“Subyek sudah mati…” pekik para punggawa
post-modernis dengan nada minor nan gagau. Dengan ini segala klaim absolut dan
total atas segala macam narasi-besar sudah habis. Filsafat, yang sebagaimana
dikatakan Deleuze adalah ikhtiar penciptaan konsep-konsep, kini kian berada
pada titik kulminasinya. Segala upaya pencarian akan kepastian yang merupakan
produk modernisme dianggap hanya membawa mala.
Benarkah demikian???
Tentu saja tidak demikian! Memang benar,
filsafat sedang sakit, bahkan sekarat, kata Badiou. Tapi bukan berarti filsafat
sudah habis! justru disitulah saatnya filsafat akan menapak horozon baru: ”bangkit
dan berjalanlah!” lanjut badiou yang geram dengan para pemikir posmo yang
cenderung besembunyi dibalik ”metafisika makna”—sebuah pengingkaran akan sebuah
keniscayaan, atau katakanlah sejenis ”aporia-aporia” yang malu-malu untuk
mengatakan ”ya” pada ”kebenaran”, ”logos”, ”subyek”, etc...
Salah satu pemikir yang gencar melawan
konsepsi filsafat posmo adalah Slavoj Zizek. Dan barangkali, Zizeklah filsuf
yang paling ”berbahaya” dan ”radikal” di zaman ini. Terutama rekonstruksinya
atas Subyek yang ”dibunuh” oleh posmodernisme. Zizek memang berangkat dari
salah satu pemikir yang dicap posmo atau setidaknya penyemai benihnya, Jacques
Lacan. Tapi bukan berarti zizek menerka mentah-mentah pemikiran Lacanian yang
lebih berbau bumbu psikoanalisis itu.
Setelah kematian subyek yang ramai menghantui
diskursus filosofis dan tentu saja pada tataran praksisnya, Zizek jutru
mengambil jalan yang berlawanan. ”Subyek” memang bukanlah tema yang gampang
untuk di rengkuh. Polemik ini berawal mula sejak Descartes berkata dengan lugas
”cogito ergo sum”—Aku berfikir maka aku ada. ”Aku” cartesian mengawali
sebuah trajektori ”kesadaran” yang sama sekali total dan tak bisa diragukan. ”Aku”
adalah subyek yang utuh dan harus mengondisikan ”yang-lain” diluar ”aku” (res
extensa) karena yang lain itu selalu kabur, tak lengkap.
”Aku” yang dikukuhkan Descartes ini kemudian
menjadi mainstream subyek modern untuk menaklukan yang bukan ”aku”, karena
selain ”aku” berarti tak ”rasional” atau tak ”berperadaban” sehingga harus
dikondisikan dan dikuasai. Subyek atau ”aku” adalah totalitas yang tak bisa
diganggu gugat oleh apapun yang ada diluar kesadaranku.
Tentu saja, subyek yang terlalu pongah ala
Cartesian ini mendapat kritik yang menukik tajam dari pemikir-pemikir
setelahnya. Freud-lah yang kemudian menjadi anti-thesis yang menampik ”kesadaran”
penuh dalam aku. Bagi Freud apa yang disebut dengan kesadaran dan rasionalitas
hanyalah efek-efek partikular yang di hasilkan oleh dimensi lain yang lebih
dalam, sublim, tak tepermanai. Dimensi inilah yang disebutnya ketaksadaran
(unconsciousness).
Dari sinilah muncul apa yang disebut ”de-centering
the subject”. Peminggiran subyek ini diawali dengan “matinya epistemology”. Kebenaran
yang selalu dipercayai manusia ternyata palsu belaka, karena ia tak menetap,
tak ada fondasi yang stabil. Pangkalnya persoalan filosofis yang berkembang
sejak zaman Yunani ternyata ada dalam [re]presentasi, atau apa yang kita sebut
bahasa. Gejala inilah yang disebut linguistics turn, dimana problem realitas
adalah problem makna, problem semantic.
Dari sinilah subyek mulai perlahan-lahan
dimunculkan hanya sekedar entitas semu. Subyek hanyalah “budak” dunia eksternal
yang melingkupinya. Konsepsi Lacanian tentang fase imajiner, simbolik, dan Real
setidaknya mewakili duduk perkara “kematian subyek” ini. Pendeknya, “aku” tak
akan pernah mencapai kutuhan sejati karena “aku” selalu terjebak dalam kesemuan
bahasa sebagai suatu konvensi social yang mengikat, sebuah tata bahasa yang
sudah tak bisa kita tawar lagi.
“Aku” yang tak pernah total ini bukan
berarti tanpa soal, karena subyek menjadi entitas yang lembek, tak punya
otonomi, dan tak punya daya. Pendeknya proyek emansipasi dan humanisasi
kemudian jadi mustahil, karena struktur terlampu kuat menggenggam otonomi
subyek.
Tapi di abad 21, setidaknya memasuki
dasawarsa ini, para filsuf mulai menghidupkan kembali “aku” dari liang
kuburnya. “aku” kembali bukan dalam totalitas yang solipsis ala Cartesian. “aku”
telah bertransformasi menjadi entitas yang selalu hadir untuk mengintervensi
ketakmungkinan, karena tak ada strutur yang total, begitu pula tak ada subyek
yang total.
Maka ketika abad 21 ini masih saja di
kuasai struktur kapitalisme yang tak mati-mati, “aku” masih menyimpan
potensialitas sebagai “aku” yang bukan “aku”, karena adanya aku akan selalu
bersama yang lain. Maka hidup bukanlah milik “aku” semata, tapi milik “kita”
bersama, milik manusia, untuk berbagi, untuk mengasihi, untuk setara dihadap
modalitas ketakterhinggaan ini.***
Komentar
Posting Komentar