Langsung ke konten utama

Kekosongan



Hidup bukanlah sekedar mengejar hasrat dunia, dimana kesadaran kita selalu menyambut apa yang ada dalam realitas, apa yang ada di luar diri kita. Untuk merengkuh segala tahta, harta, atau kekayaan material. Marx pernah berkata: “realitas menentukan kesadaran”, tak sepenuhnya salah memang, tapi menyederhanakan hidup pada tataran material saja amatlah naïf, karena manusia itu paradoks—ia bertubuh (soma) tapi juga punya dimensi spiritual (psyche) yang terkadang tak terperikan.
Sokrates, sang bijak dari Yunani itu, pernah berteguk wejang “kenalilah dirimu sendiri”—Gnothi Se Authon. Sebuah frasa yang teramat sulit, tak mudah di genggam dalam laku. Sejak manusia hidup enam juta tahun silam, hingga manusia modern (homo sapiens) pertama muncul setidaknya 200.000 tahun silam, hingga kini zaman gadget dan warta 140 karakter, frasa itu masih jadi misteri.
Siapa aku?
Memang lebih mudah mengenali rasi bintang yang jauhnya milyaran kilometer dari diri kita, ketimbang mengenali apa yang ada dalam diri kita sendiri. Ihwal inilah yang menjadi kegelisahan Walker Percy, filsuf dan penulis Amerika. Baginya, kita sedang hidup dalam dunia yang “gila”. Kita hidup dalam sebuah banalitas, irasionalitas, kebobrokan, dekadensi, tapi seolah menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Meski kita tahu, modernitas telah membawa kemajuan sains dan teknologi yang tak tepermanai. Akan tetapi, manusia sama sekali tak punya bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang diperbuatnya dalam laku, kita terkadang mengejar sesuatu yang palsu.
Tampaknya ada sesuatu yang hilang dalam dunia hidup kita sehari-hari, bayangkan saja, kenapa ada satu teori yang di terima secara universal tentang orbit planet, serta gaya tarik menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi Andromeda. Sementara kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Sungguh aneh memang manusia ini, ia tak bisa di pastikan titik labuhnya, esensinya, kita barangkali tak lebih mengerti tentang psikis ketimbang apa yang sudah di ketahui Platon 2000 tahun silam.
Hal tersebut semakin mengukuhkan manusia sebagai produk konstruksi sosial-budaya semata. Pendeknya manusia tak punya substansi yang tetap. Identitasnya sebagai individu hanyalah cerminan dari latar kulturalnya yang berupa tatanan simbolik (bahasa). Tak ayal ketika sang manusia mencoba mengenal dirinya sendiri, ia justru tanpa sadar sedang mengkonstitusikan dirinya dengan sesuatu yang bukan dirinya.
Tapi bukan berarti mengenal diri sendiri itu menjadi hal yang mustahil. Memang, manusia akan selalu terjebak dalam hal-hal simbolik. Manusia mencerap, merengkuh, mengukuhkan diri dan identitasnya melalui yang simbolik itu, hanya saja pada tataran tertentu manusia akan menangkap hal-hal yang tak terepresentasikan pada yang simbolik itu. Barangkali itulah yang disebut kekosongan (void).
“Hanya ketika kamu tak mempunyai benda dalam pikiran dan pikiran dalam benda, kamu akan merasa kosong dan spiritual—kosong dan mencengangkan.” seperti itulah yang di katakan seorang bijak dari timur. Sesuatu yang sama sekali negatif[1], yang hanya kita dapati dalam keheningan batin: solilokui. Hal ini pula yang secara implicit tertaja dalam filsafat Alain Badiou, tentang Ada dan Peristiwa (being and event). Kekosongan atau yang di sebutnya sebagai kejamakan inkonsisten[2] akan selalu tertera dalam jejak-jejak Ada. Ada adalah hal ihwal terkait eksistensi segala sesuatu yang dalam konsepsi Badiou, disebut situasi.
