Malam ini kembali, aku mendapat bombardir pertanyaan
yang berkait Tuhan. Melepaskan sudut pandang yang sebenarnya aku sendiri juga
sedang dalam waham. Seorang kawan, makin jauh menelisik, menyusuri lembah yang
ingin dicapai tapi tak jua tergapai. Setelah membaca buku-buku filsafat yang
pernah aku rekomendasikan, ia semakin skeptis, semakin galau, gelisah dengan
kehidupannya yang dulunya tenang dan biasa saja.
“Ya! Inilah hidup kawan! Ketika kau tenang-tenang saja
kau sudah jadi mayat hidup tanpa kau sadari, kalo bahasa Marx: alienasi…”
begitulah aku menimpali segala keluh kesahnya…
Memang kita terkadang hidup serasa tanpa beban, tanpa
masalah. Padahal dunia ini—utamanya sejarah—selalu mengandung problem,
kontradiksi, dan berbagai hal yang selalu menyisakan celah. Bisa jadi dengan
bersikap tak tahu menahu, apatis, acuh tak acuh, itu sama saja dengan membodohi
dan membohongi diri.
Manusia memang tak bisa lari dari realitas, mungkin
sekejap ia lari, tapi pelarian itu hanya akan menambah daftar panjang permasalahan.
Seperti layaknya kaum sufi ekstrim yang pergi nun jauh dari ramainya kelimun
manusia, menyepikan diri dan hanyut dalam ekstase yang tak lagi mengafirmasi
dunia, untuk berkata “Ya!”. Ia lari tapi ia bunuh diri, karena sesoliter apapun
manusia, ia tetaplah bagian dari apa yang disebut Zizek sebagai The-Big-Other—tatanan
social yang kita diami.
Karena dari sanalah dunia-hidup ini dibentuk, dan
manusia sebagai subyek adalah kumpulan yang berada diantaranya. Sejauh ia
manusia, ia tetap bertanggung jawab terhadap alteritas, terhadap
liyaning-liyan, yang ‘beda’ tapi tetap ‘sesama’.
Barangkali benar kita direpotkan dengan masalah
pribadi yang menumpuk belum lagi sembuh benar kita sudah dihadapkan jutaan patologi
social yang juga menuntut orang yang tahu untuk ikut berperan, setidaknya
merubahnya kearah ‘idealitas’ yang sudah jadi rumusan.
Apalagi peliknya soal Tuhan, memang hal ini akan
selesai dengan dogma, dengan iman yang membenteng, tanpa mencari tahu, apa
hakikat ihwalnya. Tuhan dan agama, dua hal yang kadang kontradiktif. Agama selalu
berujung pada keharusan, kepastian, sementara Tuhan selalu seperti apa yang
diterakan Amir Hamzah dalam puisinya: “bertukar tangkap dengan lepas”. Inilah paradoksnya,
tapi mungkin jalan mencapai hakikat kebenaran itu memang tak gampang, semuanya
tak bisa diukur dengan kalkulasi matematis, maupun logika.
Seperti kata pepatah: “Mencari Kebenaran itu berbahaya—penuh
onak berduri—namun, jauh lebih berbahaya adalah merasa memeroleh Kebenaran…”
disitulah kita sebagai manusia yang fana kemudian bukan merengkuh sematan
kebebasan yang menjadi hak, tapi juga tanggung jawab akan sebuah pembebasan
sudah semestinya juga tersemat dalam diri kita sebagai manusia. Kita tahu, tak
ada agama yang mengajarkan kekerasan apalagi permusuhan, kalau toh ada itu
hanya tafsir yang ganjil. Moralitas adalah bagian yang menjadi jantung dari
setiap agama, mungkin kita akan tahu, ketika kita sudah melewati jalan
(syariat) kita akan mengerti ternyata diatasnya jauh lebih tak terperi,
disanalah yang esoteric menyatukan semua unsur, semua identitas particular yang
dibuat manusia seketika lebur pada Yang-tak-berhingga.
Komentar
Posting Komentar