Langsung ke konten utama

Aufhebung



Perjalanan hidup memang tak selalu tak terperikan. Seolah waktu berjalan lurus tanpa horizon yang manapak pada kejadian. Pada setiap rentetan peristiwa yang teralami, semua berlalu begitu saja, melingkupi setiap gerak fenomena yang tak kita tahu mana arah bermuaranya. Hanya harapan dan impian yang barangkali membawa sejumput teka-teki itu sedikit memberi secercah daya, untuk berkata “Ya”.
Terkadang sepi terlampau kerap menikam, pada malam-malam durjana, wajahnya menapak halus terpahat dalam ingatan hampa. Hidup yang begitu sederhana, tak ingin memuja apa-apa, kecuali yang-tak-berhingga. Peradaban yang terus berjalanan, seiring ruang yang kian hari dimampatkan oleh derap waktu. Menambah cerita tentang krisis persepsi, akan sebuah kebaruan, tentang otentisitas makna yang kabur bersama wacana-wacana.
Cakrawala yang berfusi, melebur “tempuk-junjung” dalam sebuah momen aufhebung. Bisakah cinta mewujud pada pecahan-pecahannya yang semakin mustahil? Seperti dua sisi yang seharusnya ada, dua sisi yang harus selalu bergejolak, berpadu dalam harmoni.
Kehidupan ini, dari sini, sebenarnya apa yang kita cari? Kebahagiaan, kesenangan, cinta, atau ketenangan jiwa? Sekiranya, kita telah diajarkan untuk berbuat baik kepada sesama, untuk tak menebar permusuhan yang berujung mala. Sebagaimana alam semesta, yang setia berporos pada garis edarnya. Alam telah mengajarkan kita tentang prinsip keselarasan, tentang harmoni dan keadilan, bahwa kita akan menuai apa yang kita berikan, kita akan memanen setiap apapun yang kita tanam, seperti kerakusan kita, juga ketamakan yang tak kunjung menapak titik batasnya.
Bukankah alam menolak doktrin Descartes “aku subyek, yang-lain obyek yang harus ‘aku’ kendalikan, kuasai, dan eksploitasi.” Alam bekerja atas dasar prinsip kesaling-tergantungan, kesaling-hubungan, bukan dengan prinsip linier-mekanistik sebagaimana dikhotbahkan para saintis modern.
Barangkali, kita sering tak mengacuhkan, atau malah dengan menggebu kita tak sadar dalam kesadaran semu menikmati segala rayu-rayuan hasrat yang menipu. Sehingga kita ‘lupa’ mana yang sebenarnya beguna, dan mana tak berguna, mana emas, mana tinja, bahkan kita tak bisa membedakan hakikat ihwalnya. Segalanya sudah jadi realitas, realitas yang tak nyata, tapi kita anggap nyata. Konsumsi tanda-tanda, tak peduli mereka yang tak berpunya, yang penting ku suka, apa urusan mereka, kaum papa? Makin hari kita semakin kehilangan, sesuatu yang tak kita sadari, karena ia tak kelihatan. Kita hanya bermain dipermukaan, menyerap penanda (signifier)—informasi—dan abai terhadap petanda-nya (signified)—makna pesan—sehingga kita kehilangan kemampuan refleksi, untuk menemukan makna yang sublim, yang dalam.
Agaknya dari sini kita bisa belajar, untuk kembali mengenal siapa sebenarnya diri kita, siapa sejatinya “aku”. Ada sebuah harapan yang membuat kita terus ber-tawakal, nun entah dimana, yang “tak-mungkin” selalu menghimbau, selalu mengundang kemungkinannya untuk datang. Meski, kematian selalu menanti dan cinta yang asali masih jauh diseberang sana, entah dimana, bahkan mustahil mencapai tepiannya. Tapi hidup yang selalu menunggu dalam kemustahilan mempunyai makna tersendiri, setidaknya itulah cinta, itulah harapan, itulah impian, itulah janji, itulah hidup yang perlu disyukuri—dari segala nikmat tak tepermanai ini.
Ya…persis, hidup ini adalah ketidakjelasan itu sendiri, hidup adalah perjudian, hidup adalah permainan catur tanpa dasar. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya berdoa. Semustahil apapun cinta, aku tetap akan menunggunya. Meski aku tahu sakit jua yang akan aku terima kesekian kalinya. Dan keberuntungan yang paling berharga adalah “mencintai saat-saat paling tak bahagia dalam hidup.” […]



Komentar

Populer