Rasanya ada yang aneh malam ini, tapi entah apa itu. Rencananya malam ini juga aku akan pulang kampung ke Batang, Jawa Tengah. Ada sejumput rencana yang terbawa, setidaknya harapan dan kegelisahan, terutama selepas perjumpaan sore itu di kedai kopi Blandongan dengan seseorang yang punya pengalaman menangani daerah-daerah. Beliau bicara panjang lebar ihwal kondisi tataran sosial masyarakat dan pemerintahan, maklum beliau sekarang bekerja di sebuah institusi pemerintahan pusat yang menangani daerah-daerah tertinggal.
Dari pertemuan singkat dan sejumput diskusi warung kopi sore itu, aku mulai berfikir, bahwa gagasan-gagasan dan teori sosial mutakhir yang aku pelajari itu tak akan menjadi apa-apa tanpa ejawantah dalam praksis—terutama untuk menangani masalah sosial yang bergayut di daerah. Dan barangkali pada pundak intelektual yang masih memegang nilai-nilai kemanusiaan, moral, dan keberpihakan pada rakyat—semua itu akan terrengkuh.
Sejumput cita dan asa itulah yang menghantarkan kami (saya, calon bos minyak, propagandis ulung, dan ketua umum koplak) untuk mengusahakan kemajuan dan transformasi social di daerah kami. Dengan bekal pikiran analitis dan pisau bedah teori sosial kontemporer yang terkadang memang hanya jadi wacana kedai kopi, oleh karenanya pemetaan dan pembacaan kondisi sosio-historis daerah pun mulai perlahan kami raba, agar teori yang melangit itu bisa membumi. Dan tentu saja, gagasan besar tak akan pernah terwujud tanpa adanya integrasi antar elemen dalam lanskap kolektif, perlahan tapi pasti jaringan pun mulai di rajut.
*
Malam semakin larut dalam belai gerimis yang kian membasahi tiap sela bumi. Bergegas kami mempersiapkan diri pulang. Setir pun mengikuti liuk jalan yang becek. Tapi sebelumnya, mampir dulu ke kedai kopi Mato dekat selokan mataram. Tampak disana riuh para pecandu cafein dan nikotin. Sekedar nongkrong, obrolan ngalor-ngidul, mendendangkan lagu, ataupun konsolidasi gerakan. Ya, semua tumpah ruah di kedai kopi sederhana itu.a
Suasana kota pun berasa tumpas. Curah hujan tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar. Seluruh permukaan rumpang, dan tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit terakhir, mungkin semacam jerit dalam langit jiwa yang gelisah perkara hidup—hidup yang kian banal terpukat benda-benda material, kemiskinan, oligarki politik, dan perkara subyektif seperti cinta juga terjejal di sela hati.
Tanpa terasa jam sudah menunjuk angka sebelas, hujan makin lebat menyerta kencang angin. Mendadak dengan sekonyong-konyong cahaya biru kemerahan meletup dari arah selatan. Seperti ledakan tapi tanpa bunyi. Entah apa itu, setelah pancaran cahaya itu listrik padam, situasi semakin mencekam. Seolah tragedi besar hendak terjadi, layaknya sebuah sampar. Dalam relung sadarku terbetik secercah rasa takut berbaur dengan rasa penasaran, apa gerangan sebenarnya terjadi di kota Jogja malam ini?
Beberapa orang pun berspekulasi tentang ledakan trafo, atau semacam korsleting. Tapi entah karena apa, barangkali karena angin kencang yang merobohkan pohon tua yang kemudian menjatuhkan batangnya pada jalur listrik kota. Segera, banyak informasi bercokol di media sosial cyberspace. Dari sana terbaca bahwasanya seluruh penjuru kota tercekam oleh hujan dan angin kencang, juga listrik yang padam. Kota pun berasa suri, malam makin menampakkan gelagat suram dan muram.
Dalam suasana genting seperti itulah kami segera menancap gas menembus angin dan hujan. Beranjak pulang menuju kampung halaman. Ada sejumput warta yang menyatakan bahwa jembatan (kali Lampir) yang membatasi wilayah Batang dan Kendal rubuh. Tapi dengan sinis salah seorang kawan bergelak: “ya iyalah jembatan rubuh, kalau berdiri malah gak bisa dilewati...” benar juga, logis dan rasional, tapi ngawur. Atau malah kabar yang terdengar itu sekedar kabar angin yang tak pasti?
Roda pun terus bergulir menumbuk aspal yang basah. Tak terlampau peduli pada cuaca yang tak bersahabat, terus saja kami melawan hujan yang berbaur dengan angin. Hujan tampaknya menyeka seluruh bumi Jawa malam ini.
