Tampaknya hari ini orang masih menyimpan trauma
sejarah akan angka “1965”. 1965, jadi saksi dimana politik dan ideology adalah
nyawa. Orang tak hendak lupa dengan peristiwa beradarah yang menyudutkan PKI
sebagai biang keladi kekacauan. Tapi dari sana trajektori politik kita pun
berubah.
Adalah almarhum Soeharto yang menjadi aktor yang mencetus
pembabatan habis komunis sampai ke akar-akarnya. Kita tahu, sejak itu “komunis”
menjadi kata yang haram diucapkan apalagi diperbincangkan. Seolah komunisme bagi
orang ramai komunisme adalah monster jahat anti-tuhan yang memusuhi agama dan
kebajikan. Tapi begitulah politik, karena “kekuasaan” akan selalu bisa
membungkus fakta dengan hegemoni.
“Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya
hati”, kata-kata itu tercantum dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang
selama bertahun-tahun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru oleh
penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang kemudian terbunuh. “Sejarah
menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan.” Novel karya laksmi Pamuntjak ini
setidaknya mewakili suara lain yang datang terhuyung-huyung dengan parau.
Di kalangan generasi yang lebih muda, PKI umumnya
diterima dengan ngeri atau takjub: juga sebuah mitos. Mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran
sejarah yang memberikan analisa yang kritis. Mereka sangat repas, dan mudah
terjebak, oleh keyakinan-keyakinan yang cepat. Dan ketika mereka tak putus-putusnya
mendengar suara agar tetap waspada pada “bahaya PKI”, mereka pun mau tak mau
mempunyai gambaran yang ganjil tentang partai yang sudah dinyatakan terkubur
bahkan sebelum mereka lahir itu: seakan-akan PKI adalah kesatria hitam, atau
semacam Setan, dan itu berarti tak pernah kalah, tak pernah menyerah, tak
pernah berubah, sama sekali.
Atau sedikitnya semua suara gagau “awas-bahaya-PKI” itu
lambat laun begitu rutin, dan tak masuk akal pula, terutama bagi mereka (yang
rata-rata umurnya di bawah 30 tahun) yang tidak pernah hidup sebagaimana para
pemimpin Indonesia (yang rata-rata umurnya di atas 50 tahun), yakni hidup
dengan terancam oleh akan berkuasanya PKI. Bisa dimengerti: ini tahun 1990-an,
menjelang abad ke-21, ketika bahkan di Rusia, Cina dan Vietnam pun orang tidak
percaya lagi bahwa Marxisme-Leninisme akan bisa kembali untuk memikat
menjanjikan suatu masa depan yang lebih baik.
Yang grotesk, yang menyentuh, yang faktual—semua bisa
hadir, karena mengingat bukanlah menghadirkan foto-foto tua yang sudah berwarna
sefia. Ingatan bukanlah versi yang lemah dari “kenyataan.” Mengingat adalah
proses kontraksi dan ekspansi sekaligus. Kontraksi, karena di dalamnya data
yang bertebaran, berlapis-lapis, berkembang biak, diringkas, melalui proses
seleksi yang spontan ataupun diniatkan. Dari seleksi itu hadir apa yang diingat
dengan tajam. Tetapi dari itu pula, mengingat adalah juga sebuah ekspansi:
merengkuh dan mendapatkan sesuatu yang baru—seperti ketika mengisahkan kembali
sebuah pengalaman yang tak habis-habisnya menyentuh hati.
Maka ingatan bukan replika. Ingatan bukan hafalan, tetapi
saat-saat membentuk dan dibentuk, sebuah proses yang dilakukan dalam kebebasan.
Dari sinilah gambaran masa silam lahir. Menyusun bayangan tentang itu tak
sekedar memanggil kembali sesuatu yang pernah ada. “Imaginer n’est pas se
souvenir“, kata Bergson.
Hal ini jualah yang menghinggapi sepercik pengalaman saya
dengan Marxisme. Seolah Marxisme atau komunis adalah makna tunggal yang tak
bisa dipertukarkan. Alkisah, kala ujian skripsi panjang lebar saya terakan
Marxisme sebagai alat analisa struktural dalam perspektif ideologi dan
kekuasaan. Seketika penguji menanyakan keotentikan saya sebagai bukan bagian
dari PKI. Bahkan sempat beliau bilang ”mbahmu PKI ya...”
Tentu saja, saya agak miris, apakah secara otomatis
mengerti Marxisme diasosiasikan dengan PKI ? tentu saja tidak, dalam
tataran kajian akademis semua sah-sah saja. Hanya saja karena cengkeraman erat ”kuasa
dan represi ingatan” itulah yang membikin penguji skripsi saya itu sedikit
was-was bahwa dikampus tempat saya kuliah telah lahir neo-PKI.
PKI memang sebuah ”teks”
terbuka, sarat akan kepentingan, juga ketakutan yang sebenarnya sama sekali
tanpa dasar. Dan kini kita tahu, komunisme telah bertransformasi dalam
bentuknya yang lebih manusiawi, karena memang pada dasarnya demikian. Seperti di katakan Alain Badiou bahwa ”communism
is the right hypothesis...”
Tentu saja bukan komunisme abad ke-20 yang totaliter dan atheis.
Tapi komunisme dalam arti ide tentang kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, dan
kemaslahatan. Disebuah zaman ketika yang kolektif tak lagi mendapatkan suaka
ini, komunisme setidaknya memberi kita petuah bahwa hidup bukan hanya untuk
diri sendiri, bukan untuk keperntingan pribadi saja. Tapi tentu saja ”komunisme”
ini bukan komunisme model lama yang kerontang, karena terjebak dalam ”materi”
saja, memang benar manusia butuh makan tapi bukan hanya makan untuk mengisi
perut, karena manusia juga punya jiwa. Barangkali disitulah, peran yang-tak-berhingga
itu menyusup, menerakan jejak-jejak semesta.
Di zaman yang serba kalkulasi dan individualis ini
revolusi mungkin hanya ada di dunia idea saja, tapi kita tak tahu. Dunia memang
kian mengalami abstraksi, imaterialisasi, konstruksi ide-ide—ya begitulah,
karena tak ada yang selesai di dunia ini.***
Komentar
Posting Komentar