Langsung ke konten utama

Sebuah Senja di gang Arjuna




Waktu berlalu seraya menghempaskan jejak-jejak masa lalu—menghampar bersama aura senja. Langit menerawang merah muda seraut biru, disaat yang sama matahari berpendar merah terlihat jelas seperti sebuah noktah. Tergelincir segera, terbawa arus putaran bumi yang setia pada garis edarnya, pada rotasinya yang teratur dalam sebuah gramatika. Satu nuansa yang terbawa, hembus angin menelusup jiwa, menghilangkan peluh saat angkuh menebal pada relung bawah sadar.
Terpekur, tanpa daya aku memandang sebuah rahmat kuasa semesta yang tak habis-habisnya memancarkan keindahan tiada tepermanai. Dalam balkoni lantai dua ini, aku semakin hanyut dalam dimensi yang tak terperikan. Sebuah kesunyian dalam batin, aku coba, menyentuhnya dalam dawai liturgis Dzikir, kurasakan teduh itu menggema bersama hening solilokui.
Seketika, burung-burung terbang beriringan melewati jalannya pulang. Menembus udara kemarau pada bulan september yang menunggu (lagi) awan mendung menjatuhkan bulir-bulir air hujan pada bumiku yang semakin kerontang. Layaknya manusia yang mulai lupa pada rumah “Ada”, pada ihwal semesta yang memberi segala. Pada nafas yang berdesah, pada tubuh yang tergerak, pada cinta yang terlupa.
Secangkir kopi hitam rasanya semakin menambah gurat cuaca dalam alunan nada hening terbawa. Oleh kelindan angin yang menyertakan pesan untuk selalu mengingat kuasa-Nya. Pada hidup yang sekejap ini, kemana lagi kita harus menggantungkan diri?
Masa lalu yang lenyap dan hadir dalam imaji-imaji, sudah hilang bersama balutan sejarah. Artefak-artefaknya tergambar dalam kesadaran yang terbelah. Seperti saat aku menjaga rumah-Mu, rumah bersama tanpa seorangpun yang berani mengklaim sebagai hak milik pribadinya. Sebuah rumah untuk semua manusia, yang masih ingat dirinya sebagai “manusia”. Masjid itu, seperti perigi, dalam kebersamaan jamaah, semua tak ingat lagi, pada dunia, pada harta, pada tahta, yang tak kita miliki seutuhnya dalam dunia fana.

Aku terkadang ingin kembali, mengundangmu dalam waktu, dalam sujud yang bermuara pada kemahakuasaan Allah SWT yang tak bisa kita hitung dalam angka-angka. Aku ingin mengundangmu lagi untuk bersujud bersama, dalam sebuah microphone dan lantang suara megafon. “Khayaallassolah…”
Aku mencintai Kebenaran, mencintai pengetahuan, dan semua wajah-wajah yang pernah hadir dalam cerapan kesadaran. Seperti gadis ungu yang terlihat dalam gurat cahaya senja, ia hadir dan lenyap tanpa ihwal petanda.
Akupun tak tahu, bagaimana aku akan dikenang oleh kalian semua, oleh orang-orang yang mencintaiku, membenciku, atau bahkan memusuhiku. Aku tak tahu, ketika sebuah akhir itu tiba, ketika kematian menghentak tubuh yang menjiwa. Ketika nafas tak lagi berkelindan paru, ketika nyawa melepaskan diri dalam gelap jasad materi.
Aku ingin, bersamamu, hidup kembali, seperti senja ini, seakan aku lahir kembali, bersamamu yang kucintai. Seandainya saja aku masih bisa, tapi kau telah katakan: “Biarkan kita hidup sendiri-sendiri, dengan kehidupan kita masing-masing.”
Sebelum tenggelam matahari, izinkan aku mencintaimu dalam sunyi […]

Komentar

Populer