Langsung ke konten utama

Outsourcing



Rasa-rasanya hidup semakin hari semakin susah saja, tentu ini bukan sekedar “perasaan” saja, tapi memang nyata adanya. Rakyat banyak pun berkeluh dengan kondisi ekonomi yang makin hari makin paceklik, untuk mencari sesuap nasi saja susahnya bukan kepalang. Pemogokan buruh dengan aksi massa di beberapa kota besar kemarin jelas menjadi penanda. Ini semua adalah kulminasi dari segenap penderitaan buruh yang semakin diperbudak dan tak memiliki jaminan masa depan  serta kondisi basis material yang semakin menghimpit.
Outsourcing—demikian tajuk utama yang menjadi tuntutan kaum proletar untuk segera dihapuskan. Hal ini jelas menjadi perkara serius, terutama bagi pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Kita tahu, outsourcing alias “buruh kontrak” jelas-jelas merenggutkan hak dasar buruh sebagai manusia. Selain buruh tak memiliki hak mendapatkan jaminan penghidupan yang layak, masa depannya pun buram, pula ditambah kebutuhan pokok yang semakin mahal. Bahkan, terkadang pendapatannya tak mencapai UMR (upah minimum rata-rata). Ini jelas menjadi patologi tersendiri.
Belum lagi persoalan pengusaha yang juga menginginkan keuntungan yang berlebih. Satu sisi mereka harus berhadapan dengan pengusaha multinasional yang semakin menyerbu pasar perekonomian Indonesia. Lain sisi, pengusaha local itu juga dihadapkan dengan persoalan upah buruh—terutama buruh outsourcing—yang juga tak memiki kepastian hukum dari pemerintah.
Disini sebenarnya, duduk perkara ini ada pada pemegang kebijakan itu sendiri. Pemerintah seharusnya memberi jaminan yang layak kepada rakyatnya, terutama buruh yang semakin tertindas dengan posisinya, tapi juga perlu dperhatikan juga mereka para pengusaha local yang semakin kembang-kempis diserbu produk impor.
Marx, pernah bicara tentang materialisme historis. Dimana basis material, yang berupa ekonomi—atau dalam bahasa sederhana masalah perut—menjadi penentu yang mendeterminasi dan memengaruhi perubahan formasi social yang lebih luas. Dalam kerangka baca ini, buruh yang semakin terhimpit dalam posisinya karena upah yang diterima tak sesuai dengan kebutuhan pokoknya itu kemudian sadar dari alienasi panjangnya yang dikebiri oleh pemilik modal yang mengeksploitasi mereka. Namun, jelas bukan posisi antagonis seperti itu yang hendak kita harapkan di Indonesia ini. Posisi yang lebih bermartabat tentunya adalah dalam kerangka konvensional, dimana posisi pengusaha dan buruh adalah dalam posisi simbiosis mutualis—saling melengkapi dan membutuhkan.
Memang ihwal terjadinya penghisapan manusia atas manusia, terutama kepada kaum buruh, sudah diterakan oleh Marx dalam teori nilainya. Eksploitasi dalam hal ini sejatinya—secara terselubung—buruh itu menjadi komoditas. Buruh-buruh itu bekerja, menciptakan barang mentah menjadi barang yang siap dipasarkan. Secara laten mereka terhisap kedalam komoditas-komoditas yang siap jual itu, penghisapan ini lebih kepada nilai yang dihasilkan dan melekat kepada komoditas yang telah jadi dan siap dipasarkan. Nilai lebih yang terserap itulah yang kemudian dihisap dan dinikmati oleh para pemilik modal sebagai pemilik alat produksi. Dalam hal ini, buruh kemudian hanya mendapatkan upah yang ala kadarnya dan tak sesuai dengan tenaga dan nilai yang ia transformasikan kedalam wujud komoditas siap jual itu.
