Langsung ke konten utama

Penciptaan, kebebasan berfikir, dan cinta



Langit sore tampak begitu anggun, menyemburkan warna biru dan secercah merah muda lamat menudung. Dicakrawala, matahari sudah bersiap tenggelam meninggalkan gelap, momen peralihan seperti ini adalah momen dimana kebanyakan orang bersantai, berleha-leha, atau sekedar bercengkerama menunggu gelap menyeka, atau apa saja, yang jelas selalu saja masalah datang daripadanya.
Aku hanya duduk-duduk diruang tamu, menunggu sesuatu yang tak aku tahu, hanya menikmati sebatang padat tembakau dan sesekali kulihat keluar mencari-cari masalah. Tertegun aku melihat hamparan bukit dan gunung prahu yang begitu eksotis, menyublimlah indahnya dalam relung sadar dan persepsi yang coba aku cerapi tetes-tetes makna yang membuih dari ayat-ayat kauniah-Nya itu. Terpekurlah aku dalam hening hijau membiru, pada suasana seperti ini terasa bagai lahir kembali.
Seperti ketika sederet nada muncul dalam sebuah komposisi musik: nada yang satu tak disebabkan, atau menyebabkan, nada yang di sebelahnya; masing-masing hadir, terdengar, entah dari mana. Di situ aku berfikir, hidup bergerak didorong oleh élan vital yang kreatif, dan yang tak terduga-duga datang, memukau, bukan oleh satu titik yang kukuh di ujung sana dari sebuah garis lurus. Tak ada garis lurus. Semuanya “kejadian”. Dalam pemikiran Deleuze, “kejadian” sama saja maknanya dengan “penciptaan.”
Aku jadi berfikir tentang penciptaan, merenungkan kembali ihwal kehidupan. Tentang asal-usul (arkhe) dan segala kemungkinan dalam ruang-waktu serta gerak pendulum sejarah menuju telos. Kehidupan memang selalu tak lempang, banyak kejadian yang barangkali tak terduga. Ah, aku jadi teringat sebuah ayat pada Al-Quran, dan segera kuambilnya dirak buku. Ku buka dan kucari lagi pada tiap lembarannya, dan ya…Al-Anbiya (104)
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya.”
Aku hanya berfikir bahwa sejarah yang terjadi, setiap kejadian, setiap tragedy, semuanya adalah rahmat. Sebuah rahmat untuk direnungkan dalam hening soliter diri sebagai ihwal langkahkan kaki menuju jembatan masa depan. Sebuah rahmat atas kebebasan manusia dalam menjalani hidup dengan anugerah akal pikiran yang begitu luar biasa. Maka dalam kebebasan itu terletak tanggung jawab, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita nanti. Sedetik, semenit, sejam, sehari…kita tak tahu, sebab semuanya akan terus mengalami perubahan, penuh kejutan dan patahan.
Sebelum tiba akhir itu—Yang-akan-datang. Dengan sejumput janji dan komitmen akan sebuah “iman”, sebuah iman yang terus bergerak dengan tak mematok pada sebuah ketetapan yang menyegel kedatangan “yang-lain.” Tak ada kebenaran yang tertutup dalam dogma kaku yang diklaim sebagai kebenaran tunggal yang melampaui segalanya, kecuali pada yang-Ada pada dirinya sendiri (Das ding an-sich), yang tak diketahui, dalam ketiadaannya yang “ada”.
Disanalah terletak simpul waktu, dalam kehidupan manusia penuh enigma. Jika demikian adanya, barangkali sejarah yang linear sebagaimana dipahami dalam dialektika Hegel justru kadang-kadang tak tepat—jika ia menjadi sebuah narasi besar yang mencakup semua. Sejarah memang bisa diprediksi potensialitasnya, tapi kita tak tahu pasti, dan semuanya hanya akan kita ketahui ketika sudah atau sedang terjadi, sebuah momen kekinian-kedisinian—imanensi.
Dan ya! Kitalah pencipta perubahan dalam ruang-waktu itu, kitalah agen sejarah yang bebas mencipta apa saja demi kemajuan peradaban. Tapi, Leo Tolstoy pernah juga mengatakan: “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya.” Ini pula yang tertera di surah Ar-Raad ayat sebelas. Maka, perubahan hanya jadi utopia jika kita sendiri yang mencita-citakan perubahan tak bisa merubah diri jadi lebih baik.
