Langsung ke konten utama

Stop Smoking! ( I )



“Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does…” –Jean-Paul Sartre

Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi…

Barangkali sudah terlampau lama ia menunggu seseorang untuk benar-benar singgah dan mengisi exergue dihatinya yang mulai rapuh dan menghitam. Ya, sebagaimana ia baca dalam perasaannya yang tak bisa mendusta, tapi ia tetap ‘diam’ tak menampakkan dendam karena penolakan itu. Justru, ia menjadikannya sebagai ajang perenungan diri atas dirinya sendiri yang mungkin terlampau egoistis. Mengumpulkan tiap ingatan lalu dalam hening solilokui. Terhadap kesetiaan, cinta, luka, dan setiap gramatika yang tertoreh dalam sajak-sajak yang pernah ia gubah.

Seperti putihnya kelimun mega yang tak kuasa menahan mendung. Seseorang telah meninggalkan benaknya yang tetap tenang dalam kesepiannya yang semakin absurd. Dan, ia tahu penyesalan selalu berkecamuk atas perpisahan yang tak kentara dari kehidupan ‘mereka’.

Universitas Ahmad Dahlan! Dikampus tempatnya kuliah itu, telah terjejaki berjuta-juta fragmen kehidupan yang begitu berharga. Indahnya persahabatan, pergumulan perasaan, dialektika pengetahuan, dan Cinta yang sewenang-wenang kehadirannya pun ia dapati disana.

Seperti jumat kemarin, saat semua berawal, ia menjadi salah satu ‘agitator’ mungkin ‘provokator’ dan yang jelas bukan motivator—bagi mahasiswa baru yang terlihat masih lugu dan canggung meanatap arah masa depannya di dunia kekampusan. Berpasang-pasang mata ia hadapi dengan teriakan-teriakan dan jargon-jargon yang agak revolusioner agar semangat juang mahasiswa baru itu terbakar, tersembul, dan tumbuh untuk menjadi mahasiswa—yang dalam istilah Paulo Freire, berkesadaran kritis—yang peduli realitas social, kebangsaan, dan kemanusiaan. Karena merekalah calon pemimpin masa depan, pilar kebangsaan.

Dari sana semakin mengingatkannya kembali, ia terngiang jejak-jejak ingatan lalu, saat pertamakali menyandang nama Mahasiswa. Bertemu dengan orang baru, lingkungan baru, dan tantangan baru. Mungkin, sekitar tiga atau empat tahun lalu saat semua kisah itu berawal di kota Gudeg ini. Menemukan wajah-wajah yang pernah hadir dalam episode kehidupannya, yang penuh jejak romantika. Semua yang terkisah; cinta, kebencian, sinisme, kesombongan, ketaktahuan—membaur semua dalam intensionalitas kesadaran. Wajah-wajah itu hadir dalam warnanya yang unik dan lain, sebagai alteritas yang tercerap sebagai ihwal pemaknaan kehidupan yang centang-parenang, yang tak terduga lempengannya, penuh dengan kejutan dan patahan.

Seperti perjumpaan dengan seorang gadis yang sublim, wajah gadis itu—gadis pembenci puisi?—bagaikan aletheia yang tercerap sempurna dalam kesadaran batinnya. Wajah itu hadir sebagai sebagai enigma, jejak dari atas dimensi vertikalnya. Dia yang ‘asing’ melampaui system dan konvensi. Yang mungkin hanya bisa dirasakannya dalam hening puisi, menawarkan juntai inspirasi atas makna keindahan dan seni.

Semua itu hanya serialitas dalam hidupnya yang semakin tak terjangkau, semakin kabur dalam halimun, hingga matanya sungguh tak dapat melihat lagi cintanya yang sunyi. Terkadang, bahkan, ia selalu ingin melarikan diri dengan sebuah langkah yang tak terlihat, karena sebegitu pedih ia merasakan cerita cintanya yang hanya jadi bahan lelucon—seperti cinta anak-anak remaja yang hanya bermain rasa gengsi dan tak jarang nafsu belaka jadi matranya. Tapi, semua tinggal ingatan sayu dan cinta itu membeku dalam kering kerontang hatinya. Laksana kemarau panjang yang tak pernah menyentuh teduh hujan.

