“Everything fades,” say the heart-shaped ex-votos, “except memory.” –Albert Camus
“Keheningan” itu datang kembali, pada
tiap rentetan peristiwa yang teralami dalam diri. Peristiwa memang menjadi
sebuah pengalaman akan yang tak terhingga (infinite), tapi peristiwa itu juga
tercerap dalam tataran yang berhingga (finite). Barangkali di sana kita juga
menemukan hal-hal yang selamanya tak mudah terpresentasikan secara sempurna,
apa yang kemudian kita taja sebagai pengalaman.
Dalam malam yang sayu, seraya pantulan cahaya
bulan, berpendar redup menggelanyuti tiap sudut kota Jogja. Tapi sebagaimana
sebuah kota, ia punya sebuah latar yang selalu tak bisa di kalahkan oleh redup
cahaya bulan. Apalagi “keheningan”, semakin jadi hal yang tak mudah di raih di
sana.
***
Setelah empat tahunan aku belajar di
kota ini, masih saja ada hal yang tak kunjung membuat bosan. Ada saja sesuatu
yang tertanam dalam tubir ingatan untuk tetap meyandarkan sejumput impian dan
harapan. Dan akhinya, ada yang akan pergi, ada yang mungkin terpisah jarak dan
ruang setelah perjumpaan, setelah mengenal sesuatu yang tak kita tahu
sebelumnya: di sanalah “sahabat” menjadi suatu penanda. Entah itu dengan sesama
manusia, alam, atau hal-hal lain yang tak tepermanai.
Dan kami berjalan, serombongan “sahabat”
yang pernah memetik secuil ilmu pengetahuan dari kampus “oren”. Perjalanan dengan
tujuan yang mungkin sekedar berkumpul, atau mungkin sejenak menambah rasa yang
terjaga untuk tetap melekat. Maka berhentilah di sebuah warung kopi.
Hangat kopi yang berkelindan aromanya,
menyerta wajah-wajah yang hendak menyingkapkan sejumput rasa yang terkenang. Dan
tentu saja ada romantisme di sana. Dalam perbincangan yang sudah mulai menapak
rona kedewasaan. Pun dengan pelbagai hal subyektif yang terkadang tak mudah
terbaca, tapi dalam kebersamaan itu tersembunyi rasa damai, atau paling tidak
rasa bahagia, karena di tengah hiruk-pikuknya rona kehidupan, masih ada sahabat
yang selalu melekat.
Secuil tulisan ini hanya bagian dalam
diri yang selalu dalam keheningan, selalu ada bersama yang lain. Karena tanpa
adanya yang-lain itu, aku bukanlah apa, aku hanya manusia soliter yang tak
mengerti bagaimana hangatnya merasakan yang-lain dalam kesamaan dan
keberbedaannya.
Dan aku tak tahu apa yang akan terjadi
kepada semua yang hadir dalam tegukan kopi ini. Apa yang akan kita alami
setelahnya, yang jelas semua punya ceritanya masing-masing, semua punya tujuan
hidupnya sendiri-sendiri. Meski tanpa foto yang menjadi representasi atas
hal-hal yang terkenang, tapi selalu ada fragmen yang akan selalu tersimpan,
dalam “keheningan”, dalam ingatan. Karena dalam setiap ingatan selalu
tersembunyi “peristiwa” yang selalu saja tak lengkap dalam kehadiran dan
ketakhadirannya.***
Komentar
Posting Komentar