Matahari
mulai merangkak naik, menapak kaki langit sejurus arus waktu yang bergulir
mekanis dengan ketepatan dan ketetapan hukum alam. Setiap pagi adalah momen
ihwal yang tak terisi, semua yang berada dalam dunia menera tanda untuk segera
bangkit, mengawali hari dengan secercah harapan diantara setiap ketakmungkinan,
ketakpastian, bahkan kemustahilan.
Embun
berbulir membentuk ornament bening yang menapak sublimasi suasana, kicau burung
yang gaduh, juga kokok ayam kampung yang makin menambah pagi jadi berasa alami.
Semua diantara mereka, liyaning-liyan itu, menerakan tanda-tanda yang tak habis
dijadikan bahan refleksi, sebuah sumber kehidupan yang memberi secercah rasa
untuk bersemangat jalani hari. Dan pagi bukan serangkaian deret pengulangan,
tapi pagi adalah kebaruan yang menumbuhkan daya untuk berkata “Ya” (Ja-Sagen).
Pagi
ini masih saja sama, tapi terlihat berbeda disetiap rona cahaya. Cahaya-cahaya
pagi yang bertebaran diujung dunia, menapak tilas setiap fenomena yang tersibak
disetiap warna bianglala. Meninggalkan sejumput cerita yang terjejaki,
terkenang sudah semua rentetan alirannya yang terpahat dalam memori. Semua yang
tertinggal, semua yang menyisakan rasa yang tak tersampaikan, semua yang
terenggutkan kala wangi pagi menawarkan janji. Seperti itulah kehidupan, selalu
saja tak lengkap, selalu saja retak, selalu saja fana.
Tapi
ditengah hidup yang makin kering akan makna, hari ini cinta hanya omong kosong
yang klise semata. Setiap apa saja yang pernah ada, juga yang pernah
terfikirkan, barangkali semua hanya sepenggal narasi yang tak selamanya indah.
Setiap apapun yang kita rasakan, seperti juga percik rasa yang tanpa sengaja
menempel di sela-sela hati. Semua adalah rahmat tak tepermanai. Hanya rasa
syukurlah yang membawa kita mencapai ketenangan, mencapai damai diri yang
selalu saja tak puas musabab juntai hasrat yang terlampau kuat mencengkeram
diri.
Begitu
pula aku, aku hanya setitik noktah kecil yang inginkan segala rupa dunia. Tapi
dunia bukanlah hakikat yang membuat kita kekal di dalamnya. Dunia memang
menawarkan segala rupa perhiasan yang bisa memabukkan akal-pikiran kita untuk
tunduk dibawah dogma-dogmanya yang tak punya titik batas. Semua ini hanya
kefanaan yang akan kembali, jika sang empunya sudah berkehendak untuk
mengambilnya kembali. Dan aku disini masih mencari, satu makna hakiki yang tak
lekang sesuatu apapun. Hanya saja aku semakin tak mengerti, aku kehilangan
semua rasa cinta yang pernah singgah sementara dihati. Mungkinkah pelangi itu
tiba pada waktunya? Ataukah cahaya yang bertapis ungu selatan? Semua hanya
impian yang makin jadi mustahil, aku sendiri sudah jadi setan yang boleh
dilabeli “kafir”.
Dimana
lagi aku akan menjejakkan kaki, mencari sepenggal cinta hakiki yang makin jadi
utopia. Cinta yang asali, bukan hanya rayu-rayuan yang menipu, bukan cuma
permainan kama yang hanya memuja “tubuh”. Cinta yang melampaui emanasi cahaya?
Tapi pantaskah aku menuju balairung sunyi itu? Aku yang hina, aku yang kotor
oleh kelindan nafsu dunia, mungkinkah aku masih diterima ditepian firdaus-Nya?
Tolong
kami, tolong semua manusia yang semakin berpongah diri dan menantang semua
kemaha-bijaksanaan dan kemaha-kasih-sayang-Mu, atas kelupaan diri kami sebagai
ciptaan, sebagai manusia yang merasa punya segalanya. “Tunjukilah kami jalan
yang lempang…”
Dan
hari semakin berlari, matahari semakin menapak tinggi kaki langit, waktu sudah
berganti dan terus berputar tanpa henti. Tolonglah kami, bimbinglah kami menuju
sebuah tempat yang tak berpusat, sebuah tempat yang terisi kedamaian.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
QS
([24]: 35)
Maka,
dari setiap cahaya yang terlihat dan tercerap oleh retina, juga setiap cahaya
yang menerangi dunia dengan beragam tinta berwarna. Aku akan selalu ada
mengiring jejak rindu untuk sebuah cinta yang masih aku cari jejaknya.
Barangkali diwajahmu aku akan temukan lagi, sejumput cinta dan kenangan yang
akan membawaku menuju damai diri, menuju balairung sunyi hakiki, menuju cahaya
diatas cahaya. Disana aku ingin bersamamu kesekian kalinya.
Waktu
yang terus bergulir ini membawaku untuk berkata apa adanya, untuk menuai segala
rupa dunia yang menyesakkan hati penuh lepuh luka. Dan pagi adalah sejumput
janji, untuk menemukan kembali rasa yang masih tertinggal, rasa yang tak
terejawantah padanya kecantikan yang tak kekal. Semoga kau bahagia hari ini,
semoga senyum menghias hari-harimu penuh suka.
Dari
setiap ragam kejadian yang teralami, semua adalah janji, semua adalah daya
untuk selalu mencari hidup yang semakin sesak oleh tirai besi kepalsuan buatan
kerakusan dan ketamakan manusia. Dan terkadang, barangkali, tak konsisten dalam
hidup itu perlu, karena hidup itu proses menuju Kebenaran—yang-akan-datang.
Pandangan semacam itu tak harus dianggap sebagai kelemahan, sebab apa yang
disebut dengan mempertahankan puisi dan pemikiran, atau dalam arti khusus:
suara lain dan pengertian, yang konsisten, yang kukuh dan tidak retak, sekarang
sudah usang karena dunia kini tengah merayakan serba-inkonsisten dan
serba-paradoks.
Sudah
jadi ciri penulis mutakhir adalah hidup dalam paradoks tak berkesudahan.
Layaknya
berjalan diatas papan catur tanpa dasar, kita tak tahu apa yang akan terjadi
kemudian, sedetik, semenit, sejam…?
“Tak
ada waktu-diam, melainkan waktu-berjalan…”
Aku
menunggu senyummu yang tergadai dalam ego—dalam waktu yang bisu!

Komentar
Posting Komentar