Dalam terang akumulasi nilai-lebih (surplus value) inilah eksploitasi buruh terjadi—dalam bahasa Mansour fakih hal ini disebutnya sebagai penghisapan struktural. Nah, dalam kerangka ini sebenarnya bukan kesetaraan total yang kemudian akan diwujudkan, namun reduksi terhadap akumulasi nilai-lebihnya yang dinikmati pemilik modal. Atau lebih konkritnya kesejahteraan buruh haruslah diperhatikan terutama menyangkut kebutuhan pokoknya yang berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Pemberian upah kepada buruh tentulah menjadi masalah yang juga perlu diperhatikan, apalagi buruh kontrak (outsourcing). Upah adalah bagian yang tak tepisah dari akibat produksi agar sumberdaya manusia itu dapat mereproduksi, dalam pengertiannya sebagai “modal upah”—dalam konsepsi ilmiah Marx sebagai modal variable—bukan sebagai kondisi reproduksi material sumberdaya manusia.
Bagaimanapun, seperti itulah cara reproduksi kondisi material bekerja, mengingat upah hanya merepresentasikan dari sebagian nilai—yakni nilai yang diproduksi dari pengeluaran untuk SDM semata—yang tak dapat diacuhkan demi reproduksi dirinya sebagai kebutuhan pokok. Maka, kuantitas nilai (upah) yang diperlukan bagi reproduksi sumberdaya manusia bukan hanya berpatok pada UMR yang terkadang juga tak memihak buruh. Tetapi juga harus dilihat dalam kerangka kebutuhan historis minimum, dalam arti ini meyesuaikan dengan konteks dan situasi dimana buruh itu bermukim.
Dan tentu semua itu tak akan terwujud tanpa perantara, alias pihak ketiga sebagai apparatus Negara yang memiliki wewenang dan legitimasi terhadap aturan-aturan teknis dan hukum. Hal ini jelas, karena Negara ini bukan Negara kapitalis neoliberal yang hanya menghamba pada hukum despotik pasar bebas dan lepas dari tanggung jawab dari perekonomian dan ketenagakerjaan. Persoalannya kemudian adalah memberi hak yang sesuai kepada buruh dan pengusaha local. Buruh membutuhkan kesejahteraan social dan pengusaha local butuh proteksi ekonomi dari pemerintah.
Lebih dari itu, outsourcing haruslah diperketat atau malah kalau perlu dihapuskan karena system outsourcing jelas-jelas merugikan buruh atau dalam bahasa yang lebih eufemistik, pegawai. Maka, pemerintah sebagai apparatus Negara haruslah membuat jaminan hukum yang dapat menjamin kesejahteraan buruh, terutama buruh kontrak yang semakin diperas dan diperbudak tanpa kepastian yuridis yang jelas.
***
Ya, Barangkali benar apa yang dikatakan Marx bahwa masalah perut selalu akan menjadi penyebab utama kenapa manusia berontak. Bisa kita lihat sendiri, kondisi ekonomi kapitalisme global semakin kacau dan mengalami krisis dan mendekati kejatuhannya,  orang semakin paham bahwa dunia hidup ini bukan hanya milik segelintir manusia yang menguasai dunia dengan mega-capital, berpagar konstitusi—yang dalam bahasa Carl Schmitt dieksepsikan diluar hukum—dan system legitimasi yang memiskinkan Negara ketiga dengan jerat hutang, manipulasi media, dan perangkat hegemonic yang merajai dunia hiburan dan imaji-imaji palsu sesaat yang menjangkiti para pemuda dunia ketiga—ya kita-kita ini yang silau dengan Barat atau Amrik gitu atau malah Korea-korean?
Mungkin, tak ada yang lebih mengerikan dan membahayakan didunia ini selain penghisapan manusia oleh manusia lewat pusaran arus “angka-angka” yang bisa membeli apa saja, bahkan cinta  :) –Ia tak kelihatan, bahkan tak disadari, tapi perlahan membunuh…. [hehehe…]

Komentar

Populer