“Lihat, hari bisa juga jadi kesunyian di sebuah kota yang seringkali mustahil.” Hmmm...Mungkin aku telah lama menunggu seseorang perkara cinta dengan tak percaya diri. Karena pada tiap jeda hujan, ketika kaca mobil dan kakilangit segaris, yang mencinta bersembunyi dan maut seperti sesaat: tak pernah ingin kembali.
Maka terjadilah: malam, gerimis, liris, monolog pohon-pohon, angin yang kencang, dan sederet mobil yang memilah jalanan malam. Bahkan di tengah perjalanan yang asing, suara arus ikut mengambil alih percakapan. Barangkali, semua hanya sebuah parodi, aku ingin berkata lagi, tapi tak yakin kepada siapa.
Teman sejawat yang sama-sama bergulat dalam juang itu, hanya berdendang dengan lagu-lagu di playlist, karaokean, sambil sesekali mengganti lagu yang terlampau liris dan sayu. Aku mungkin telah merasa, hari tak akan lagi sia-sia: wanita itu adalah cinta yang gagu, dan aku adalah pria bodoh yang lebay (setidaknya itu menurut perempuan “aneh” itu). Dan selebihnya hanya bisa menunggu waktu, mungkin untuk dikalahkan, jadi pecundang.
Elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali. Perpisahan adalah sebuah isyarat “kematian”, siapa kita sebenarnya, mengapa cinta selalu tak selesai pada ejawantahnya? Atau mungkin karena di sangka tak serius, entahlah, tapi barangkali perempuan “aneh” itu sudah menghapusku. Terkadang hati ini mulai lelah, cinta memang selalu palsu.
Dan kekalahan bukan berarti menyerah, perjuangan kearah keadilan akan tetap tertaja, keyakinan pada horizon kebenaran akan selalu hidup selama nafas ini belum selesai.
*
Perjalanan pun nyaris mendekati tujuan, sekitar pukul tiga dini hari kami rehat sebentar, pergantian nahkoda (emangnya kapal..hehe). Sesekali bertanya tentang jembatan rubuh dan tanah longsor, tapi tak ada yang tahu. Roda pun berputar kembali, melahap aspal yang mulai terkelupas karena resapan air dan tekanan yang terlampau berat. Sesampainya di perbatasan itu, memang tak ada jembatan yang rubuh, situasi aman terkendali. Hanya saja masalah muncul ketika beberapa meter setelahnya longsor menghadang kami. Sontak kami hanya tertawa lepas seraya mengingat pengendara motor yang memberitahu ada longsor, tapi tak kami acuhkan. “sebelum ada fakta empiris, tak akan percaya..” pekik salah seorang kawan. Ya itulah konsekuensinya, menebus rasa tak percaya dengan lelucon.
Dan akhirnya kami putar balik, mengambil jalan alternative. Di jalan yang sempit itu, suasana bertambah liris beriring hawa dingin dan suara alam yang bergema. Rasanya seperti off-road, seperti sedang ekspedisi ke daerah asing dan terpencil nun jauh antah berantah.
Agaknya memang hujan sedang bermetamorfosis. Hujan yang di damba akan kesejukannya telah menjadi biang mala. Barangkali gejala alam yang kian tak ramah pada manusia itu semacam petanda, bahwa manusia tak seharusnya congkak ihwal keberadaan dirinya yang tanpa sadar merusak ekosistem dan tatanan harmoni semesta. Setidaknya semua hal itu membuatku sadar diri, bahwa aku hanya sebongkah titik kecil diantara kebesaran semesta. Aku hanya manusia fana yang tak punya apa-apa. Dan semua akan kembali kepada kejamakan inskonsisten yang tak terpilah dalam ruang-waktu. Karena itu, hidup yang sederhana ini bukan milik kita sendiri—adanya aku selalu mensyaratkan yang-bukan-aku (the other).
Syahdan, berbagi dan berharmoni dengan sesuatu yang-bukan-aku adalah jalan untuk mencapai hakikat kehidupan—yang kian banal demi sebongkah uang dan tahta, terkadang manusia lupa, bahwa keberadaannya bukan untuk menjajah, mengekspolitasi sang liyan (orang lain, hewan, alam). Mungkin karena hasrat yang selalu kekurangan, maka kita selalu tak puas. Tapi apa daya, segala laku dan ulah yang pongah itu di balas oleh alam dengan kebuasannya—karena keseimbangan hukum-hukumnya direnggutkan dan dirusak oleh hasrat purba kita sendiri: Manusia.***
Yogya-Batang (Kaki Gunung Prahu), 22-23 Februari 2013
Komentar
Posting Komentar