Waktu berlalu seraya menghempaskan jejak-jejak masa lalu—menghampar
bersama aura senja. Langit menerawang merah muda seraut biru, disaat yang sama
matahari berpendar merah terlihat jelas seperti sebuah noktah. Tergelincir segera,
terbawa arus putaran bumi yang setia pada garis edarnya, pada rotasinya yang
teratur dalam sebuah gramatika. Satu nuansa yang terbawa, hembus angin
menelusup jiwa, menghilangkan peluh saat angkuh menebal pada relung bawah
sadar.
Terpekur, tanpa daya aku memandang sebuah rahmat kuasa semesta yang
tak habis-habisnya memancarkan keindahan tiada tepermanai. Dalam balkoni lantai
dua ini, aku semakin hanyut dalam dimensi yang tak terperikan. Sebuah kesunyian
dalam batin, aku coba, menyentuhnya dalam dawai liturgis Dzikir, kurasakan
teduh itu menggema bersama hening solilokui.
Seketika, burung-burung terbang beriringan melewati jalannya
pulang. Menembus udara kemarau pada bulan september yang menunggu (lagi) awan
mendung menjatuhkan bulir-bulir air hujan pada bumiku yang semakin kerontang.
Layaknya manusia yang mulai lupa pada rumah “Ada”, pada ihwal semesta yang memberi
segala. Pada nafas yang berdesah, pada tubuh yang tergerak, pada cinta yang
terlupa.
Secangkir kopi hitam rasanya semakin
menambah gurat cuaca dalam alunan nada hening terbawa. Oleh kelindan angin yang
menyertakan pesan untuk selalu mengingat kuasa-Nya. Pada hidup yang sekejap
ini, kemana lagi kita harus menggantungkan diri?
Masa lalu yang lenyap dan hadir dalam
imaji-imaji, sudah hilang bersama balutan sejarah. Artefak-artefaknya tergambar
dalam kesadaran yang terbelah. Seperti saat aku menjaga rumah-Mu, rumah bersama
tanpa seorangpun yang berani mengklaim sebagai hak milik pribadinya. Sebuah
rumah untuk semua manusia, yang masih ingat dirinya sebagai “manusia”. Masjid
itu, seperti perigi, dalam kebersamaan jamaah, semua tak ingat lagi, pada
dunia, pada harta, pada tahta, yang tak kita miliki seutuhnya dalam dunia fana.
Aku terkadang ingin kembali, mengundangmu
dalam waktu, dalam sujud yang bermuara pada kemahakuasaan Allah SWT yang tak
bisa kita hitung dalam angka-angka. Aku ingin mengundangmu lagi untuk bersujud
bersama, dalam sebuah microphone dan lantang suara megafon. “Khayaallassolah…”
Aku mencintai Kebenaran, mencintai
pengetahuan, dan semua wajah-wajah yang pernah hadir dalam cerapan kesadaran.
Seperti gadis ungu yang terlihat dalam gurat cahaya senja, ia hadir dan lenyap
tanpa ihwal petanda.
Akupun tak tahu, bagaimana aku akan
dikenang oleh kalian semua, oleh orang-orang yang mencintaiku, membenciku, atau
bahkan memusuhiku. Aku tak tahu, ketika sebuah akhir itu tiba, ketika kematian
menghentak tubuh yang menjiwa. Ketika nafas tak lagi berkelindan paru, ketika
nyawa melepaskan diri dalam gelap jasad materi.
Aku ingin, bersamamu, hidup kembali,
seperti senja ini, seakan aku lahir kembali, bersamamu yang kucintai.
Seandainya saja aku masih bisa, tapi kau telah katakan: “Biarkan kita hidup
sendiri-sendiri, dengan kehidupan kita masing-masing.”
Sebelum tenggelam matahari, izinkan aku mencintaimu
dalam sunyi […]
Komentar
Posting Komentar