Dalam situasi—dalam pemikiran Badiou setara dengan ontology—inilah Ada itu hadir, baik secara manifest (dalam rupa elemen dan bagian) maupun laten (dalam rupa kekosongan—negativitas). Pada tataran inilah sang aku (subyek) selalu bergelut dalam “peristiwa”. Peristiwa inilah yang kemudian merupakan sebuah pengalaman yang tak tepermanai oleh subyek. Ia merupakan anomali yang tak terjelaskan oleh bahasa situasi. Alasan keberadannya adalah karena adanya yang senjang antara presentasi (apa yang langsung hadir tanpa terpilah dalam kesadaran subyek) dan representasi (apa yang hadir terpilah dengan perantara, misalnya melalui bahasa). Pada gilirannya kesenjangan strata itu menghasilkan apa yang selalu hadir (presence) dalam ketakhadirannya (absence)—atau kekosongan. Dalam terang inilah subyek selalu dalam tarikan pada jejak-jejak Kebenaran—sesuatu yang laten dan tak terpilah dalam situasi.
Pada aras inilah, “kekosongan” itu semacam transendensi. Sebuah entitas yang tak terpilah, tapi dapat dirasakan dalam diri-estetik—keindahan, cinta, pendeknya sesuatu yang sublim. Layaknya sebuah puisi. Puisi, sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad, menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada—dalam tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai “peristiwa”. Itu sebabnya bahasa kitab suci seperti halnya puisi.
Agaknya memang dalam setiap lokus kehidupan yang sifatnya material-pun selalu tak bisa lepas dari sesuatu yang sifatnya spiritual. Sehingga hidup manusia yang seringkali banal karena hasrat yang tak pernah selesai itu, akan tertuju pada titik kekeringan. Di situlah sejatinya “kekosongan” itu mengintervensi subyektivitas kita, yang seringkali tanpa kita sadari.
Seringkali memang manusia takut untuk melupakan pikirannya sendiri, takut untuk jatuh dalam suatu “kekosongan” dimana tak ada sesuatu yang dapat di jadikan pegangan. Mereka tak menegetahui bahwa kekosongan bukanlah kekosongan belaka, ia tak dapat dicari, di mengerti oleh kebijaksanaan dan pengetahuan, dijelaskan dalam kata-kata, terhubung secara material, ataupun di raih dengan pencapaian yang keras. Tapi, kekosongan itu selalu menyela, selalu ada, selalu kita rasakan keberadaannya.
Seperti ketika manusia selalu berkutat dalam sebuah teks sakral yang merupakan produk sejarah itu: “Tulisan membunuh, tetapi roh memberikan kembali kehidupan…” agaknya peradaban “teks” yang teramat literal memang terkadang menjadikan manusia tak peka pada yang-kosong. Padahal yang-kosong itu selalu ada dalam diri, dalam “peristiwa”, dalam subyektivitas manusia.
Sebagaimana sabda sang Rasul: “Sesungguhnya Tuhan itu Maha indah dan menggemari keindahan…” dan keindahan itu akan selalu berkait dalam “kekosongan”, seperti halnya puisi, ia bukan hanya tulisan atau teks semata, tapi ia jadi indah karena ada “peristiwa” di dalamnya. Dan di dalam setiap peristiwa, sebagai pengalaman subyektif, selalu tersembunyi “kekosongan”.
Syahdan, kita hanya akan menemukan “kekosongan” itu dalam liturgi sujud, dalam hening batin kita sendiri: solilokui. Mungkin dari sana kita akan mengenali diri kita sendiri, dalam [K]ekosongan.***



[1] Negative yang dimaksud di sini bukanlah dalam arti generiknya sebagai sesuatu yang jelek atau buruk, namun negative yang di maksud adalah sesuatu yang sama sekali tak terpilah, tak terepresentasi, tak terdeskripsi—sesuatu yang  transenden.

[2] Kekosongan, bagi Badiou tak pernah menjadi sebuah kekosongan (sebab ia pra-penghitungan), oleh karenanya ia niscaya sebagai kejamakan. Meskipun demikian, kekosongan atau kejamakan inkonsisten itu tetaplah memiliki unitas atau kesatuan (unicity) dengan alasan bahwa kekosongan itu merupakan sesuatu yang langsung (immediate)—ia jelas tak terdiferensiasikan dari sesuatu yang lain, dengan kata lain kekosongan itu itu dalam kesatuannya. Lih Being and event (New York, continuum: 2005) 57-58. 

Komentar

Populer