Langsung ke konten utama

Berdamai dengan rasa takut



Tahun kian berlalu, tanpa terasa sudah menunjuk angka 2013 dan wanita itu mulai samar di pusat ingatan. “cinta adalah cinta, terkadang kau tak harus mengertinya, menyimpan benih-benihnya dalam puing rasa, karena itu lebih elok, dari pada cinta itu kau paksa-paksakan untuk dipersatukan, karena cinta bukan pengorbanan. Perasaan adalah untuk di tolak atau di bunuh, tidak untuk di lekaskan, apalagi dibiarkan untuk mengalir, ujung-ujung terbaca : penampikan…"
Tapi semua itu sudah terjadi. Semacam “kecelakaan sejarah” yang berjuntai dalam titik kisar waktu yang kembali bisu. Sungguh tak enak, wajahnya kadang datang di malam yang hening, sekelebat di tengah mimpi yang tak tercatat. Tapi darinya ada sebuah jejak yang tak terperikan, sebuah tanda mula, dimana hidup tak hanya sekedar hitam-putih semata. Sebab kini lelaki sunyi itu punya cinta yang lain: Puisi dan filsafat.
Tapi dunia yang dicintainya tak selamanya taman bunga dengan kembang-kembang yang tenang. Lelaki sunyi itu mulai mendengar berkali-kali disekitarnya, sebuah repetisi tentang seni untuk pembebasan. Puisi tak bisa melepaskan diri dari revolusi: pada tiap dentum dan derapnya, setiap haru dan harapnya, puisi tak lagi bebas menentukan—atau tak menetukan—bentuk maupun maknanya.
Hari-hari itu, membaca semain menjelma kesunyian. Mungkin sedikit dengan rasa bersalah, lelaki sunyi itu melatih diri membaca dalam gelap.
***
“kau terlalu romantis..” pekik seorang sahabatnya. “tidak juga,” jawab lelaki sunyi itu “aku hanya ingin kembali kepada apa yang ku cintai sejak mula, meskipun tak tahu kemana harus kembali...”
Mata kedua sahabat itu terbelalak oleh anak-anak yang tersenyum gembira dalam permainan. “kau pasti suka bagian tentang anak-anak itu...”
“ya...para nelayan menyelam mencari mutiara, para saudagar berlayar dalam niaga, sementara anak-anak menghimpun batu dan menyebarkannya kembali ke laut. Merea tak mencari harta karun, mereka tak tahu bagaimana menebar jala, suatu hari kita pasti punya anak sendiri, dan kita akan ajarkan pada mereka bagaimana menebar jala...”
“hmmm...” sahabatnya hanya diam seraya berfikir tapi tak kunjung bisa berkata tentang apa yang dipikirkannya.
Dua laki-laki muda itu hanya diam, meneguk cangkir kopi yang makin sayup, dan menyalakan rokok. Tapi rupanya waktu sedang tak berpihak, dua orang yang masih punya sejengkal harapan, ihwal cinta yang tiada pernah bermuara, atau mungkin sekedar menyukai malam kota jogja. “wanita, entah apa yang dinginkan mereka...” lelaki sunyi itu berkata lagi, “kau tak perlu mengerti, cukup kau pahami, seperti puisi...” kata sahabatnya datar.
Satu kata puisi / daripada seribu rumus imu yang penuh janji / yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi / yang ku kasih
Sahabatnya membaca sajak itu berulang-ulang, sebuah sajak Subagyo Sastrowardoyo.
“betapa agung dan sedih.” gumam sang lelaki sunyi “untuk menjadi pribadi.”
Tapi lelaki itu tak seperti manusia pertama di angkasa luar dalam sajak subagyo sastrowardoyo, cintanya belum samapai—malah masih begitu jauh dari—tepi. Maka ia ingin kembali, ketempat yang tenang dan tenteram, tapi mungkin jalan kembali itu sudah tak ada. Dan seperti yang ia duga, tak ada keajaiban. Hanya ada debu jalan, konfrontasi, kegagahan politik, hal-hal yang lebih keras dari jerit burung dan anjing menyalak.
Tapi apakah arti sebuah cinta? Hari-hari itu baginya? Mungkin orang harus belajar untuk berdamai dengan rasa takut yang mendekap dihadapannya, belajar merawat diri sendiri. Udara akan selamanya lembap, matahari akan senantiasa terik. Lelaki sunyi itu memutuskan untuk selalu menghidupi hidup dengan puisi, sesekali menelusup dalam bilik-bilik dan membacanya dengan hening.
Di tempat itu, ia melihat seorang putri raja pada setiap gadis yang lewat. Ia rasakan bagaimana dirinya membumbung bersama pasang gelombang. Gelombang yang putih, biru, pucat, bergantian. Ia kulum baris-baris sajak dengan lidahnya, bait demi bait. Ia dengan lidahnya seperti memanggil kedalaman samudera. Ia isap dalam-dalam setiap suku kata yang berjalinan seumpama burung malam dan bertemu rasa besi, rasa darah. Ia teringat sebuah larik abadi “Man does, Woman is...” betapa ringkih batas indah dan pedih. Ia melihat ke bawah, ke jurang itu, dan melihat warna-warna beterbangan seperti kertas hias. Ia terjun menembus gelap. Ia tunggu saat penghabisan itu dengan mata terpejam, debam tubuhnya pada permukaan yang keras. Muncrat otak dan darah segala apa yang ada di bawah kulitnya. Tapi saat itu tak kunjung dating. Lalu ia buka matanya, dan bertemu terang. Sebuah dunia lain, sebuah keberanian lain, ia mulai menerjemahkan. Ia menerjemahkan dengan garang dan sedih—sajak, cerita pendek, ujung dan sikut sebuah lagu.
Dan sebagaimana semua hubungan percintaan, ia dan puisi bergulat. Ia makin menyadari tak ada dua bahasa yang bisa saling menggantikan, dengan sempurna, kata demi kata. Keajaiban dalam puisi tak pernah bisa direplikasi secara penuh dalam bahasa lain. Ia juga sadar bahwa setiap kali ia menerjemahkansebuah baris sajak, apalagi sebuah sajak penuh, sajak asli itu raib, sebab ia telah membawanya ke sebuah tempat dimana ia dulu tak ada. Dengan itu ia menemukan suara manusia yang begitu luas, tak tepermanai. Dengan itu ia akan mengendapkan cinta dalam waktu, untuk sebuah wajah ketakhadiran yang selalu hadir di sini, ditempat ini, ketika ruang imajinasi terbaca di celah-celah mimpi.***

Komentar

Populer