-->
“We do not know what we want and yet we are responsible for what we are - that is the fact.” —Jean-Paul Sartre
Malam ini aku hanya ingin mengingat kembali—anamnesis—atas semua jejak yang pernah aku tinggalkan dalam waktu. Aku ingin melihat semua orang yang pernah menjalin tatapan denganku, yang memberikan warna dan inspirasi hidup. Semua orang yang pernah aku kenali, yang mengisi cerita hidupku yang hanya sekali, yang pernah mencintai, pula membenciku. Semua rentetan peristiwa yang pernah hadir dan terlupa, bukan untuk aku ulangi dan rekonstruksi kembali, tapi untuk aku renungkan sebagai jembatan menuju kehidupan yang akan datang.
Sebuah episode kehidupan yang mungkin begitu berarti. Saat sedih, berpilu, tangis, penuh cerita, keluh-kesah, sedikit janji-janji, sedikit umpatan kesal, sedikit merajuk, segenggam hasrat, secuil suka cita, secubit cemburu, secicip ketakpercayaan, sebuku cinta, serta masih banyak lagi yang bergejolak menjadi satu dalam gelombang-gelombang cahaya yang mencari salurannya sendiri dalam sengkarut udara yang laknat.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu dengan pesan-pesan singkat yang saling mengunjungi dan pembicaraan hangat. Diam mengeja suasana yang sunyi hanya ditemani buku-buku yang terserak, begitu banyak hingga hanya beberapa saja yang sudah ku khatamkan. Sementara skripsi yang menjadi tanggung jawab masih aku cari silang-sengkarut teorinya yang amat bikin kepala lumayan memutar, post-colonialisme yang begitu ambigu dan penuh dengan enigma, butuh pikiran dan tenaga ekstra untuk mengurainya. Ah, lupakan sejenak. Didepanku sudah terpampang dilayar monitor foto-foto kenangan masa lalu. Terkenang sudah semua dalam gambar-gambar yang beku. Wajah-wajah itu seolah berbicara sendiri mengatakan apa saja yang tak terkatakan saat lalu, berbicara jujur tentang rasa yang sempat tersirat.
Malam seperti ini memang begitu tepat untuk menenggelamkan diri. Gumpalan-gumpalan kisah ku ini, sadar atau tak sadar, telah sisakan alur narasi yang kadang absurd dan penuh dengan ketakjelasan. Karena setiap pertemuan akan menimbulkan kesan, setiap pertemuan akan menyisakan pencerapan, yang bisa jadi dalam diri terbesit ketertarikan. Terutama pada lawan jenis yang sering terjumpa dalam keseharian. Tapi anehnya seketika ia kabur entah kemana ketika sebuah cerita telah jadi masa lalu. Terkadang ada secercah kesal, senyum, serta kekecewaan.
“Kenapa tak dari dulu ya?”
Ya, begitulah sesal selalu datang diakhir perjalanan. Tapi akhirnya tak ada yang perlu disesali, kini yang terpenting bukan meratapi hidup yang terus berjalan tapi bertanggung jawab dan menghadapi segala konsekuensi atas apapun yang akan atau telah terjadi.
Aha…aku jadi ingat tadi pagi. Saat ku coba menghubungi seseorang yang merenggutkan hatiku. Entah aku bicara apa, aku juga tak terlalu mengerti. Tapi sepertinya ada sebuah rona kemuakan akan diriku yang hina ini. Entahlah, selepas itu aku jadi tak percaya tentang cinta. Mungkin karena aku tak tahu tentang bagaimana merayu wanita, bersikap sok romatis, liris, dan sok gaul dengan pakaian serba modis beserta tongkrongannya. Atau mungkin karena terlalu lama aku berpacaran dengan buku-buku, sehingga aku hingga kini tak terlampau mengerti tentang wanita. Ya begitulah…Kadang didepan mereka seperti mewedarkan harap, tapi kadang mereka membuang harapan dengan nada satire dan kata-kata yang begitu melukai sukma.
