Langsung ke konten utama

Kebebasan yang retak





“Existence precedes essence…” —Jean-Paul Sartre

Manusia ‘terlempar’ didunia eksistensial yang serba absurd dan fana ini bukan tanpa pilihan. Sejak Adam—sang pionir dari segala nyawa yang berfikir—“dikutuk” untuk menjadi bebas, bebas dengan segala pilihan, yang tentu karena kehendak bebasnya ia memakan buah terlarang yang konsekuensinya ia bersama Hawa harus turun tahta ke dunia yang penuh dengan kekejaman dan kepalsuan.
Manusia memang punya rahasia dan keunikannya tersendiri, tak mudah menafsiri dan menggenggamnya dalam definisi, hingga kini setiap sisi darinya masih menyimpan jutaan tanya. Barangkali karena manusia itu sendiri adalah semacam paradoks. Ia punya dua sisi, imanensi juga transendensi, tubuh juga jiwa, bahkan tak seperti alam yang punya hukumnya sendiri, manusia cenderung selalu berubah-ubah—tak bisa dipastikan ‘apa’-nya.
“Siapa manusia?” pertanyaan ini menjadi tema besar dalam pelbagai narasi besar yang mengklaim punya jawaban dan kebenarannya masing-masing. Esensi dan kodrat manusia selalu diutak-atik layaknya benda-benda, semuanya mendefinisikan dalam genggaman universal seperti animal rationale, homo faber, animal symbolicum, homo ludens, dsb.
Pada titik inilah, datang para filsuf eksistensialis. Mereka menolak semua universalitas manusia, bagi mereka manusia tak memiliki kodrat. Eksistensi adalah hal-ihwal, jadi bukan ‘apa’-nya manusia yang membentuk sang manusia (subyek) tapi cara berada-nya dalam dunia dan dialektika eksistensinya dengan yang-lain (the other). Manusia tak ditentukan oleh apapun diluar dirinya, ya manusia itu kebebasan, manusia dikutuk untuk menjadi bebas, demikian pekik Sartre sang punggawa eksistensialis Perancis.
Kebebasan sebagai ihwal eksistensi manusia dapat kita temukan rumusannya dalam cara berada manusia, sebagaimana konsepsi Sartre: ȇtre-en-soi (being-in-self) dan  ȇtre-pour-soi (being-for-itself). Baginya ȇtre-en-soi merupakan ada yang begitu saja, yaitu tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan ini yang membuatnya tetap, ia tak mungkin ‘menjadi’ (becoming), dalam arti ini adalah apa yang identik bagi dirinya sendiri. Sedangkan, ȇtre-pour-soi adalah kesadaran manusia, yaitu ada yang bukan dirinya sekaligus apa yang dirinya bukan (being what it is not and not being what it is), dalam arti ini kesadaran tak pernah identik dengan dirinya sendiri, ia bisa berkata “tidak” pada apapun yang menentukan dan mendeterminasikannya dalam sebuah identitas. Disinilah ihwal kebebasan manusia, ‘siapa’ saya atau ‘apa’ saya hanya saya-lah yang menentukan. Walaupun kita dicekoki konsep baik-buruk, benar-salah, toh semua pilihan akan kembali kepada “saya”.
Manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri, kata Sartre. Dalam hal ini, Sartre menekankan subyektivitas dan kebebasan kehendak pada level individu untuk tak patuh pada apapun yang coba mendifinisikan diri “saya”. Kesadaran tentang yang lain (the other) adalah kesadaran tentang diri, bukan sesuatu yang lain itu, maka kesadaran adalah juga kekosongan. Kekosongan karena sesuatu yang lain diluar diri (objek-objek) adalah dunia yang berada diluar dirinya, selain itu karena ia sadar bahwa dirinya bukan objek.
Bagi Sartre tak ada waktu yang spasial, masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah entitas yang tak terpisahkan. Pada momen kini dan disini (hic et nunc) adalah momen yang ada-bagi-dirinya (ȇtre-pour-soi), semuanya ada dalam kemungkinan dan ketakmungkinan. Saat ini adalah bukan masa lalu, karena masa lalu itu hadir juga karena kita tafsirkan hari ini dalam kesadaran kita, sedangkan masa depan adalah harapan yang akan terus terbuka bagi peluang terciptanya kebaruan. Oleh karenanya manusia tak identik dengan masa lalunya, ia terbuka pada setiap kemungkinan yang berada diluar kendalinya.
