Langsung ke konten utama

epigram

Kembali meniti keranda sunyi
Malam-malam tanpa janji
Deras hujan membasah, riuh-riuh pecah sepi
Waktu yang pecah, terganti menjadi
Menumbuhkan kecambah
Pada Yang-akan-datang
Pada hujan tengah malam
Pada langit berhaluan hitam

Dengan kompas ditangan

Aku mengenalimu diruang rindu
cahaya selatan dipangku sudut pagi
Maksim terdalamnya, berkata apa adanya
Cintanya tak kuasa, memekik dusta

Angka dua belas tertunjuk
Disini aku menanti pelangi
dibalik ungu cakrawala
Meleburkannya bersama bunga-bunga tuba
Tapi hati sudah mati
Tinggalkan hasrat, sesalkan damai jiwa
balairungnya lengang
Tak seorang pun disana,
Ingin aku mengetuk, masuk
Tapi kau sudah menampik hina
Tubuhku hanya diam, menunda segala-gala

Aku sudah dihapus
enyah, lenyap-melenyap disuara terakhirnya
Layakkah kematian?
Kematian tanpa perkabungan
Seperti aku yang bukan diriku
Aku yang melampaui hujan
Meningalkannya, menunggunya
Hingga waktu tiba, semua sudah terlupa
Dimana khayal, disana seribu mimpi
Izinkan aku mengenalimu lagi
Diatas cahaya, cahaya diatas cahaya.....
 
***
 
Hari-hari berlari sepi
Detak waktu menyisa pecahan angan
Terkenang jejak-jejak memori
Menangguhkan kebenaran tak terbantahkan
Menunggu narasi terindahkan

Ada yang benci-benci
Bermasam suka, liris-liris cinta
Pertempuran hati demi hati
Saling mencaci, merasa benar sendiri
Ini lukisan penuh gejolak yang retak
Cintanya patologis, menapak tanpa jejak
Ahh! Berlari saja....
Terkadang kita, tak harus tahu
Kenapa seringkali, tak diacuhkan...

Angin semilir berdesau kencang
Memagut aku, menelusup arah waktu
Gema terpantul ditubir ungu batu
Aku tak melihatnya lagi
Bayang-bayang wajahku
Di cawan-cawan suci terakhir
Seperti terhambur, lepas diudara
Tak terkekang segala, disetiap geraknya
Merdeka.....
 
***
 
selalu tak terisi
angka waktu membekas
menabiri sunyi
seperi suara tak terdengar
ilusi dan imaji
yang tak bisa, yang selalu jadi petuah
bukan aku, bukan wajahku
hembus-hilir angin malam
setia menembus kerakap terdalam
pada kerak kuning yang berubah ungu
janjiku untuknya, tak terbalas
hanya kata,
hanya bermain kata
ku eja, dalam sunyiku terhina
 
***
 
reda hujan tiba malam
malam-malam tergurat lepas tersembunyi
yang mati mencintai sunyi hakiki
yang hidup menuntut keberlebihan segala
ini rupa tak kuasa
menahan riuh-riuh pucat kama
pada kubangan bekas hujan
temaram lampu memahat
diudara, tubuhmu kurasa
tapi, mungkinkah pada hujan?
tidak...tidak...
semua yang hilang
terpungut sesaat detik terakhir
suaramu masih tertahan
kala pagi, di ruang puncak repetisi
asingkah penantian?
barangkali, ini cerita fiksi
ini "hanya" jendela ruang mimpi
ini sekedar dunia maya...
tak ada, tak nyata, bukan kita
dan, seperti kau bilang
hidup sendiri-sendiri saja...
 
 
 

Komentar

Populer