya memudar
dalam temaram lampu yang berpendar sejak matahari tergelincir hingga terbit
kembali diarah timur cakrawala. Menunggu? Apa lagi yang mesti ditunggu?
Tapi malam adalah sejenis hampa, yang tak terasa,
bersiap untuk kecewa, menangisi peristiwa, bersedih dalam sepinya absurd suasana. Seperti suara gitar yang minor bahkan semakin parau dan sumbang memekak
ditelinga. Harapan, mungkin janji atau apa lagi yang harus dilakukan untuk
mendapatkan cinta sejati yang semakin utopis?
Sebaris kata barangkali bisa menyebabkan perang,
sekilas pandang mungkin menyembulkan cinta. Palsukah sebuah mata memandang
ayunya wanita? Terkadang wajah cantik justru menyebabkan petaka, tapi ia juga
anugerah dari yang Ilahi, semacam aletheia (penyingkapan) yang maha tinggi itu
pada sublimasi cerapan wajah ayunya.
Entahlah, semua adalah aporia, tak akan dapati,
tak akan miliki, andai kata ia-lah yang terbaik itu, Tuhan akan berikan yang
terbaik pada setiap hamba, biarlah kesedihan menjadi biasa agar tak kuasa dalam
kesombongan dan memacu kehendak yang terbaur bersama rasionalitas yang
irasional, tak ada makna, hanya ada kehendak, yang datang tanpa kesadaran,
selagi waktu terus berjalan, kini dan di sini, buka lagi lembar demi lembar buku yang membuka
cakrawala pengetahuan, pada hijau hujan dan barisan kejadian yang inginkan
sebuah kebaruan dalam hidup, untuk kita taja, bersama, pada sebuah perigi yang
berisi jernihnya air yang tak akan kering sesampai nafas tubuhnya, habis ditelan
waktu, ditelan kepalsuan cinta yang semau-maunya.
“…dari
setiap jeda kata yang tersisa, aku akan mengenalimu dalam warna-warna cahaya,
dalam cengkeraman tanya yang perlahan mulai terbuka..” seperti itulah seorang kawan memberi petuah dalam sebuah statusnya, tak
langsung, hanya sejenis epilog yang membuka tabir harapan yang kian lenyap dan
menghilang mengiring wajah ayu itu memantul pada temaram rembulan, tempias pada jendela dini hari ini.
Sampai bersua di sana, pada balairung sunyi tembok
ungu, yang merupa jalan lain menuju bahagia […]
Komentar
Posting Komentar