Pada aras inilah hidup kemudian tak hanya sebagai sebuah repetisi belaka, tapi hidup manusia selalu terbuka bagi setiap kemungkinan, apa yang tak mungkin pun bisa menjadi mungkin. Dengan kebebasanyang meski inheren dalam diri manusia—ia tetap bertanggung-jawab pada kebebasan yang melekat pada dirinya. Segala pilihan yang dipilihnya pada akhirnya tak bisa dielakkan akibatnya. Manusia bisa menentukan apapun yang baik menurut dirinya sendiri, menilai yang baik atau buruk menurut dirinya sendiri—tapi ia tak bisa menampik apa yang dipilihnya bila tak sesuai dengan kehendaknya—ya manusia bertanggung-jawab penuh dengan apa yang dipilih oleh kebebasannya.
Dalam pergumulannya dengan orang lain (relasi social), manusia dibatasi kebebasannya oleh orang lain. Manusia tak bisa memaksakan segala yang diinginkannya, segala nilai yang baginya baik belum tentu harus dimiliki atau dilakukan orang lain—yang juga menganggapnya baik. Kebebasan untuk memilih itu seketika retak, ia bebas dengan pilihannya tapi tak bisa membuat orang lain sesuai dengan kesadarannya. Misalkan masalah jodoh, yang banyak orang menganggap ini takdir. Padahal jodoh adalah pilihan, hanya saja pilihan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pendek kata, jodoh itu menjadi takdir ketika memang sudah terjadi, ketika belum terjadi, masih ada banyak kemungkinan. Dan tepat disitulah kebebasan manusia itu yang akan menentukan jodohnya, hanya ada dialektika dengan yang-lain—yang membutuhkan konvensi dengan yang-lain.
Berikut ilustrasi untuk menggambarkan kebebasan manusia. Misalkan seorang mahasiswi pendidikan sudah merasa mapan dengan bekerja, ia berpacaran dengan seorang mahasiswa filsafat. Hubungan mereka awalnya baik-baik saja, tapi konflik menyeruak dan memecah hubungan mereka. Pangkalnya sang mahasiswi mulai mendikte sang pacar, misal ia selalu berkata “Ndra, kenapa kamu tak mengambil jurusan manajemen yang lebih menguntungkan secara finansial?” atau “Ndra, kenapa tiap kali aku ajak makan kau selalu menolak dengan alasan diskusi filsafat?” dan tentu masih banyak “penghakiman nilai” yang menurut seseorang baik, berguna, dan benar tapi bagi orang lain belum tentu. Maka sang mahasiswa filsafat itu jelas tak nyaman karena ia dijadikan objek, padahal hubungan yang diinginkannya adalah hubungan yang saling men-subyek-an, yang otonom, unik, dan bebas.
Dari sini, bisa kita terka bahwa manusia itu unik dan bebas, hanya saja kebebasannya selalu tak lengkap, selalu terbelah, dan retak. Dengan kebebasan yang melekat itulah manusia bertanggung-jawab terhadap apapun yang dia pilih. Kebebasan yang juga dibatasi kebebasan orang lain, bukan karena takdir. Memang terkadang ada semacam “invisible hand” yang mungkin sejenis ilham dari Tuhan, tapi toh hanya orang dengan derajat keihklasan tertentu saja yang bisa memerolehnya.  Bagi manusia biasa semua adalah pilihan akan kebebasan, pilihan untuk hidup melawan absurditas, barangkali dengan menyadari kebebasan yang fana itulah kita menjadi sadar pada sebuah pegangan. Kita menjadi tahu bahwa kita bukan hakim dari segalanya, tepat disitulah kita hanya bisa berharap, seraya berdoa dan berikhtiar, berusaha menjadi yang terbaik dalam kebebasan yang melekat dalam diri kita.***

Komentar

Populer