Langsung ke konten utama

Titian



Eksistensi sebuah kebenaran tergantung pada proses atau peristiwa sebuah kejadian… –Alain Badiou 

Jujur saja, akhir-akhir ini aku sedang dihinggapi penyakit malas yang memenjarakan dan menyandera ‘kesadaran’ egoku. Aku tak paham. Berjuta-juta kegelisahan atau mungkin kegalauan  sedang dalam titik kulminasinya. Banyak masalah yang harus aku siangi duduk perkaranya, tentu, tak hanya menghasilkan sintesis berupa kesimpulan-kesimpulan tapi juga menuntut prasis yang tepat, taktis, dan strategis.
Barangkali ini terjadi kepada semua mahasiswa yang mulai beranjak menuju titian diambang batas antara berfikir teoretis dan berfikir praktis—apalagi bagi seorang kutu buku macam aku. Disitulah keterbelahan semakin menyembul dalam ketakjelasan, satu sisi aku masih setia pada janji keagungan dunia idea dalam spiral bahasa, aksara, kata-kata, dan lekuk pagina yang menawarkan kebebasan pikiran, jiwa, dan—meminjam  istilah Camus—aku berontak maka aku ada.
Disisi yang lain, aku harus ‘kembali’ ke realitas objektif itu sendiri. Seperti kata Marx dimana ihwal kehidupan manusia ber-ada dalam dunia ini adalah untuk mengisi perut, atau aktualisasi kebutuhan ekonomi. Intinya aku mulai ‘malu’ terus menggantungkan hidup pada orang tua, dan sudah saatnya aku harus keluar melawan carut-marutnya sistem ekonomi-politik negara ini yang semakin tak jelas arahnya, kalau toh jelas, demokrasi yang semakin dianggung-agungkan atas nama ‘pasar-bebas’ dan ekuivositas modal akan semakin menambah kaum papa baru yang memenuhi jalanan protokol kota-kota besar.
“Seorang filsuf hanya menerangkan (menafsirkan) dunia, padahal yang terpenting adalah merubahnya…”
Demikian kata-kata mbah Marx dalam thesis on Feuerbach yang sering dikutip oleh para pemikir kiri dan punggawa-punggawanya. Ya, setidaknya untuk melawan dunia yang semakin “gila” ini aku tak harus jadi seorang anti-realis yang bisanya ngomong dengan kata-kata akademis yang berbusa-busa dan bahasa yang bikin kita mengernyitkan dahi. Dalam arti jadi seorang intelektual atau ilmuwan yang sok bebas-nilai alias tak memihak kepentingan atau kecenderungan politis apapun, yang sejatinya ia sedang tidur dogmatic dalam sangkar besi rasionalitas di dalam menara gading jabatanya.
Aku harus keluar, entah jadi apa saja, dan sudah kukirimkan lamaran kerja kebeberapa tempat dikota ini, hanya saja belum satupun yang memanggil lamaran kerjaku itu. Setidaknya jadi buruh atau proletar justru akan mengajari dan membentuk pengetahuan empirisku dilapangan tentang rasanya “teralienasi” dan bukan hanya mengetahuinya pada dunia “teks”.
***
Seperti pagi yang merupa elok mewangi mawar berduri, serta ornament embun yang berbulir membasahi tiap hijau dedaunan yang mulai kering, mengahat dalam kemarau panjang. Suasana mesra seperti ini memang menawarkan percik pemikiran, gumam syukur, dan kadang rintih serta umpatan kesal atas perilaku “modernitas” yang semakin arogan menghancurkan ekologi demi setumpuk angka-angka dan hasrat menuju kuasa.
Bulan semakin menua, tahun semakin berlari, dan dunia semakin terbirit-birit berputar dalam globalisasi dan mondialisasi. Waktu telah memampatkan ruang, citra telah mengubur jiwa, kedangkalan macam fashion, kesenangan sesaat, uang yang jadi epistemik, ya semua yang luar-luar itu dianggap kebenaran sejati ketimbang kedalaman berupa jiwa, religi, batin, ilmu, logos dst.
Bisa dikatakan, aku menjadi salah satu orang yang tertinggal dalam berpacunya teknologi dan arus informasi yang semakin deras dan pekat menyerbu aras kehidupan. Sebegitu mudahnya mendapatkan informasi tentang kejadian apapun dibelahan dunia ini semakin membuat manusia hidup dalam kemudahan tapi juga keterasingan (alienasi). Aku tertinggal. Apalagi menonton acara-acara TV yang semakin kering. Sinetron-sinetron yang mengajari kebodohan, reality show yang membohongi rakyat, serta berita-berita yang itu-itu saja, yang penuh dengan penggiringan opini public kearah yang diinginkan sang empunya media.
Seperti kata Marshal Mc.Luhan bahwa “medium is the message…” Seperti itulah informasi dan pesan menggedor kita dalam dunia kontemporer yang terus up-date perdetiknya. Tapi benarkah informasi itu otentik? Real? Bukankah pembawa atau mediator pesan itu justru menjadi pesan itu sendiri? Bukankah informasi itu tak bebas-nilai (netral) karena setiap informasi itu (niscaya) akan dikonstruksi ulang oleh kepentingan sang pembawa pesan? Nah, tepat disitulah kita sebenarnya dituntut untuk kritis dan tak langsung percaya, atau dalam bahasa fenomenologi harus di Epoche terlebih dahulupenundaan terhadap semua asumsi dan presuposisi untuk mendapatkan esensi.
Dan barangkali semua kegelisahan yang aku rasa sekarang ini, baik subyektif mengenai cinta, dialektika perasaan, puisi, dst... pula yang obyektif mengenai masalah ekonomi-politik itu merupakan ihwal perenungan untuk terus mengubah diri kearah yang lebih baik, sejak dalam pikiran dan kemudian tindakan. Ya, cinta memang menyesakkan, dan selalu membuat sakit yang teramat dalam bagiku yang selalu jadi sampah. Ah entahlah, aku semakin tak tertarik bicara cinta, karena hanya akan mengingatkanku pada sakit yang mengerikan itu. Begitu pula ekonomi-politik yang semakin kearah sini justru semakin menjadi parody dan menjauh dari kemaslahatan—alias terjadi privatisasi disemua lini kehidupan.
Dalam pemikiran Alain Badiou, kita sebagai manusia, belumlah menjadi subjek yang sesungguhnya. Ia baru menjadi subjek ketika masuk dan menghadapi kejadian-kejadian, diuji oleh kejadian, dan eksistensinya ditempa dan dimatangkan oleh kejadian. Kejadian atau realitas adalah momen awal pengetahuan tentang yang nyata, yang ada, yang eksis dalam dunia material—dalam arti tak hanya pada dunia idea. Semua momen kehidupan; cinta, luka, kesenjangan strata (ekonomi), kebersamaan (politik), puisi, tulisan, uang, benda, citra, dan semua…bergerak dalam situasi yang tanpa batas (borderless) dalam ruang yang tak berhingga (infinity). Sehingga kebenaran selalu dalam proses men-jadi yang merupakan bagian dari tiap situasi.
Ya! aku harus mengalaminya sendiri. Aku harus memacu tubuhku dalam kontestasi kehidupan untuk menjadi subjek yang otentik. Meskipun hidup ini penuh dengan absurditas, tapi bukan berarti kita harus menyerah dan pasrah dihadapan realitas, menyerah dihadapan kekuatan raksasa yang menindas dan mencengkeram. Seperti kata Camus: absurditas harus dihadapi dengan "moral keterlibatan", dalam sebuah perjuangan bersama… Hic et Nunc!

Komentar

Populer