Cahaya pagi bersinar gemerlap menerangi dunia dengan
fragmen-fragmen berwarna yang terciprat ke dalam pelupuk mata. Wangi semerbak
dan bau anyir berkelindan menggerayangi hidup yang selalu penuh teka-teki. Saat
gelap telah lenyap dan sinar terang mentari pagi berpendar mengiring nafas
kehidupan, menapak hawa sublim pagi yang tak akan terus berulang, terus
terganti dalam kebaruannya.
Hidup yang sederhana, hidup yang biasa-biasa saja,
menjalaninya seraya mencerapi setiap tanda-tanda yang terpampang dalam dunia,
semuanya adalah momen menuju cahaya. Bilamana kemudian apa yang kita rasakan
didalamnya, hanyalah rentetan percik rasa yang tersemai atas “tabrakan” antara
kesadaran dan realitas, antara diri (self) dan liyan (the other).
Sudah saling sengakrut dalam keunikan, singularitas, dan perbedaannya yang
membuat dunia ini sejurus dengan pluralitas.
Pohon-pohon mulai bernafas menghirup karbon hitam yang
mulai menyesak udara pagi. Dalam rimbun itu aku melihat cahaya yang saling
terpantul, menelusup celah-celah lubang tiap-tiap dahan dan ranting. Cahaya itu
memberi kehidupan, memberi energi yang tak meminta upah. Dari seberkas cahaya
pagi, timbul arus oksigen yang diolah oleh hijau rimbun pepohonan. Hijau yang
berfotosintesa menghasilkan kebaruan, menghasilkan kejernihan yang menjaga
harmoni dalam ekosistem hukum alam. Setidaknya, itulah rahmat yang tak bisa
kita elakkan, tak bisa kita tampik, jikalau kita sungguh-sungguh berfikir dan
mencerapi sang liyan itu dengan mulut diam bisu seraya mencerapinya dalam
hening solilokui.
Tentang cinta, tentang hidup yang bermesra kasih
dengan sesama manusia. Hidup ini absurd, bahkan selalu saja ganjil dan tak
lengkap. Kata Sartre eksistensi mendahului esensi, mungkin orang bilang itu
atheisme yang menampik “tuhan”, tapi setidaknya ia benar ketika mendapati hidup
manusia yang semakin terpahat oleh jebakan “dunia eksistensi” kesehariannya,
alias realitasnya yang selalu saja berkekurangan—tak pernah mencapai titik
nadir idealitas. Dan manusia makin ‘lupa’ pada ihwalnya sendiri, ia tak tahu ‘apa’
dan ‘siapa’ dirinya sendiri.
Apa yang kita cari? Apa yang kita harapkan? Dalam hidup
yang Cuma sekali, pengulangan tak akan terjadi, tak ada yang sama, tak akan ada
repetisi-repetisi. Seperti gula yang berkelindan dengan kopi, menikmati pagi
dalam balkoni, juga mendengarkan riuh kicau burung-burung, semua akan segera
pergi, lenyap dan habis terganti. Esok masih tersisa dan kebaruan akan menera
fenomena.
Mendapatkan bahagia yang menjadi dambaan, seketika
akan lenyap, kala kemalangan ‘memaksa’ kita untuk jatuh, tapi dari sana hidup
menjadi perjuangan, sebuah perlawanan akan absurdnya hidup. Dan yang paling
berharga dan bahagia adalah bisa mencintai setiap kemalangan, setiap
kemurungan, dan kesialan yang bertubi. Oh, kehidupan… siapa gerangan Engkau yang
telah menciptakan ini semua? Hitam dan putihnya cerita kehidupan. Baik dan
buruknya setiap kejadian. Cerah dan mendungnya langit jiwa.
Dalam rentetan alur kehidupan ini, kapanpun kematian akan menjemput, karena kita—meminjam
kosa kata Heidegger—sedang ber-ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Tapi
tak hanya menunggu dan tak berbuat apa-apa, karena potensialitas kematian
itulah kita jadi hidup terus, hidup kembali, meski berkali-kali jatuh
tersungkur. Sebagaimana Hannah Arendt, sang filsuf perempuan yang controversial,
yang mencirikan manusia dengan natalitas, yaitu kemampuannya untuk lahir
kembali atau memulai suatu permulaan baru. Dalam kematian yang tampak itulah,
kita selalu berjuang menemukan kebaruan, seperti penciptaan yang terus-menerus.
Inilah yang kadang membuat hidup berasa “lahir kembali”.
Komentar
Posting Komentar