Langsung ke konten utama

Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya?


Awal minggu ini, tepatnya sehari sebelum tahun baru saya iseng-iseng mampir ke toko buku langganan saya di daerah jl. Solo. Pas tanggal tua, dan ada sedikit sisa uang yang lumayan untuk membeli buku. Awalnya sih gak niat beli, tapi setelah melihat-lihat saya jadi tertarik bukunya Karl Popper: Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya.
Tak terlampau menghiraukan harganya, langsung saja saya tebus buku yang tebalnya 943 halaman itu. Agak kaget memang, harganya agak terasa ganjil. Dan selidik punya selidik saya cek harganya diinternet tenyata lebih murah. Penasaran, akhirnya saya cek lagi ke toko buku langganan saya itu tadi dan ternyata memang harganya dinaikkan. Hmmm…agaknya yang membuat agak geram adalah tak adanya pemberitahuan, tak demokratis, sepihak. Inilah yang juga menjadi focus kajian dalam buku Karl Popper, dimana tidak ada ruang terbuka yang membikin kesetaraan (ȇgalite).
Dalam hal ini, toko buku tersebut telah bertindak “totaliter” terhadap para pelanggan yang sudah terbiasa membeli disana. Mungkin ini lumrah dalam kerangka system jual beli “modern” yang sudah ditentukan sepihak oleh penjual tanpa bisa di nego oleh pembeli. Dalam tata jual-beli, dalam system seperti inilah sebenarnya terjadi “oligarki” kekuasaan ekonomi, atau katakanlah etatisme ekonomi yang dikendalikan segelintir orang. Inilah yang kemudian sifatnya menjadi memaksa, tanpa bisa kita kompromikan harganya yang sesuai. Ya, setidaknya seperti cara tradisional yang lebih terasa demokratis, tapi ya itulah, karena memang kita tak dapat mengelak dari sebuah tatanan yang memang sudah dianggap rasional, maju, praktis, dan mungkin nggak ribet.
***
Karl Popper yang merupakan filsuf kelahiran Wina, Austria ini, adalah filsuf jenius yang berpengaruh dalam sains dan politik. Dalam sains ia dikenal dengan teori falsifikasinya yang merobohkan legitimasi sains sebagai sebuah otoritas kebenaran yang tak terbantahkan. Sains (positif) yang dulunya ‘menyaingi’ kebenaran agama yang cenderung metafisik dan tak kasat mata kini berbenah diri dengan tak terlampau pongah dimana teryata kebenarannya hanyalah salah satu kebenaran yang ada diantara kebenaran-kebenaran yang lain. Pendeknya kebenaran sains bukanlah kebenaran “metanarasi” yang bersifat universal, tapi kebenaran sains adalah kebenaran kontingen yang niscaya terus mengalami perubahan. Jadi falsifikasi Popper adalah penerimaan terhadap “kekurangan” dimana “manusia bisa salah!”.
Dalam bukunya, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya, Popper menelanjangi filsafat politik yang di konsepsikan sejak Heraclitus, Plato, Hegel, hingga Marx. Menurutnya kerangka ontologis yang mendasari filsafat mereka berangkat dari proposisi yang salah, dimana ada semacam pola pikir historisisme yang mengeram dalam konsepsi mereka tentang dunia. Pola pikir historisisme adalah pola pikir yang mengandaikan bahwa dalam kehidupan manusia sudah ada entitas tertentu yang menentukannya (mendeterminasinya). Dalam Heraklitus misalnya kita temukan kecenderungan yang mengafirmasi pertentangan dan perubahan.
Dalam Plato kita mengenal Forma atau idea yang mendahului segala sesuatu. Dalam Plato memang tidak sederhana, dalam artian ia tidaklah historisis an-sich tapi ia juga menggabungannya dengan posisi “rekayasa social” (the attitude of social engineering) dimana peran manusia sebagai agen yang merubah sejarah pun di afirmasi. Hanya saja perhatian Popper pada Plato adalah konsepsi politiknya yang cenderung etatis dan anti demokrasi. Penilaian Popper memang bukan tanpa dasar, karena Plato dalam karyanya Republic terlampau “mendewakan” filsuf sebagai manusia terpilih yang berhak mengatur Negara.