Ia sesekali mengambil sebuah frase dari perbendaharaannya dan mengucapkannya pada dirinya sendiri:
“siang yang diwarnai cercahan awan berbagai warna mengambang dilautan…”

Frase, siang, dan pemandangan didepan matanya hari ini seolah membentuk harmoni dalam rangkaian nada. Kata-kata. Apakah itu warna mereka? Ia membiarkannya memancar dan memudar, ornament demi ornament, keemasan semburat cahaya mentari, coklat dan hijaunya bukit-bukit dan semak belukar, biru lautnya ombak, serta arak-arakan awan seputih buih. Apakah semua ini hanya pemahaman subyektip yang sebenarnya sekedar persepsi belaka? Seperti pula cinta yang ia rasakan dalam jiwanya? Barangkali, ia tak bisa mendapatkan ‘persetujuan’ itu sehingga cintanya hanya tenggelam dalam dirinya sendiri tanpa terejawantah secara nyata. Atau karena ia terlampau menikmati pencerapan dan pancaran dunia yang dapat diindrai melalui prisma bahasa dalam berbagai warna? Atau mungkin didalamnya tersimpan lebih dari perenungan atas sebuah dunia batin emosi pribadi seseorang yang tercermin sempurna pada sebuah puisi yang luwes dan kuat? Entahlah, semua hanya misteri yang akan terus ditajanya dalam waktu yang terus bergulir setia.
***

Matahari yang ditabiri awan menyala lemah menyinari hamparan bening dimana sungai bermuara. Demi merasakan semakin hilangnya keberanian, ia menatap awan yang bergerak pelan. Sesekali sahabatnya membuka arah pembicaraan, memecah hening dan hembus angin yang begitu kencang…

“siang yang cerah, andai kata hatiku secerah awan dan ornament embun seperti ini setiap waktu…” sahabatnya membuka kata dan menyalakan ujung padat tembakaunya yang tak hirau oleh hilir angin.

“ya, tak seperti hariku yang selalu, diam, dalam senyum sayu… tapi aku percaya mungkin ini hanya semacam proses menuju ‘kesana’…”

“proses… hidup memang selalu berproses, bergerak dan berubah, tapi cinta tak mudah, ia tak mudah untuk berubah. Ketika engkau telah jatuh, untuk keluar darinya bukanlah hal yang mudah…”

“kadang aku tak percaya dengan cinta sejati, barangkali aku sepakat dengan Sartre bahwa ‘eksistensi mendahului esensi’—tak ada cinta murni, mungkin hanya ada dalam cerita Laila-Majnun saja… yang ada, cinta hanyalah datang karena pamrih, karena nafsu, karena ‘dunia’ mungkin tahta atau uang atau mobil atau motor atau wajah yang tampan, apapun itu! Ya, dan orang sepertiku hanya jadi buangan cinta, karena aku tak miliki semua itu…” …sambil ditiupnya bunga api pada sebatang rokok yang asapnya lekas hilang terbawa angin yang begitu kencang…

“ya bisa jadi, tapi aku masih percaya cinta sejati itu ada… mungkin kau hanya kecewa saja dengan cintamu itu, tapi apakah pernah kau berfikir, tentang cintamu itu sendiri? Sudah sejauh apa kau mengusahakan untuknya?”

Tiba-tiba ia terbatuk agak lama, dan segera menimpali dengan menahan merih yang tergatal-gatal oleh nikotin dan tar yang sudah begitu tebal menempel…  

“sejauh ini aku berusaha apa yang aku bisa, mungkin karena aku ini pengecut, aku penakut, dan aku bersalah… aku seringkali—dulu ketika dia sepertinya juga memancarkan rona ketertarikan padaku—terlampau cuek, mungkin ada sepenggal prinsip bahwa aku akan tak berpacaran dulu sebelum lulus kuliah, tapi kini, saat aku mulai mencoba, semua seakan sudah terlambat… dan aku tahu aku bukan yang terbaik, barangkali sekarang ia sudah dapati yang terbaik itu, sehingga aku tak diacuhkannya..uhhukk….”

…dan ia terbatuk kembali, hingga dadanya sesak dan tiba-tiba saja merah pekat darah keluar dari mulutnya, ia terbatuk terus hingga tak kuat, hampir saja ia pingsan. Seolah separuh nyawanya melepaskan diri dari tubuhnya yang nista penuh kekotoran duniawi, laksana cintanya yang retak kehilangan arahnya. Kini, hanya aporia yang tersisa dalam ketakmungkinan akan terejawantahnya cinta itu pada seseorang ‘disana’. […]

Komentar

Populer