Langsung ke konten utama

Ibu



Saat-saat kabut tanpa angin telah berlalu, di belakang cahaya pagi kaca jendela yang menelanjangi aura gelap. Sebuah adzan bergema dari kejauhan. Burung-burung berkicau, gaduh, dan sesegera cahaya putih menyebar dari timur jauh cakrawala. Sambil menyelimuti dunia, menyelimuti cahaya kemerahan dihati.
Karena takut kehilangan semua, aku mengangkat tubuh kurusku, mencari kertas dan pensil. Tak satupun kertas kosong dalam kamar, hanya gelas yang telah terpakai untuk menyeduh kopi malam tadi, pula bunyi telepon genggam yang semakin keras memekik telinga. Dibiarkannya bunyi itu hingga senyap tak bersuara lagi, entah, kenapa begitu malasnya hari ini mendengar suara ibu yang telah membuatku agak kecewa.
Jariku hanya mendapati pensil dan selembar kertas pembungkus rokok, bersandar, dan setelah merobek pembungkus rokok itu, meletakkan rokoknya dibirai almari buku dan mulai menuliskan bait frase demi frase pada permukaan kertas yang kasar. Setelah menuliskannya aku bersandar, menggumamkan kembali frasenya. Dan sesekali membuka frase lama:
…Aku menunggumu hingga kau mengenalku, lagi. Sebuah kata merekah diucapakan keruang yang jauh… “maaf”…
Sambil tersenyum, dan bertanya sesekali kenapa aku ada didunia, kecewa dengan gadis itu dan diri sendiri, membaca lagi tulisan yang meluap emosi yang tak jelas, apakah gadis itu menyukainya? kurasa tidak, bahkan ia membencinya. Ah ! tentu ia ingat masa lalu, masa lalu dirasakannya, kini dan disini, karena ia akan membawa masa depan.
Bunyi telepon genggam kembali berderit, memecah sunyi, diangkatlah kemudian. Ternyata seorang kawan lama, mengajak bersua di stasiun pagi ini juga.
***
Di stasiun begitu riuh oleh ratusan eksemplar manusia yang padat merayap menunggu jam keberangkatannya masing-masing. Begitu kaget, kawan lamaku itu sekonyong-konyong menepuk pundakku dari belakang.
“hei. Sobat! Tambah ganteng saja kau…”
“haha…dasar…kebiasaan lama!” ia menyalak sembari menyalakan rokok.
“apa kabarmu di Jakarta?  Kudengar kau cukup sukses…”
“ya setidaknya, bisa membeli rokok dan bir, itu saja…”
“dari dulu, tetap saja, tak pernah berubah…”
“seperti dirimu juga, kukira, kau terlihat tak terlalu bahagia, sejak dulu…haha…”
Aku hanya menghela nafas…
“barangali dunia sudah berbeda, tapi kita masih tetap sama, seperti masa sekolah yang gila dulu, dan apakah saat itu kau merasa lebih bahagia? Lebih bahagia daripada dirimu sekarang?”
“seringkali bahagia, dan seringkali tidak, dan kau tahu, aku yang dulu sudah berbeda dengan aku yang sekarang…” aku menimpali.
“seberapa berbeda? Ku lihat sama saja…hahaahaa”
“ya, aku yang dulu, bukanlah aku yang semestinya, seperti hari ini, detik ini…”
“bisa jadi, karena kita lebih tua, dan pembicaraan kita jadi seserius ini! Biar aku bertanya: apa kau cinta ibumu?”
Aku hanya diam, membisu, seperti ada sesuatu yang mencekat merih pita suaraku.
“aku tak tahu, apa maksudmu, Tanya begitu!” aku menimpalinya sederhana.
“tidakkah kau pernah mencintai seseorang?” Tanyanya lagi
“maksudmu wanita?”
“aku tak bicara tentang hal itu,” ia berbicara dengan nada dingin,
“aku hanya bertanya apa kau pernah mencintai seseorang atau suatu hal?” lanjutnya.
Aku berjalan disamping teman lamaku itu, sambil menatap muram jalan dibawah.
“Aku mencoba mencintai Tuhan, tampaknya aku gagal. Sangat sulit. Aku mencoba menggabungkan keinginanku dengan…”
