Entah percik rasa dan intuisi apa yang seringkali
tiba-tiba muncul dan hinggap dalam kesadaran egoku akhir-akhir ini—seringkali tak mudah dimengerti dalam sebuah
konsep. Dalam kesunyian soliter diri saat terjaga kala hening menjelang fajar
kizib, seolah ada sebuah tenaga “yang-lain”, menggerakkan seluruh energy dalam
tubuhku untuk segera bangun. Barangkali semacam ȇlan vital kreatif yang
selalu mendorongku untuk mencerapi segala sunyi hakiki itu.
Tapi anehnya pula disaat itu ada yang mencoba mengelak.
Menghindar dari ekstase yang diam itu. Ada semacam jarak. Tarik-meanarik tiada
terperikan yang serasa berkecamuk dan bergolak pada kedalaman yang juga tak
bisa dimengerti. Ada yang bergerak dan men-jadi. Hanya itu yang aku
rasa.
Sesuatu itu, yang entah apa, bergerak menuju suatu tempat
tertentu, sebuah tempat yang-bukan-tempat, ia bukan ruang, tak pula tersentuh
oleh waktu yang mekanis. Bergerak dari sebuah potensialitas menuju
aktualitasnya, yang tak kunjung usai. Selalu menjadi. Terkadang menakjubkan dan
tak jarang mengerikan. Ada cinta disana, tapi juga ada kebencian yang
mengerang. Seperti apa yang pernah di katakan Kant: ”Die Schöpfung ist
niemals vollendet”. Penciptaan tak pernah selesai. Bukan serangkaian
repetisi, tapi kebaruan.
Hening memang menjadi sebuah rasa kerinduan yang-lain
bagiku. Semacam rahmat yang asing, tak dikenali, tapi sangat berharga. Ditengah
riuhnya kehidupan yang semakin tanpa aura. Ditengah gemuruh bising suara dan
udara yang cemar. Ditengah banalitas hidup yang dikebiri imaji-imaji semu dalam
kodifikasi angka-angka yang jadi fethis alias berhala. Ditengah ributnya caci
maki dan cemoohan yang terpampang di media massa setiap hari. Disela-sela itu
ruang kosong yang hening adalah momen yang tak terkira.
Bunga-bunga yang mekar, batu kali, bau tanah, hembus
udara, kicau burung-burung, dan seluruh penampakan yang meneduhkan itu adalah
semacam antidot. Mereka semua hadir sebagai “teks” atau “ayat” yang menjadi
bahan perenungan. Mencerapi makna dari liyan dengan mulut yang membisu.
Barangkali, bisa sejenak membunuh segala tekanan-tekanan luar dari
“hasrat-besar-sosial” yang coba “dipaksakan” untuk mengondisikan kesadaran diri
kita agar ikut arus yang semakin terasingkan.
Inilah masa ketika orang berbuat segala sesuatu konon
dipacu oleh kepentingan-diri. Mungkinkah kita masih bisa mengerti segala nilai
yang berasal dari diri kita, dan bukan diimajinasikan orang lain yang kita
ikuti? Dimana kita hidup, kita ingin bahagia, dan itu niscaya. Kapi bahagia
yang seperti apa? Banyak uang, istri dimana-mana, mobil mewah, dan barang-barang
yang bermarkah, ya intinya untuk senang-senang sendiri. Atau hidup apa adanya,
dengan keutamaan, ugahari, asketisme, memberi dan berbagi kepada sesama—yang
lain—yang dilupakan?
Seperti suara musik yang bergema, berderet, berbareng.
Nada-nadanya terlantun dalam harmoni not-not yang padu, mengalun sistematik
pada pendulum waktu. Suara itu masing-masing hadir dan terdengar dengan
komposisi yang tepat, satu sama lain tak saling mendahului. Melekat satu sama
lain dalam lintasan yang berbeda tapi bergerak dalam gelombang yang seirama.
Begitu pula dengan gerak-gerak ritmis dan melankolis para penari yang mengikuti
dawai gending yang terlantun. Semua berpadu dalam ikatan yang melekat pada
perbedaan jarak dalam ruang tapi terpantul padu dalam bunyi, gerakan, dan arus
waktu.
Begitu pula hidup. Kebahagiaan adalah tujuan (telos)
kita menjani arus kehidupan. Tapi terkadang kita terjebak dalam ilusi
“keberlebihan” atau “ketamakan”, ingin ini dan itu, semua benda-benda jadi
matra kebahagiaan, padahal itu semua hanya pandangan umum yang sudah
terkotak-kotak dan seolah rasional. Imaji-imaji itu “memaksa” kita dengan
rayuan yang halus hingga kita tak sadar sedang dikuasai untuk terus membeli,
mengonsumsi. Untuk memiliki segalanya itu dengan juntai hasrat-hasrat yang
dikendalikan oleh pendapat orang lain yang kita tiru begitu saja. Bukan lagi
nilai-guna—kegunaan yang melekat dari sebuah barang—tapi nilai-tanda yang
berupa merk, markah, dan cap yang kita tebus, dan seringkali kita banggakan
sebagai penanda kelas social, yang sebenarnya semu, permainan tirani arus reproduksi.
Seperti kata Nietzsche tentang kehendak-untuk-berkuasa (will
to power), bahwa sejatinya rasionalitas adalah kumpulan hasrat-hasrat yang
kita cerap dari luar, liyan, yang eksternal. Kita menjadi budak dari
hasrat kita sendiri yang sejatinya kita peroleh imaji-imajinya dari orang lain.
Yang kemudian menjadi rasional karena orang ramai tak menampik itu. Keserakahan
kemudian menjadi aksioma yang mendasari pencapaian kebahagiaan dalam hidup. Dan
setidaknya hal inilah yang mendasari kita untuk mengejar bahagia, dengan
benda-benda.
Mengomando dan menguasai hasrat yang liar itu adalah
cara, agar kita menjadi tuan bagi diri kita sendiri, bukan diperbudak oleh
hasrat semu itu. Dan tepat disitulah kesatupaduan adalah jalan lain menuju
bahagia. Hidup dalam harmoni tanpa keberlebihan juga kekurangan. Menyeimbangkan
segala rupa dan warna kehidupan, sehingga tak terjebak pada hasrat yang
memperbudak diri kita sendiri. Seperti suara gending bahana yang berbaur padu
dalam elemen waktu. Juga seperti laki-laki dan perempuan yang berkait padu
dalam cinta kasih untuk hidup setia berbalut cincin perjanjiannya.
Harmoni juga bisa berarti keadilan. Keseimbangan dan
kesetaraan, sebagaimana dikatakan Derrida dengan dekonstruksinya, dimana
dekonstruksinya adalah penyetaraan total terhadap oposisi-pasangan (dimana yang
satu superior dan yang-lain inferior): laki-laki/perempuan, tuan/budak, dst. Dekonstruksi
juga harmoni, dimana hidup adalah keserasian dan kesatupaduan.
Api tidak menunggu matahari untuk
menjadi panas, seperti juga udara tidak menanti bulan untuk menjadi angin […]
Komentar
Posting Komentar