Cinta
(l’aomur) bagi saya adalah sebuah misteri yang sangat sarat akan
ketidakjelasan dan kebingungan. Cinta itu sejatinya ‘ada’, hanya saja ia tak
kelihatan. Dengan sifatnya yang tak kelihatan secara kasat mata, transenden
dalam negativitasnya itulah cinta menjadi tak mudah dimengerti dan dipahami. Tapi
ia dapat dirasakan dalam relung hati, dalam sukma. Dan pasti setiap manusia
pernah merasakan keteduhan sublim lembutnya, juga rasa sakit yang
diakibatkannya.
Nah,
dari sini kita akan coba mengulas pandangan sang filsuf post-strukturalis
Perancis, Jacques Derrida, yang juga pencetus filsafat dekonstruksi. Lebih jelas
bisa dilihat di video ini :
Derrida
memang awalnya enggan untuk membicarakan ‘apa’ itu cinta. Tapi ia tetap mencoba
menjelaskan ihwal musabab cinta itu ‘ada’. Dalam video itu, Derrida
mengelaborasi ihwal ontologis cinta. Dimulai dari dua perntayaan : apa (what)
itu cinta ? dan siapa (who)
itu cinta ? disini jelas yang dibidik adalah eksistensi atau keber’ada’an
cinta itu sendiri sebagai sebuah entitas.
Derrida
mencoba memetakan cinta pada subyek yang ‘merasakan’ cinta itu sendiri. Ihwal kemunculan
sebabnya, dan kesetiaan ketika cinta itu sudah kita dapati. Dalam singularitasnya,
cinta berawal dari subyek yang terhubung dengan yang-lain (the other)—sesuatu
yang berada diluar kesadaran subyektif kita (res extensa).
Dalam
pergumulan itulah kemudian cinta itu ‘muncul’ dalam kesadaran ego (res
cogitan), yang kemudian menjadi semacam keyakinan ada-nya benih yang terus
memanggil dalam jejak-jejak (traces) kerinduannya dengan yang-lain itu. ‘siapa’
(who) yang dicintai kemudian terspesifikasi dalam singularitasnya—adalah
dia (subyek) sebagai sebuah totalitas. Dalam arti ini cinta mengacu pada ‘orang’-nya
tanpa memandang kualitas-kualitas yang melekat dalam dirinya sendiri.
Sementara itu, di lain sisi, cinta itu muncul
dari ‘tatapan’, ‘kesan’, atau apapun yang berdimensi inderawi, yaitu
berdasarkan kualitas internal maupun eksternal yang ter-presentasikan secara
harfiah dalam kesadaran. Yang dituju adalah spesifikasi yang melekat misalnya
kecantikan, kegantengan, kepintaran, dsb.
Dari sini kemudian elaborasinya mengerucut pada 'What is Being?'. Pada aras
inilah kemudian yang dicintai itu sebenarnya cinta itu sendiri (dalam dirinya
sendiri), atau karena orangnya, atau kualitas yang melekat pada orang-nya. Itulah
permasalahnnya, dan tentu tak ada kesepakatan tentang ihwal kemunculan cinta
itu sendiri, karena cinta itu seperti angin, ia menelusup tanpa permisi, kadang
lenyap dan hadir. Bahkan terkadang tanpa sengaja kita tiba-tiba dikejutkan oleh
impresi perasaan yang menghentak dalam jiwa.
Di titik inilah kemudian cinta itu diuji dalam pergumulannya untuk tetap ‘setia’ dan
tak berpindah-pindah mencari ruang yang lain. Ujian dan tantangan itu hadir dan
bergema antara setia pada ‘satu’ atau meninggalkannya untuk mencari, dan
menjelajahi yang-lain. Dan cinta akan selalu saja terancam oleh sesuatu yang
sejak awalnya tak dilandasi dengan hati nurani, dengan kejujuran, dan dengan
ketulusan.
Tapi
perlu adanya perluasan, dimana cinta tak hanya dipahami sebagai hubungan
primordial-subyektif antar dua insan yang memadu kasih. Lebih dari itu,
cinta yang berdasar pada ketulusan itu, sejatinya diejawantah dalam hubungan
sesama manusia, dengan yang-lain itu, meskipun berbeda warna, ras, suku, kulit,
ideologi, agama atau apapun. Maka dari itu mencintai adalah memberikan segenap
apapun dengan tanggung-jawab, tulus, dan iklas tanpa pamrih dan meminta hak
yang berlebih. Sehingga peradaban dunia akan bersinar terang dengan damai dan
cinta kasih. Jadi selamat mencintai sesama, yang-lain itu. [...]
Komentar
Posting Komentar