Langsung ke konten utama

The Man Who Loved Books Too Much (Here I am)


…O love, if I regret the age when one savors you, it is not for the hour of pleasure, but for the one that follows it. Jean-Jacques Rousseau

Tiap kali aku “datang”, tiap kali disaat itu pula selalu saja ada yang “pergi”. Seperti sebuah tulisan dalam buku yang dibacanya malam ini. Tulisan-tulisan itu melepaskan diri dari titik awalnya, dari arkhe, sebuah awal mula yang diam dan hilang tapi lamat-lamat menghadirkan dirinya dalam “teks”. Derrida—sang filsuf dekonstruksionis—dengan nada provokatif pernah berkata: “tak ada sesuatu apapun diluar teks”.
Dari sana, seolah ada semacam affirmasi terhadap sebuah “dunia” yang imanen pada momen kedisian-kekinian, tak ada sebuah dunia luar yang melampaui ruang-waktu yang bersifat universal dan mendahului segala sesuatu. Mungkinkah itu atheis? Belum tentu! Bisa jadi ini hanya semacam permainan kata yang amat retoris. Tapi, saya kira, derrida sedang melawan otoritarianisme “teks” yang disakralkan, seolah tanpa bias subyektif sang pembaca atau sang penafsir.
Tiap teks-teks itu terajut sempurna dalam kertas demi kertas, pagina demi pagina, halaman demi halaman, hingga membentuk sebuah keutuhan, ya! Sebuah BUKU… buku itu dibuat dan dikarang bukan tanpa kepentingan, buku itu hadir kepada sang pembaca bukan tanpa pretensi apa-apa, ia tak netral! Ia ditulis oleh seseorang yang menawarkan sebuah tujuan, sebuah telos, yang selalu dikepung oleh silang-sengkarut makna yang menyebar tanpa jelas awal maupun akhirnya.
“Sang pengarang telah mati” demikian pekik Rolland Barthes sang punggawa post-strukturalisme perancis. Tak ada makna tunggal yang tak retak, tak ada “teks” yang mampu bicara sendiri. Sebuah teks atau—dalam totalitasnya—sebuah buku ketika dipublikasikan ke khalayak ramai akan menjadi sebuah ruang bebas penafsiran. Seorang pengarang sudah tak punya daya lagi untuk memaksakan tafsir tunggal terhadap tulisan dan gagasannya. Ia telah mati bersama rajutan teks yang tertata rapi dalam paragraph-paragraf hingga bab-babnya.
***
Buku, memang menawarkan berjuta imajinasi dan kadang mimpi akan sebuah utopia tentang masa depan yang terindahkan. Sebuah gambaran dunia yang dikonstruksi dan dicerap melalui realitas empiris maupun realitas non-empiris membawa sebuah pengetahuan dan pemahaman untuk mendekati Yang-benar. Polemik gagasan, penumpahan rasa, dialektika pengetahuan, keketatan logika, rasionalitas, irasionalitas, cinta, dan semua reflektifitas kemanusiaan “hadir” bersama pintalan “teks” yang bergumul dalam kesatu-paduannya.
Tanpa tulisan, tanpa aksara, tanpa kata, barangkali hidup ini akan terasa hambar. Karena kita adalah hewan yang merayakan symbol—animal symbolicum—itu yang dikatakan Ernst Cassirer. Kita adalah pencetak sekaligus penikmat tanda-tanda dan symbol-simbol yang dapat dibaca, ditafsirkan, dipikirkan, direnungkan, dan dimaknai. Kita berbicara melalui tanda, kita berkomunikasi dengan yang-lain melalui kata.
Tak pelak, ketika seseorang tak mampu bertatap muka secara langsung agar semua gelisah, semua gagasan, semua pemikiran, dan mungkin cintanya akan dimengerti, ia menciptakan dan mengejawantahkannya dalam kata-kata, dalam sebuah “buku”.
Tapi, buku bukan sebuah teks yang mati. Ia dibaca dan dipahami oleh latarbelakang yang tak sama, dan karenanya multi-penafsiran adalah konsekuensi logis daripadanya. Tak ada kebenaran tunggal! Buku adalah metaphor tentang totalitas, demikian kata Derrida. Peradaban metafisika (barat) adalah peradaban buku yang memuja totalitas seraya menampik perbedaan-perbedaan. Buku mengandaikan halaman terakhir yang selesai, padahal dunia ini tak selesai hanya dalam bongkahan teks yang bisu itu. Ia terus bergerak tanpa batas, ia bergerak seiring pendulum waktu yang entah kapan terhentinya. Dan buku sudah “mati” mengalami masa senjakalanya sebagai sebuah totalitas, ia telah berakhir, dan kematian itu bukan tanpa sebab, karena “teks-teks” baru akan muncul dan bergema sebagai perlawanan terhadap sang Logos yang dikultuskan—sang pengarang yang memperbudak pembaca!
Meski demikian, aku sangat mencintai buku. Buku yang bukan buku. Sebuah buku yang menawarkan kebaruan dan lintasan-lintasan pemikiran yang tak kaku. Buku yang menawarkan perubahan dan penafsiran yang tak madek dari “realitas” yang selalu berjalan tiada henti.
Mencintai adalah kondisi tanpa syarat. Hanya pengorbanan yang menimbulkan sebuah daya untuk menjaga dan memilikinya dalam tulus dan setia. Buku berarti juga manusia, ia adalah “teks” yang tak habis untuk ditafsirkan dengan beragam perspektif. Seperti pula wanita, yang selalu dalam posisi yang tak terperikan. Disitulah cinta menjadi ‘ruang antara’ dalam gerak prarasa yang tersembul dalam alam bawah sadar yang maha-luas tak terjangkau logika.
Cinta, ia ada dan terasa. Ia menginginkan tanpa keinginan. Ia hadir tanpa kehadiran. Ihwal kedatangannya tanpa bisa diduga, tiba-tiba, menghentak kedalaman sukma. Darimana? hanya bisa dijawab “entah”, pada siapa? Atau apa? Siapa, yang menjadi penyebabnya adalah dia yang yang melampaui deskripsi dan konsep, ia dicintai karena yang bukan karena, ta bisa diterka dengan alasan apapun—hanya satu kata: cinta, itu saja. Apa? Menuntut kualitas pada dirinya sendiri, baik, bagus, tebal, cantik, indah…. Penyebab cinta memang tak dapat disangka, yang jelas cinta itu menggerayangi dan menghantui pada siapa saja yang sudah terjebak dalam alunan dawai nadanya yang begitu indah.
Aku mencintai karena kebenaran, aku mencintai buku, mencintai manusia, mencintai wanita, apa saja, bahkan gadis “ungu” yang benci puisi… ya, aku mencintai…mencintai semua ini karena sebuah dasar Kebenaran dan untuk Kebenaran… sebuah pandangan objektif yang senyatanya demikian, bukan karena suka atau tak suka, tapi karena Kebenaran… ya, Kebenaran!!! 


Komentar

Populer