Langsung ke konten utama

Penantian (solitary mental life)




Aku mesti melupakan untuk kemudian mengingatnya kembali. Dalam momen kini dan disini, sesuatu itu hadir sekaligus lamat-lamat melenyapkan dirinya. Kala malam sepi, sendiri memagut rindu yang tak jua mendapatkan cinta azali. Monolog yang tak terdengar, sejenak ingin menemukan kembali sebuah kemurnian absolut yang bebas dari kontaminasi—dalam hening solilokui.
Waktu yang berlalu selalu mengandaikan jejak masa lalu dan jejak di masa depan. Mengingatnya untuk melupakan, melupakannya untuk kemudian mengingat kembali. Repetisi yang akan terus saja terngiang dalam kesadaran diri. Menanti lagi, sesuatu yang tak pasti, sebuah kehadiran yang-lain yang tak pernah aku mengerti titik nadirnya. Hidup ini memang terkadang selalu retak, tak pernah ada sebuah kepastian absolut.
Seperti sebuah cinta yang selalu di damba setiap insan di dunia. Semua manusia ingini cinta yang tulus tanpa kontaminasi banalitas kejahatan. Sebuah harapan yang selalu tertanam, adalah sebuah damai jiwa, keteduhan sublim yang mengitari hidup tanpa riuh kelindan kama. Tapi dimana? bisakah cinta sejati itu “ada”, setidaknya dalam dunia nyata? Atau barangkali cinta sejati itu hanya cerita yang menghias tiap aksara dalam sebuah ceritera legenda semata.
Tapi hidup adalah sebuah cita, dimana kita mengejar makna, mengejar cinta pada jaring-jaring yang entah dimana. Ikhtiar dan tawakal adalah sejenis harapan akan satu kepastian yang tak menuntut hak yang berlebih. Dalam serba ketakjelasan hidup yang absurd, juga cinta yang berasa mustahil, barangkali menanti dan menunggu adalah sejenis rahmat. Semua yang kita rasakan, semua yang telah mengendap dalam relung hati terdalam, tak akan hilang begitu saja, tak akan musnah seketika, meski luka kian mendera, tapi penantian bukanlah hal yang muspra.
Dari setiap fenomena yang kita resapi setiap detik, setiap kali, selalu, adalah sederet refleksi. Dimana kita menyematkan asa, dengan kerendah-hatian untuk tak terlampau merasa diri sebagai yang paling benar sendiri. Seperti itu pula saat kita menunggu, sebuah ketakpastian yang ada dalam ruang antara, diapit dalam simpang yang bercabang, antara yang mungkin dan yang tak mungkin. Disanalah yang tak mungkin itu berpotensi menjadi mungkin, menuju sebuah titik pembatasan antara idealitas dan realitas yang selalu saja tak sejalan.

Pada warna-warna cahaya yang memantul dari temaram lampu kota. Memancarkan gradasi yang berlapis-lapis, tak terhingga. Apapun yang kita raih dalam hidup hanya sematan yang fana. Semua manusia, tak ada yang sejatinya berpunya, yang memiliki, juga yang kehilangan.
Aku pun tahu, hidup kita hanya puing cerita yang begitu cepat berlalunya. Saat kita hanya sibuk mengurusi nafsu dan kesarakahan diri, itu sama saja dengan meludahi martabat diri, menganiaya diri kita sendiri. Dan aku tahu, kau sudah menutup jalanku, menampik diriku yang tak miliki segalanya, menolak mentah-mentah wajahku yang buruk rupa. Tapi setidaknya aku masih bisa merasakan kebenaran, sebuah kebenaran tulus cinta yang meski takut terjatuh, tapi tetap kokoh berdiri hingga gemuruh guntur menerpa tubuhku dengan  janur kuning.  Disini aku menunggumu, hingga kau ingat kembali.
Pada malam sunyi hakiki, aku ingin sejenak menikmati luka dan menyiramnya dengan cinta. Satu cinta yang tak ingini apa-apa, hanya sejumput rasa setia yang mengejawantah pada bulir-bulir cahaya. Bulan menyabit menghantarkan malam ku ketepian waktu, menunda dan membedakan ihwal yang tak kunjung tersingkap. Berlari aku ingin menembus tirai yang menyelubung pancaran emanasi warna cahaya, cahaya yang tak berhingga, cahaya diatas cahaya. […]       

Komentar

Populer