Dan aku hampir yakin, dia akan meninggalkanku tanpa kabar, seperti ketika aku mengunjunginya tanpa pemberitahuan kala itu. Satu yang perlu ku tekankan agar kalian mengerti, seorang yang ku cintai itu meninggalkanku dalam keterasingan dan rasa kehilangan yang absurd dan mengerikan sakitnya. Tak perlulah aku jelaskan kenapa demikian, tinggal kalian pecahkan “gumpalan-gumpalan” itu dan segalanya akan kalian dapatkan di situ.
***
Dalam kamar sewaanku yang sempit dipojokan kota Jogja yang mulai bising dengan kemacetan, aku sering terjerat dalam sepi. Untunglah saudara kandungku sering bersama, sehingga rasa sepi sedikit terobati. Seringkali pula kontrakan ini jadi sarang para musisi yang sedang membangun jati diri dikota ini. Kebetulan adikku itu juga berkecimpung dalam dunia musik, dan seringkali pula aku mengagitasinya untuk bermain musik sebagai media perlawanan.
Setidaknya itulah yang coba aku petuahkan padanya, sebab hari ini belantara musik mainstream cenderung mengumbar lagu cinta yang tak bermakna, serta meluruhkan kesadaran untuk memikirkan bangsa yang sedang krisis multi-dimensi. Musik kita cenderung tren-trenan, hari ini melayu-melayuan, esok korea-koreaan, dan sekarang boyband-boyband-an. Semuanya hanya jadi budak kapitalisme yang mereduksi musik hanya sebagai ajang cari uang dan pamer citra. Padahal sejatinya musik selain memiliki ruang estetika tersendiri ia tak bisa lepas dari tanggung jawab sosial, pendek kata musik harus bermuatan tema-tema sosial, entah itu kritik, atau menyuarakan moral dan kemanusiaan, bukan hanya sekedar mengumbar cinta yang sering terpampang di TV itu. Cinta hanya sebagai dalih agar lagunya laku. Manusia memang butuh uang dan cinta tapi bukan berarti kita jadi seorang yang, meminjam istilah Paulo Freire, berkesadaran naif dan tak tahu apa yang sedang menimpa orang banyak. Dalam hidup uang bukan tujuan utama.
Malam semakin melarut dalam bunyi gitar yang mengiring lagu “Sing for me” dan beberapa kali lagu-lagu Oasis dan U2. Di teras depan memang sering terdengar suara gitar kawan-kawan Sicma yang sekadar menemani aktifitas sore, terkadang pagi, yang menjemukan.
Jam menunjuk angka sebelas dan kantuk sudah mulai menyelubung mata, tanpa pikir panjang, aku nyalakan dispenser, menanak air, membiarkan serbuk kopi berkelindan bersama gula, lantas meniadakan bentuk awal mereka dalam buih air mendidih.
Tiba-tiba saja seorang laki-laki berambut gondrong nimbrung kedalam kamarku, dan mencoba membuka pembicaraan. Dari tampangnya saja sudah kelihatan, bau-bau seniman yang gandrung akan kebebasan telah tercium.
“wah sibuk bang?”
“ah enggak, ini cuman baca-baca tak jelas aja..”
“wah Marxisme ya? Wah abang ikut gerakan kiri ya? Inikan bacaannya orang-orang komunis kan kalau tak salah”
Aku terdiam sejenak, meneguk cangkir kopi yang aromanya mulai tak tertahankan wanginya, dan sedikit berfikir bahwa kuasa hegemonik terhadap reperesi ingatan orang indonesia pada sejarah kelam abad ideologis tentang komunisme masih menjadi sebuah traumatik dan ketakutan tersendiri bagi mereka yang tak mengerti dan hanya mengikuti antinomi kuasa wacana orde-baru.
“memangnya tak boleh baca buku orang komunis? toh Marxisme dengan komunisme itu tak sama, walau masih dalam satu rahim, kita tahu, tanpa marxisme tak akan ada yang namanya negara kesejahteraan, tak akan ada perlawanan terhadap penindasan kaum marjinal, proletar, buruh, rakyat jelata!”
Ia hanya diam dengan ketaktahuannya, dan sepertinya tak terlalu peduli...