***
Tiba-tiba saja, bapakku yang sudah mulai beruban dan berkeriput pada lekuk-lekuk wajahnya, datang dan menemaniku duduk diruang tamu.
“wah, saiki anakku wis gedhe yo, wes due pacar durung ndra?” sambil agak tertawa dengan sorotan matanya yang  menembus udara…
Aku terkaget-kaget dan agak heran, karena tak biasanya bapak membahas masalah pacar-pacaran, paling biasanya lebih memiih topik tentang masa pensiunnya, usahanya yang mulai merangkak serta sesekali masalah agama.
“ah…dereng pak, mbuh dereng tak pikir…”
“yo, sing penting kuliahmu ki dirampungke sek, yo nek golek pacar ki sing agamane apek, solehah, sing keno dijak bebrayan, lan koe ki rasah kakean mikir bab agama, wes melu wae opo lumrahe…”
Adzan maghrib tanpa sadar sudah berkumandang, begitu jelas dan nyaring karena letak mushola tepat didepan rumahku. Sesegera aku beranjak menuju mushola, tinggalkan pembicaraan yang sebetulnya masih ingin aku elaborasi.
Selepas keluar dan selesai berdoa, aku lihat petang yang temaram begitu teduh diiringi cahaya bulan yang berpendar menyuluh kegelapan—dimana mata tak bisa melihat dunia, dimana hati tak mampu mencerap fenomena yang tak henti-hentinya mengeluarkan fragmen-fragmen kejadian yang jadi bahan renungan dan keindahan estetis dari ejawantah aksara.
Apa yang aku dapati hari ini adalah rahmat yang harus disyukuri, nikmat tiada tepermanai, karena setidaknya aku masih bisa merasakan kebenaran cinta dan kebebasan berfikir.
Mungkin, kita selalu berharap lebih, menginginkan segalanya sesuai kehendak dan keinginan yang tiada batas itu. Tapi aku sadar, kebebasanku selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain.  Apabila kehendak yang selalu saja tak bisa puas itu harus selalu aku turuti, bukan tak mungkin aku hanya akan menghancurkan diriku sendiri, barangkali juga ada orang lain yang terkena imbasnya. Karena dunia ini structural, setiap apapun yang kita lakukan akan berakibat pada sesuatu yang lain diluar diri kita—entah itu langsung ataupun tak langsung.
Aha..aku juga jadi berfikir tentang kecenderungan hidup yang serba pragmatis akhir-akhir ini. Memang orang butuh makan, butuh kebahagiaan, dan butuh ketenangan, aku tahu itu. Tapi kadang aku sendiri tak paham, kenapa semua seolah memberhalakan jabatan, uang, harta, dan tahta untuk mencapai semua itu? Seolah bahagia adalah yang kaya harta, istri dimana-mana, mobil gonta-ganti, serta ilusi dunia yang bermacam banyaknya itu, dan ugahari hanya jadi bahan olok-olok para motivator yang semakin gencar mengkhotbahkan kesuksesan material diseminar-seminar itu. Benar, kita harus kaya; kaya harta, tapi juga tak kalah penting adalah kaya ilmu, kaya jiwa. Itu semua hanya akan terwujud dengan kerja keras dan kemauan. Bekerja untuk kehidupan lebih baik yang tak hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga kepada semua manusia.
Demikianlah berfikir filosofis menjadi tak berguna lagi, seringkali dianggap berbahaya, dan menyebabkan orang jadi gila…
hmmm…Apa sebetulnya pemikiran itu hingga sebagian orang tua begitu khawatir jika anaknya jadi pemikir yang bebas?
Adakah memang pemikiran itu begitu berbahaya dan mengancam generasi muda kita?
Bukankah berfikir dalam agama justru dianjurkan?
Lagipula anugerah akal yang luar biasa ini kenapa kita sia-siakan hanya karena beban hidup yang semakin berat, apakah hidup ini sekedar siklus yang itu-itu saja?
Adakah yang lebih bermakna daripada lahir, tumbuh dewasa, menikah, bercinta, mencari uang, makan, beranak-pinak, dan menjadi tua lalu mati?
