Sudah beberapa hari ini kampus “oren” ini begitu lengang.
Hanya terlihat sisa-sisa mahasiswa yang bergelut melawan waktu, tuk raih toga
di bulan Maret nanti. Dan tentu saja ada bagian yang tak kunjung penuh di sana,
ada ingatan yang selamanya tenggelam. Aku hanya merasa sedikit asing, entah
beberapa kawan seperjuanganku, mungkin mereka juga setidaknya merasakan hal
yang sama, meski yang sama tak selalu ada.
Begitulah wajah gagau dan risau seorang calon sarjana,
ada yang berkecamuk di sana. Bagaimana tidak? Realitas menuntut untuk menjadi
pekerja, atau paling tidak menghasilkan uang sendiri. Dan itu yang aku tangkap,
yang aku terka dari derap-derap kata yang terbantun di udara : “lulus,
kerja, lalu nikah…” seperti itulah siklus hidup yang mengalir biasa, menerima
realitas apa adanya. Dan mungkin setelah itu, punya momongan, tua, dan
meninggalkan jasad dari dunia.
Tapi itulah hidup, semua itu hanya bagian yang akan dan
harus kita lewati sebagai siklus yang tak berganti, sebagai repetisi. Apatah
jua yang akan “sarjana” perbuat setelah ini? Rasanya bersenang ria karena lulus
itu terlalu naïf, karena setelahnya ada hal-hal yang lebih tak terperi. Mungkin
bekerja, ya, tapi itu bukan tujuan, pikirku dalam. Seraya mengingat beberapa
orang yang dipikirkannya hanya kerja dan uang. Hah! Tapi hidup ini tak hanya
untuk sekedar makan, tapi juga mengeintervensi “sejarah”… Tiap orang pasti
punya jalannya sendiri, mungkin ada yang berencana lanjut studi, nikah, atau
yang masih terus akan mencari kemapanan, dan entah apa lagi…
Dan ini belum selesai! Perang pun dimulai kembali: yang
baik harus ada, tapi begitu pula yang buruk akan selalu menyela.
***
Di ruas-ruas trotoar aku berjalan bersisian.
Menunggu mesin fotokopi mencetak kertas-kertas persyaratan yudisium. Dalam
redup sebuah balairung kampus “oren” aku menuntaskannya. Dan masih berharap
untuk menemukan kembali sebuah lorong menuju masa lalu, ah bukan, menuju
kemarin dan esok. Berharap, seperti Rendra dalam sajaknya, bahwa kemarin dan
esok adalah hari ini; langit di luar, langit di badan, bersatu dalam jiwa. Walau
ku tahu, pun langit dan jiwa, aku kembali bersua di depan wanita “aneh” itu
lagi.
Langit di luar tampak cerah, tapi tidak langit
di badanku. Semenjak beberapa menit yang
lalu, meninggalkan seseorang yang membuat sukmaku guncang—yang tidak pernah
sempat menghela napas sedetik pun lantaran kesibukannya, juga angkuhnya. Aku
pulang, Meninggalkanmu, sebagian dari diriku. Sambil memandangi gumpal-gumpal
kapas putih yang bergulung-gulung menebal di kaki langit. Ruang kepala terasa
kosong dalam pendar-pendar warna monokromatik. Hitam, putih, dan kelabu.
Ngelangut sekali, serasa ada yang hilang dari sisi. Di atas pangkuanku masih
terbaca jejak-jejak goresan pada secarik kertas putih: “...manakah yang
lebih banyak, air yang ada di dalam keempat samudera atau air yang kau
tumpahkan ketika tersesat dan bertualang dalam ziarah panjang ini, sebab yang
menjadi bagianmu adalah yang tidak kaucintai, dan yang kaucintai tidak menjadi
bagianmu?”
Terkadang memang, keistimewaan bisa bermakna
ganda, lebih progresif, atau bahkan lebih konservatif dan reaksioner. Tapi
dalam keistimewaan itu juga berpaut harapan dan keinginan, untuk merengkuh,
untuk menjadi yang terbaik, menjadi “istimewa”. Tapi tunggu! “We continue to
shape our personality all our life. If we knew ourselves perfectly, we should
die…” pekik Albert Camus. Dan barangkali memang benar, bahwa tak ada yang
istimewa, atau tepatnya sempurna, karena dengan sempurnanya hidup berarti tak
ada hal lagi yang membuat hidup itu istimewa.
Pada aras yang saling bergejolak itulah hadir
cinta. Di antara dua dunia, di antara sempurna dan kekurangan. Dan setelah
siang itu aku juga sedikit berfikir tentang cinta, cinta yang tak tepermanai.
Dalam sebuah “peristiwa”, cinta itu hadir dalam ketakhadiran, tergurat di
tubirnya: kekosongan strata. Itu aku tahu, ada dalam hening, ada dalam wajahnya
yang fana, dan aku merasakan kesekian kalinya…aneh, lirih, dan sublim…
Mungkin akan sia-sia di hajar nasib. Tapi
laki-laki yang kurus dan linglung sepertiku hanya bisa bergumam: ”Akan kalah
atau menangkah hamba, itu tak penting.” Lantas, apa yang penting? Yang penting
adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan
yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga. Sebab, itu sebuah privilese,
karena juga ada musabab yang selalu tak tepermanai: cinta. Seperti kata Camus: “I know of only one duty, and that is to love.”
Sebagai seorang yang selalu kalah—yang
tergetar oleh sesuatu yang tak terhingga, tampak sebagai seorang majnun yang
tak punya kalkulasi praktis, seperti halnya seorang penyair yang masuk menemui
malam entah untuk apa. Aku hanya tak bisa berkelit, sesekali bingung dengan
frasa darinya yang selalu berulang: “introspeksi!”. Aku tak tahu, apa yang
harus aku introspeksi, dan yang lebih membingungkan selalu saja ada kata “maaf”
disana, aneh-sungguh aneh…
Barangkali aku sedang “dalam sebuah keheningan
baru”. Itu sebabnya sekarang aku hanya terdiam bisu...
Komentar
Posting Komentar