« aroma
yang kita ciptakan tak lagi kita pahami, sementara pagar yang kita pernah
bangun ambruk dan tak lagi berarti »
Pada
mulanya hidup ini hanya sejengkal nafas, yang tak diketahui. Kelahiran, mungkin
kita lupa, bahwa ternyata dunia menempatkan kita pada sebuah jalan. Dengan tuah
harapan, kita mengenali. Dan kitalah anak zaman, anak kemajuan, anak
"modern". Kita beranjak
menjadi sesuatu yang menuju pada kecepatan. Tapi ada ironi yang terpendam, kita
berasa "ada", makin menjadi, makin mutakhir, tapi tak berjiwa! Sebuah
tragik ketika model pembangunan dan sistem berfikir yang dikembangkan dan
diyakininya -hampir seperti agama—justru menafikan dimensi imaterial, dunia Psykhe,
atau kultur yang selama ini membuat manusia tak kering. Kita hanya jadi saksi bisu
dimana "maju" atau "sejahtera" selalu diukur pada
"materi". Apa yang kita ketahui sebagai seni yang dulunya lahir dari
kedalaman ruhani pun kini sekedar jadi arena jual-beli (komoditi).
Seni
yang bunyinya sangat lantang hingga yang hanya terdengar sayup, ternyata tak
pernah berhasil menawarkan isunya pada khalayak ramai. Tidak saja mengenai apa
yang terjadi secara internal, juga segala kejadian yang eksternal. Segala macam
ekspresi artistik yang menyesaki benak publik, tetap saja jadi isu-isu “seleb”—isu yang diprosuksi oleh kultur
massa.
Jika
kesenian berposisi dan berdiri tak lebih dari sekedar mikrofon kecil atau
amplifir jengkerik yang menggaungkan “suara lain”, maka seni hanya jadi
perangkat, jadi alat, dari pesan yang
dimiliki pihak lain. Seni seperti itu tak hanya berduyun-duyun di pesta-pesta “bencana”,
mimbar politik, atau retorika agama, juga demo mahasiswa, hingga tema-tema
kritis di galeri atau balai seni. Mau tak mau harus kita terima, bahwa sebuah
kesenia akan kehilangan daya hidup, daya tumbuh, bila ia tak berhasil mengolah
sendiri lautan warna hidup menjadi corak miliknya sendiri. Seni yang selalu
gagal—bahkan tak tahu cara menghidupkan isunya sendiri—sesungguhnya sedang
dijangkiti sampar, sehingga hanya mampu berdendang, hanya menjadi kitsch!
Sementara hidup di sebuah negeri yang karam seperti ini, negeri segala duka,
segala bencana, segala angkara, sesungguhnya menawarkan sederet panjang persoalan, yang seorang
penyair pun belum tentu bisa menelusuri ihwalnya. Benarkah ini sebuah kode, seni dinegeri ini kian kebal rasa, makin
cuek, enggak peka, nyelebritis, tak berkedalaman, dan terserah apalagi??? seni
tampaknya memang tampaknya makin kehilangan “ruh”. Pertanda itu sebuah kabar,
kita mandek, stagnan ! begitukah ??? barangkali inilah yang disebut the
death of civilization…
Komentar
Posting Komentar