Langsung ke konten utama

Eudaemonia



Pagi kembali terlihat eksotik. Ya, setelah beberapa waktu ini mandung bergayut menabiri jingga langit. Langit yang tampak indah dengan bulir-bulir lembut ultraviolet mentari pagi ini jadi semacam penanda. Penanda bahwa hidup adalah sebuah gerak dinamis, dari ada kemudian menjadi. Dan apa yang ada, apa yang berkelebat dan terselip dalam tiap fragmen kejadian tak tepermanai yang kita alami adalah mukjizat. Semua ini sederhana saja: kita hidup, kita merasakan, kita memaknai, kita mencintai, atau sebaliknya. Dari sana akan tertera jalan pada sisi kehidupan yang hakiki.
Dalam percik nafas kehidupan, tak ada manusia ingin menderita. Semua manusia agaknya—dan niscaya—ingini bahagia. Tapi apa itu bahagia, tentu saja, sangat subyektif sekali, atau mungkin tak ukuran obyektif yang bisa menjangkau kebahagiaan. Tiap-tiap falsafah kehidupan punya ukurannya masing-masing.
Kebahagiaan (eudaemonia) agaknya menjadi hal yang tak punya referen, ia tak punya titik pijak yang jelas akan ukuran maupun bentuknya (form). Platon misalnya mengukur kebahgiaan dengan Arete (keutamaan). Pada tataran ini keutamaan adalah pengetahuan (Logos). Bahkan, Platon—sang filsuf yunani termasyur itu—menganggap bahwa dengan mendayagunakan akal, kita bisa, seperti kata-katanya dalam Thaetetus: “menyerupai sedekat mungkin dengan yang ilahi.” Kebahagiaan dalam konsepsi Platon ini tentulah sangat sublime dan dalam, tak mudah di gapai. Ada tujuan yang bersifat metafisik sebagai realitas yang sebenarnya. Dengan “mengetahui” atau “bijaksana” manausia akan menggapai yang utama, dan bagi Platon pengetahuan itu baka sementara apa yang material itu fana.
Dalam filosofi jawa (karena saya juga orang jawa) di kenal suatu frasa: “sangkan paraning dumadi”. Dalam jawa memang agak mirip filsafat Platonisme yang mengafirmasi pengetahuan, pemikiran, dan ugahari adalah cara menuju bahagia sebagaimana arti kata “jawa” itu sendiri yang berarti “mengerti”. Dalam arti ini manusia jawa mengerti untuk apa ia ber-ada dalam dunia, untuk apa ia menjadi manusia, untuk apa ia hidup. Dalam terang ini manusia jawa kemudian menghayati spirit dasar kehidupan yang termanifestasi dalam Sangkan paraning dumadi—dari mana manusia berasal, apa dan siapa saja pada masa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang akan di tujunya.
Ada dua hal yang menjadi prinsip manusia jawa dalam menggapai kebahagiaan. Konsep mengenai eksistensi dan dan tempat manusia di alam semesta beserta segala isinya (macrocosmos), dan pelbagai kegiatan yang berkait dengan lingkaran kehidupan. Pada aras ini, manusia jawa menggumuli semesta dengan harmoni—hamemayu hayuning buwono. Alam semesta yang tampak, ada, dan eksis secara material ini adalah sahabat manusia. Manusia jawa hidup dengan liyan itu sebagai sesama. Oleh karenanya prinsip yang di bangun adalah keselarasan, bukan eksploitasi habis-habisan, dengan keserakahan—Kehendak-untuk-kuasa—sebagaimana keangkuhan dunia modern yang instrumentalistik. Setidaknya kedua hal yang menjadi dasar manusia jawa dalam berada dalam dunia itu menyangkut konsep-konsep wadah dan isi, serta ekuilibrium dan ketidakteraturan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah.
Namun agaknya ini menjadi ironi ketika hari ini hidup kian banal dengan sengkarut makna filosofis akan bahagia itu sendiri. Bahagia cenderung dipahami hanya pada tataran material dan prestise tertentu saja, soal citra misalnya. Banyak orang hari ini mengukur bahagia sejauh ia bisa berfoya-foya; istri dimana-mana, mobil mewah, uang berlimpah dan bla...bla...blaaa... Perilaku demikian agaknya menjadi sebuah patologi, bukannya kemajuan.
Kita tahu, manusia memang tak bisa keluar dari jerat ingar-bingar dunia yang berlimpah ruah. Apalagi soal kekayaan material. Tapi tentu saja segala macam hasrat dunia yang tak akan pernah penuh dan terpuaskan itu bukanlah hakikat kehidupan. Harta itu penting tapi bukan tujuan, ia hanya sekedar sarana untuk mencapai hakikat yang lebih tinggi. Seperti halnya setiap agama, mengajarkan pengikutnya untuk kaya tapi jangan sampai terlena pada kepalsuannya. Oleh karenanya ugahari adalah kunci dimana hidup tak bisa dikalkulasi dengan untung-rugi semata. Kaya tapi tak konsumeris, tak boros, tak congkak, dengan kesederhaan dan ugahari, itulah jalan. Hal semacam itu jualah yang kita temukan dalam bukunya Max Webber: The protestant ethics and the spirit of capitalism.
Kapitalisme memang sebuah system yang kian hari kian buas dan kuat mencengkeram dunia hidup manusia. Bahkan mungkin mustahil untuk di hancurkan, ia selalu mampu memperbaiki dan mentransformasi dirinya sendiri. Seperti halnya Webber yang juga mengafirmasi bahwa kapitalisme adalah keniscayaan. Ia dibangun dari ekses hasrat untuk kepentingan diri sendiri—Survival of the fittest. Maka dalam hidup yang kian banal itulah manusia hendaknya menjadi kaya, tapi bukan hanya untuk dirinya sendiri. Karena dalam setiap antagonisme yang diciptakan oleh kapitalisme akan selalu ada yang jadi pecundang, oleh karenanya manusia bukanlah makhluk asocial-ekonomis semata, karena “dalam setiap jengkal hartamu tersemat hak orang lain...”
Lantas apa itu bahagia? Tentu saja, kebahagiaan tak bisa di ukur dengan criteria objektif, tapi setiap manusia tahu, ada sesuatu di balik apa yang tampak dalam kesadaran, dan barangkali itulah tujuan manusia untuk menggapai cinta, menggapai Eudaemonia.***



Komentar

Populer