Membaca buku What is Philosophy?
karya Gillez Deleuze dan Felix Guattari bagi saya begitu banyak menguras tenaga.
Awal mula membacanya kita akan dikagetkan dengan bahasa yang bombastik—bagi yang tak
biasa membaca buku-buku filsafat hanya terdiam seraya tersenyum simpul
mengingat igauan Tony Blank…
Lantas, Apa itu Filsafat?
Filsafat—sebagaimana Deleuze dan Guattari katakan
dalam What is Philosophy?—adalah "seni membentuk, menciptakan dan
fabrikasi konsep-konsep." Konsep-konsep yang intensif—yang dalam karya
mereka sebelumnya: A Thousand Plateau termasuk konsep seperti rimpang (rhizome)
dan mesin perang (the war machine)—yang terdiri atas "tataran
imanensi" (the plane of immanence). Hah?
Untuk menjelaskannya, kita harus menelaah: "Concepts
are the archipelago or skeletal frame, a spinal column rather than a skull,
whereas the plane is the breath that suffuses the separate parts...Concepts are
concrete assemblages, like the configurations of a machine, but the plane is
the abstract machine of which these assemblages are the working parts. Concepts
are events, but the plane is the horizon of events..."
Memabukkan! Gila! Menyilaukan! Dan barangkali membingungkan! Dengan
bahasa yang penuh dengan neologi, keliaran metafora, dan jukstaposisi, buku tersebut
membuat beberapa orang hanya melemparkan buku itu seraya berkata “huft, buku
yang gila…”, barangkali juga bergumam tentang katak aneh yang telah
kehilangan sense politiknya. Lainnya, akan mendapatinya benar-benar teler…heheheee…
Membentuk keterlibatan yang lebih ketat dalam
hal ini adalah hal yang sulit, karena ini merupakan pembacaan yang menghindar
dari kategori yang kita ingin paksakan dengan cara baca yang rigor, ketat, pada
"metafora," "teori," "ilmu palsu," ataupun
"halusinasi"—pendeknya ini adalah pekerjaan yang (nyaris) tak
mungkin. Tapi setidaknya Deleuze dan Guattari dengan filsafat “imanensinya”
ingin menegaskan sejenis manifesto: “wahai filsuf sedunia, menciptalah!.” Mereka ingin mengembalikan sifat pemikiran
produktif dan kegiatan yang sesuai dengan “tubuh”. Disaat ”kematian” filsafat,
atau ”kritik atas metafisika” sedang gencar-gencarnya digulirkan Heidegger yang
berlanjut pada pos-modern-isme, Deleuze justru berusaha
mengonstruksi ontologi baru dengan pendasaran imanensi-nya.
Dalam karya sebelumnya, Anti-Oedipus,
mereka menunjukkan bahwa masyarakat terjebak dalam rutinitas ”kebiasaan” yang overcoded-oedipal
(Oedipus adalah salah satu rutinitas, atau mikro-fascisms dan redudansi yang
mengintai dalam begitu banyak "radicalisms"). Di sini, Deleuze dan Guattari
memperkenalkan kebisingan produktif ke dalam tataran sistem (negara).
Dalam What is Philosophy? Sistem ini
tidak begitu banyak dominan dalam tataran Negara seperti dominasi totaliter,
tetapi dalam kekuatan pasar, periklanan dan retorika komunikasi. Deleuze dan Guattari
menyayangkan gerakan umum yang menggantikan makna dengan promosi penjualan dan
membuat "simulacrum, simulasi sebungkus mie ... tentang konsep yang
benar." Dalam hal ini, dominasi layanan informasi dan mikro-marketing
tidak hanya merusak seni dan filsafat, tetapi juga menghasilkan politik
redundansi sibernetik—dari jajak pendapat dan umpan balik consensus yang membosankan.
Kemudian dengan amat sarkastik, mereka menyerang pretensi ilmiah filsafat
kognitif, sementara mengejek logika sebagai “Seperti permainan catur, atau
permainan bahasa, daripada permainan kuis televisi." Mereka juga memperkirakan
imajinasi konseptual dalam dunia yang di diubah dan konstruksi oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bagaimana kita membayangkannya untuk menjadi ketika
perbedaan antara organik dan makanik makin kabur? Ketika realitas dilipat menjadi
virtualitas, dan jaringan komputer menyedot pengetahuan menjadi monad digital?
Bagaimana kita mau berpikir, jika sebelum berpikir saja sudah terlebih dulu di kacaukan
dengan cara berfikir kita sendiri?
Sungguh luar biasa, buku What is
Philosophy? Setidaknya memberlakukan salah satu mutasi yang paling penting
dari teori kontemporer, membungkus semua pertanyaan di sebuah tataran imanensi
absolut yang dibangun dari ilmu otak, kritik film, silsilah teknologi, dan
etika Spinozian. Deleuze dan Guattari mulai menembakkan kembali “meteorit-meteorit”
yang disebut "kumpulan" dan "abstrak mesin" dan
"tubuh-tanpa-organ".
Deleuze dan Guattari setidaknya mencoba
menyelaraskan “cara kerja” filsuf, seniman dengan para ilmuwan—yang sama-sama
bergulat dengan Chaos. Itu sebabnya Deleuze dan Guattari tidak begitu
banyak menafsirkan atau men-decode seni sebagai “pasukan marinir yang
tampak teratur”. Meskipun sulit, konsepsi mereka tentang seni, “persepsi, dan
Mempengaruhi Konsep,” adalah sebuah meditasi indah tentang bagaimana lukisan
musik dan fiksi membangun "rumah" yang tersaring, terpilih, dan tersusun
oleh harmoni kekuatan kosmik—sebuah “monument” yang tetap terbuka pada
yang-tak-berhingga (infinity). Begitu peliknya konsepsi mereka tentang "deterritorialization"
atas "territorialization," paling tidak menunjukkan kemampuan mereka
untuk menciptakan kesinambungan antara manusia dan alam yang tak sebagaimana Darwinisme
sosial yang kembali ke zaman purba dimana “siapa kuat dia berkuasa”, melainkan
"membangkitkan" sifat alami pada keutamaan semesta untuk berharmoni
seraya terus menjadi.
Oleh karenanya, sejarah adalah inersia
kumulatif kebiasaan buruk, dan kekuatan revolusioner yang bergerak menuju
eksperimen kolektif. "The success of a revolution resides only in
itself, precisely in the vibrations, clinches, and openings it gave to men and
women at the moment of its making and that composes in itself a monument that
is always in the process of becoming, like those tumuli to which each new
traveler adds a stone."
Syahdan, Deleuze dan Guattari dengan amat
gemilang meredifinisi seni, filsafat dan ilmu pengetahuan (sains) dengan
memotong kekacauan (Chaos)—sebagaimana apa yang disebut Joyce dengan
"chaosmos". Selain itu, "the struggle with chaos is only the
instrument of a more profound struggle against opinion, for the misfortune of
people comes from opinion." Deleuze dan Guattari bersikeras bahwa
senjata pamungkas untuk mengondisikan Chaos adalah dengan otak—yang juga
semcam afirmasi radikal terhadap imanensi—dipahami sebagai persimpangan dari tiga
tataran: filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan (sains). Otak bagi mereka
bukanlah sebuah “komputer” daging, atau pengolahan dunia eksternal bising
dengan kejelasan a la Cartesian, tapi merupakan chaosmos total… Hmmm,
benarkah demikian? Dimanakah letak pikiran itu? Apakah didalam otak? Atau pada
jiwa? Atau dimana???? Siapa yang bisa mengatakan di mana????
Komentar
Posting Komentar