Popper amat sinis terhadap Hegel yang menurutnya tak lebih sebagai seorang penipu bahkan menurutnya “Hegelianisme adalah Renaissance dari tribalisme”. Menurutnya filsafat Hegel yang teramat muluk-muluk itu tak lebih sekedar melanggengkan status-quo kepentingan monarki absolut kerajaan Prussia yang pada waktu itu di kuasai raja Frederick William. Ada benarnya memang, dalam filsafat idealism dan dialektiknya itu Hegel berhenti pada sintesa roh absolut yang pada waktu itu diidentikannya dengan kerajaan Prussia. Hanya saja sebenarnya Hegel tak sedangkal itu, terutama cara pandang Popper yang mendekatinya dengan cara “positif” padahal filsafat Hegel adalah filsafat “negatif”.
Sementara dalam Marx yang menganggap ekonomi sebagai basis material perubahan sejarah, sangat dikecam Popper. Cara pandang Marx yang linear terhadap sejarah memang tak bisa lepas dari Hegel. Hanya saja Marx mendasarinya dengan substratum material yang ditajanya sebagai ekonomi. Tentu saja cita-cita komunisme ala Marx dianggap Popper berciri tertutup karena mengistimewakan kelas buruh. Skema dialektik yang antagonis menghadapkan dua kelas besar borjuis dan proletar (buruh) dianggapnya berbahaya. Hal ini karena kedua kutub mengandaikan primordialitas kelasnya masing-masing, sehingga sifatnya jelas-jelas tertutup. 
Popper memang begitu gencar menelisik kerangka filsafat politik totaliter, tribalistik, oligarkis, anti-demokrasi, dan anti- masyarakat terbuka yang kentara dalam konsepsi filsafat politik. Cara pandangnya yang humanitarian dan demokratis yang mencita-citakan masyarakat terbuka dengan dasar rasionalitas memang terasa lebih manusiawi. Setidaknya konsepsinya tentang masyarakat terbuka memang cocok dengan kondisi sosio-historis masyarakat barat yang memang sudah mapan, dan cenderung liberal. Probem akan mengemuka jika kita hadapkan dengan kondisi aktual globalisasi dan Negara dunia ketiga.
Globalisasi yang memang menawarkan prinsip keterbukaan dan kebebasan ternyata hanya sumpah serapah kosong bagi Negara dunia ketiga.. Hal ini karena secara terselubung keterbukaan masyarakat itu ternyata dimanfaatkan secara anarkis oleh kapitalisme. Dunia ketiga menjadi wadal penjajahan baru dengan teknik baru pula. Kapitalisme kini telah bertransformasi dengan senyum sapa, dengan kontrak, yang membius otoritas politis yang demokratis pun kehilangan legitimasinya dihadapan modal raksasa. Alhasil, masayarakat terbuka kini sudah menjadi anarkisme yang mengeram dalam demokrasi itu sendiri, dimana kesetaraan dan kebebasannya, lagi-lagi, hanya menguntungkan Negara-negara mapan.
Barangkali jika Popper masih bernafas hari ini, ia juga akan mengecam demokrasi yang kini malah tertutup. Kelihatan luarnya saja terbuka namun ciri parlementaro-kapitalistiknya yang terlampau memberi ruang bebas kepada pasar yang mendikte system politik telah menggerus substansi demokrasi itu sendiri. Akibatnya, bukan lagi rakyat dan hak asasi manusia yang berdaulat dalam sebuah Negara, tapi hukum pasar. Mungkin inilah ironi sejarah, dimana hukum besi Darwinisme social dengan adagiumnya “Survival of the fittest” akan selalu menggelanyuti dunia hidup manusia. Dan tinggal kita pilih: mau jadi manusia atau mau jadi binatang???

Komentar

Populer