Ia tiba-tiba memotongnya dengan bertanya:
“Apakah ibumu hidup bahagia?”
“Bagaimana aku tahu?” kataku
“aku kira, Ibumu pasti telah melewati penderitaan. Kau tahu itu, sejak dulu, saat kau masih Sekolah dulu…”
“Jika aku bisa, hal itu tak akan terlampau merepotkanku”
“kalau begitu lakukan! Lakukan seperti apa yang ia minta padamu, Apa artinya bagimu? Kau tak percaya? Ini adalah sebatas bentuk, lain tidak, dan setidaknya kau akan membuat pikirannya tenang…”
Ia berhenti, dan karena aku tak menjawab, tetap diam, kemudian ia menggedorku dengan argumennya lagi:
“Segala hal didunia ini seperti onggokan kotoran bau serba absurd dan tak pasti, tetapi tak demikian halnya dengan kasih ibu. Ibulah yang membawamu kedunia, dengan mengandungmu kedalam tubuhnya sebelum kau lahir.  Apa yang kita tahu tentang apa yang kita rasakan? Tapi, apapun yang ia rasakan, setidaknya kasihnya pasti nyata. Pasti! Apa gagasan dan ambisi kita? Gagasan-gagasan! Setiap orang tolol dijalanan mengira ia punya gagasan, ya pikiran yang menurut dirinya paling benar.”
Aku hanya ternganga. Ternyata orang sebejat ini masih punya hati yang bijak juga, bahkan melebihi diriku yang seringkali berbaur dengan teks agama.
***
Keesokan harinya aku pulang kerumah, sesampainya dirumah air mata sayu menyambutku.
“bu, kenapa ibu menangis?”
Ibu hanya diam, entah karena alasan apa, barangkali karena aku sering mengacuhkannya, karena masa lalu kelam itu, ya masa lalu itu…
“Pak kenapa ibu menangis?” aku bertanya kepada bapak kemudian
Ia hanya menjawab: “Semua wanita memang seringkali menangis tiada sebab.”
Semua ini semakin membuatku bingung, semuanya terasa semakin absurd saja, seperti cinta yang membunuh dalam rasa sakit yang mengerikan itu. Ah, aku pun tertidur, karena lelah dalam perjalanan tadi,  hingga mimpi menghias dalam lelap dan tenang suasana.
Dan dalam mimpi itu seseorang tua, berkata panjang lebar padaku:
“Kau tahu saat Tuhan ciptakan wanita, Tuhan membuatnya sangat utama, Tuhan menciptakan bahunya agar mampu menahan dunia seisinya, walau bahu itu harus berjibaku, dan cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang lelap tertidur, Dia berikan wanita kekuatan untuk melahirkan dan menegluarkan bayi dari rahimya walau seringkali ia menerima cerca dari anaknya, Dia berikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah purtus asa. Dia berikan kesabaran walau letih, lelah, sakit, tanpa berkeluh kesah. Perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai anaknya dalam kondisi apapun walau tak jarang anaknya melaukai perasaannya, perasaan ini pula yang akan memberi kehangatan pada bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat ia didekap dengan lembut olehnya, kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuk yang melindungi jantung dan hati agar tak terkoyak ? Dia beri kebijaksanaan dan kemampuan memberi penegertian untuk menyadarkan suaminya, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya meski seringkali kebijaksanaan itu menguji kesetiaan suaminya untuk berdiri sejajar, saling melengkapi, dan meyanyangi. Air mata yang mencurahkan perasaannya inilah yang khusus diberikan oleh Tuhan, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan, walau sebenarnya air mata ini adalah  air mata kehidupan
…maka, dekatkanlah dirimu dengan ibumu karena di kakinyalah kita akan menemukan sorga…”
[…]

Komentar

Populer