Langsung ke konten utama

PAGI (sebuah prologomena menuju ruang rindu)




Matahari mulai merangkak naik, menapak kaki langit sejurus arus waktu yang bergulir mekanis dengan ketepatan dan ketetapan hukum alam. Setiap pagi adalah momen ihwal yang tak terisi, semua yang berada dalam dunia menera tanda untuk segera bangkit, mengawali hari dengan secercah harapan diantara setiap ketakmungkinan, ketakpastian, bahkan kemustahilan.
Embun berbulir membentuk ornament bening yang menapak sublimasi suasana, kicau burung yang gaduh, juga kokok ayam kampung yang makin menambah pagi jadi berasa alami. Semua diantara mereka, liyaning-liyan itu, menerakan tanda-tanda yang tak habis dijadikan bahan refleksi, sebuah sumber kehidupan yang memberi secercah rasa untuk bersemangat jalani hari. Dan pagi bukan serangkaian deret pengulangan, tapi pagi adalah kebaruan yang menumbuhkan daya untuk berkata “Ya” (Ja-Sagen).
Pagi ini masih saja sama, tapi terlihat berbeda disetiap rona cahaya. Cahaya-cahaya pagi yang bertebaran diujung dunia, menapak tilas setiap fenomena yang tersibak disetiap warna bianglala. Meninggalkan sejumput cerita yang terjejaki, terkenang sudah semua rentetan alirannya yang terpahat dalam memori. Semua yang tertinggal, semua yang menyisakan rasa yang tak tersampaikan, semua yang terenggutkan kala wangi pagi menawarkan janji. Seperti itulah kehidupan, selalu saja tak lengkap, selalu saja retak, selalu saja fana.
Tapi ditengah hidup yang makin kering akan makna, hari ini cinta hanya omong kosong yang klise semata. Setiap apa saja yang pernah ada, juga yang pernah terfikirkan, barangkali semua hanya sepenggal narasi yang tak selamanya indah. Setiap apapun yang kita rasakan, seperti juga percik rasa yang tanpa sengaja menempel di sela-sela hati. Semua adalah rahmat tak tepermanai. Hanya rasa syukurlah yang membawa kita mencapai ketenangan, mencapai damai diri yang selalu saja tak puas musabab juntai hasrat yang terlampau kuat mencengkeram diri.
Begitu pula aku, aku hanya setitik noktah kecil yang inginkan segala rupa dunia. Tapi dunia bukanlah hakikat yang membuat kita kekal di dalamnya. Dunia memang menawarkan segala rupa perhiasan yang bisa memabukkan akal-pikiran kita untuk tunduk dibawah dogma-dogmanya yang tak punya titik batas. Semua ini hanya kefanaan yang akan kembali, jika sang empunya sudah berkehendak untuk mengambilnya kembali. Dan aku disini masih mencari, satu makna hakiki yang tak lekang sesuatu apapun. Hanya saja aku semakin tak mengerti, aku kehilangan semua rasa cinta yang pernah singgah sementara dihati. Mungkinkah pelangi itu tiba pada waktunya? Ataukah cahaya yang bertapis ungu selatan? Semua hanya impian yang makin jadi mustahil, aku sendiri sudah jadi setan yang boleh dilabeli “kafir”.
Dimana lagi aku akan menjejakkan kaki, mencari sepenggal cinta hakiki yang makin jadi utopia. Cinta yang asali, bukan hanya rayu-rayuan yang menipu, bukan cuma permainan kama yang hanya memuja “tubuh”. Cinta yang melampaui emanasi cahaya? Tapi pantaskah aku menuju balairung sunyi itu? Aku yang hina, aku yang kotor oleh kelindan nafsu dunia, mungkinkah aku masih diterima ditepian firdaus-Nya?
Tolong kami, tolong semua manusia yang semakin berpongah diri dan menantang semua kemaha-bijaksanaan dan kemaha-kasih-sayang-Mu, atas kelupaan diri kami sebagai ciptaan, sebagai manusia yang merasa punya segalanya. “Tunjukilah kami jalan yang lempang…”
Dan hari semakin berlari, matahari semakin menapak tinggi kaki langit, waktu sudah berganti dan terus berputar tanpa henti. Tolonglah kami, bimbinglah kami menuju sebuah tempat yang tak berpusat, sebuah tempat yang terisi kedamaian.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
QS ([24]: 35)
Maka, dari setiap cahaya yang terlihat dan tercerap oleh retina, juga setiap cahaya yang menerangi dunia dengan beragam tinta berwarna. Aku akan selalu ada mengiring jejak rindu untuk sebuah cinta yang masih aku cari jejaknya. Barangkali diwajahmu aku akan temukan lagi, sejumput cinta dan kenangan yang akan membawaku menuju damai diri, menuju balairung sunyi hakiki, menuju cahaya diatas cahaya. Disana aku ingin bersamamu kesekian kalinya.

Waktu yang terus bergulir ini membawaku untuk berkata apa adanya, untuk menuai segala rupa dunia yang menyesakkan hati penuh lepuh luka. Dan pagi adalah sejumput janji, untuk menemukan kembali rasa yang masih tertinggal, rasa yang tak terejawantah padanya kecantikan yang tak kekal. Semoga kau bahagia hari ini, semoga senyum menghias hari-harimu penuh suka.
Dari setiap ragam kejadian yang teralami, semua adalah janji, semua adalah daya untuk selalu mencari hidup yang semakin sesak oleh tirai besi kepalsuan buatan kerakusan dan ketamakan manusia. Dan terkadang, barangkali, tak konsisten dalam hidup itu perlu, karena hidup itu proses menuju Kebenaran—yang-akan-datang. Pandangan semacam itu tak harus dianggap sebagai kelemahan, sebab apa yang disebut dengan mempertahankan puisi dan pemikiran, atau dalam arti khusus: suara lain dan pengertian, yang konsisten, yang kukuh dan tidak retak, sekarang sudah usang karena dunia kini tengah merayakan serba-inkonsisten dan serba-paradoks.
Sudah jadi ciri penulis mutakhir adalah hidup dalam paradoks tak berkesudahan.
Layaknya berjalan diatas papan catur tanpa dasar, kita tak tahu apa yang akan terjadi kemudian, sedetik, semenit, sejam…?
“Tak ada waktu-diam, melainkan waktu-berjalan…”
Aku menunggu senyummu yang tergadai dalam ego—dalam waktu yang bisu!
 

Komentar

Populer