Ah, barangkali benar kalau orang berkata bahwa sebenarnya pemikir itu hanya seorang yang kurang kerjaan?
Ibn Arabi, sang guru agung sufi, mengibaratkan seorang pencari Kebenaran, pemikir, itu sebagai “tamu dari langit yang melintasi ladang hati.” Dalam hal ini, pemikiran tidak cuma mengacu kepada proses otak, atau sesuatu yang dapat kita pikirkan, atau kita renungkan. Pemikiran mengindikasikan sesuatu yang muncul dari keheningan batin, setiap saat dalam diri kita, di dalam kesadaran batin kita—solilokui.
Bahkan, Platon—sang filsuf yunani termasyur itu—menganggap bahwa dengan mendayagunakan akal, kita bisa, seperti kata-katanya dalam Thaetetus: “menyerupai sedekat mungkin dengan yang ilahi.”
Ya…dengan banyak berfikir sejatinya bukan menjadikan orang gila, tapi justru bijaksana. Mungkin ia gila, tapi bukan gila dalam arti hilang kesadaran mental. Barangkali karena ia keluar dari “keumuman” yang makin hari makin banal dan penuh dengan kelindan nafsu yang justru  jadi “gila” itu sendiri.
***
Tapi dengan banyak berfikir pula, aku juga tak tahu makin hari justru betambah absurd dan aneh saja. Terutama akhir-akhir ini aku sering tertikam dalam sepi dan kesendirian yang tak enak. Entah beberapa kali aku dihinggapi rasa malas menyentuh buku-buku dan membuka tiap paginanya yang berisi topografi dunia kehidupan yang luas, cakrawala yang penuh imajinasi dan jalan menuju kebenaran sejati.
Mungkin karena cinta? Ah, tak tahu juga. Cinta itu memang tak bisa dilogika dengan segala bentuk metodenya. Tak bisa. Seperti kata Moses Maimonides bahwa cinta adalah kondisi tanpa pengetahuan, ya itulah barangkali kenapa ia buta. Seperti hatiku yang tak bisa berbohong untuk terus memancarkan rasa yang ku cerap dari sebuah wajah yang hingga kini masih aku tunggu. Sungguh selama hidupku aku tiada pernah merasakan sebuah rasa sedalam ini, hingga kadang aku serasa mati sendiri dalam sepi dan hanya menemukan sosok yang aku sayangi itu dalam tirai mimpi.
Ah…mungkin aku sudah terlambat, dia sepertinya semakin hari semakin membenciku. Aku tak tahu, dan aku hanya bisa merasakan cinta itu meski menyesak di dada, anehnya tiap kali aku ingin meninggalkan dan menghapusnya dalam kesadaran egoku, justru pada momen itu bayang wajahnya semakin mendekap dan dekat. Barangkali, itulah nikmat yang musti aku syukuri… ya, mungkin saja, bila Tuhan mengizinkan perasaannya akan berubah dan menerima diriku sebagai belahan hatinya. Entahlah, aku hanya bisa menunggunya dalam waktu yang semakin bisu… 
Kehidupan akan terus berjalan seiring bergulirnya waktu yang tak bisa kita hentikan. Terkadang sesuatunya terjadi tak selurus harapan, antara noesis (pikiran) dan noema (yang difikirkan) tak selalu sejalan. Demikianlah, realitas selalu penuh dengan kejutan dan patahan. Tiada pernah terduga kepingan-kepingannya bahkan apa yang dianggap orang indah bisa terasa hambar begitu pula sebaliknya.
Mengalirlah saja, biarkan setiap cakrawala meleburkan makna-nya pada intensionalitas ego kita. Kepasifan membijak, terus menangguhkan satu langkah yang selalu berkekurangan. Menanti keindahan datang seraya menjalaninya dengan senyum dan usaha kreatif untuk selalu men-jadi.
Pada akhirnya, aku hanya bisa melupakan untuk mengingatnya kembali. Menemukan dan menghadirkan jejak-jejaknya yang sewenang-wenang, kadang ia datang dan kadang ia pergi. Tanpa pernah aku mengundangnya, tanpa pernah aku mengusirnya. Barangkali itulah kebenaran akan kesejatian cinta, semuanya, hanya sebuah ketakmungkinan yang hadir dalam ketakhadirannya yang mungkin […]

Kaki gunung Prahu, 4 September 2012

Komentar

Populer