***
Sebenarnya, aku tak tahu pasti apa yang hendak aku perbincangkan bersamanya. Kau terkadang memang tak perlu memikirkan apa yang harus akan kau perbincangkan dengan lawan bicaramu. Tentu saja lawan bicara yang tidak sembarangan. Tak mungkin kau berharap hal seperti itu terjadi pada lawan bicara yang datang padamu dengan beberapa maksud tertentu. Percayalah. Lawan bicara yang ini akan menyetirmu ke arah perbincangan yang diinginkannya.
Berbeda dengan tamu tak diundangku ini yang datang begitu saja tanpa tahu untuk apa ia bicara, bagaikan seorang kakek tua yang masih segar bugar tetapi tak tahu harus melakukan apa lagi di dunia ini yang rutin mendatangi sahabat sepantarannya dan lantas berbincang-bincang tentang apa saja. Itu pun saya kira masih menyisakan sedikit tujuan yang hendak dicapainya yakni keinginan untuk membunuh waktu yang malu berlalunya.
Tapi sudahlah. Kita lupakan sejenak perkara itu.
“Ah, tembakau. Menikmatinya adalah menghadapi dua pilihan yang sama-sama penting dan sulit.” Lalu dikeluarkannya cerutu yang disimpannya di kantong balik jas-nya, membakarnya perlahan, lantas menghisapnya dengan gaya bajingan tengik di jalanan New York 1900-an. Ia terbatuk sejenak.
“sulit? Kenapa sulit” sambil kunyalakan rokok untuk menandingi cerutunya yang berbau anyir itu.
“ya, kehidupan memang tak selamanya lurus, bagaimana pun juga waktu membuatnya menjadi lebih tua dari yang kubayangkan. Ternyata waktu bekerja dalam seberkas hukum yang tak mampu aku pahami. Mungkin engkau tak memahami dan menghayati perpisahan sebagai sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Sebuah perpisahan yang sesungguhnya. Yah, perpisahan yang sesungguhnya.”
Sepertinya pembicaraan ini mulai agak serius, dan raut mukanya yang datar itu membuatku agak nyaman…
“Aku bukan jenis manusia yang tak butuh orang lain dan semua manusia seperti itu saya kira. Dengan kata lain, perpisahan adalah kelumrahan dalam hidup manusia. Tentu aku paham perpisahan, tentu aku menghayati perpisahan.”
Ia mencoba mengarahkan pembicaraan yang bagiku agak menarik, karena akhir-akhir ini aku merasakan hal yang hampir sama…
“memangnya, seperti apa perpisahanmu?” aku menimpalinya.
“Yah, sebuah kehilangan tanpa tahu kapan dimiliki kembali. Mari beranjak pada sebuah contoh. Engkau berpisah, kalau tak salah beberapa tahun lalu, dengan seorang gadis yang benar-benar telah mencuri hatimu. Engkau pernah mendendangkannya dengan, ‘cahaya telah diambil dari hidupku, kegelapan belum juga terberikan’.”
“Yah, kukira. Aku sedang mengalaminya kawan”
“Tapi engkau tak benar-benar berpisah. Engkau masih bisa tahu, setidak-tidaknya, apa aktifitasnya setelah perpisahan itu. Bukan karena engkau diberi tahu olehnya, tetapi karena engkau mencari-tahunya dengan cara yang, maaf, bisa kusamakan dengan kerjaan para koboi bejat yang mencuri binatang-binatang di peternakan-peternakan kecil.”
Aku hanya terdiam beberapa waktu dengan agak memikirkan apa yang diucapkannya itu. Kulihat bungkus rokokku sudah kosong, dan aku pamit keluar sebentar untuk membeli beberapa batang dan memikirkannya kembali.
Mungkin ia terlalu lama menunggu. Kubuka pintu rumah. tak kulihat di sana. Ah, mungkin ia ada di kamarku. Kamarku lengang saja, kecuali sisa-sisa cerutu dan bau anyirnya itu.
Hmmm…Barangkali ini saatnya aku memikirkan hal lain, mengerjakan hal lain, atau mencari persahabatan aneh lainnya […]
Gang Ratih, 2 September 2012
Komentar
Posting Komentar