Langsung ke konten utama

Slametan



Lama tak pulang ke kampung rasanya agak terasing. Terlebih sekian waktu tak bergumul dengan warga sekitar, seolah menjadi seorang outsider. Ya, mungkin itu sejumput persepsiku saja, toh warga kampung masih menyapa jika bersua di jalan, meskipun terkadang dengan agak canggung. 
Melepas penat sesaat, tinggalkan ingar-bingar kota Jogja yang mulai menapak metropolitan, agaknya seperti merasakan sejumput hawa kebaruan. Serasa di surga memang, tak terlalu risau layaknya anak kos yang seringkali bingung untuk keluar makan apa. Juga sedikit bernostalgia, mengingat jejak-jejak masa lalu yang masih tertera. Ternyata memang masih banyak yang harus dikerjakan di daerah tempat aku dibesarkan, tanah wiladah. Tapi barangkali bukan satu atau tiga tahun ke depan, karena masih banyak cita yang harus aku rajut di Jogja. Dan suatu saat nanti aku pasti kembali, mengejawantah sejumput teori sosial dan pengetahuan yang pernah aku pelajari.
Banyak tawaran yang sudah ku tolak, terutama desakan dari orang tua untuk mengajar di daerahku saja, tapi toh mereka mafhum dengan hasrat dan impianku. Terutama bapak yang selalu memberiku kebebasan, asal demi kebaikan, ia pasti mendukung, entah berupa doa atau berupa material. Ia pun selalu memberiku petuah ”Sesukses apapun kamu nanti, jangan sampai lupa ibadah, beramal, berbuat baik pada sesama, dan jangan sombong...” ya itu saja, singkat tapi dalam.
Bapak memang sosok yang sederhana—sesuatu yang sampai saat ini aku kagumi darinya. Meski sebenarnya ia bisa melakukan lebih dari hidupnya yang sekarang, tapi tak seperti orang kebanyakan, ia lebih suka hidup yang tak berlebih. Di masa-masa akhir pengabdiannya jadi seorang birokrat ini ia memang lebih senang mencari ketenangan, seraya menanti anak-anaknya segera lulus kuliah, sesekali ia coba kembangkan wirausaha dan menabung untuk ke tanah suci—tempat yang selalu diidamkan oleh orang yang beriman.
Terkadang memang aku seringkali membuat gaduh, debat soal masalah politik, sosial, dan tak jarang sampai menyangkut masalah teologis. Hanya saja, hari ini bapak lebih banyak memilih diam, karena sejuta teori dan pengetahuan analitisku menghujam argumen yang ia keluarkan. Ya, seringkali aku mentahkan, tapi itu hanya sedikit debat kecil yang segera lenyap tertelan waktu.
Kebetulan bapak seorang ketua pimpinan ranting Muhammadiyah di kampung. Meski rata-rata warga kampung orang Nahdiyin, bukan berarti bapak menjadi orang yang kukuh pada garis organisasi yang seringkali kaku (terutama yang terkodifikasi dalam HPT). Ia seorang moderat yang terbuka, ia lebih suka bergumul dengan warga meski beda aliran. Bahkan tak jarang ia di tunjuk jadi imam shalat di mushola yang rata-rata jamaahnya warga Nahdiyin. Toh baginya, masih sama-sama islam, ”orang non-islam saja wajib kita hormati apalagi orang yang seagama.” katanya datar. ”dakwah itu menggembirakan dan mencerahkan, bukan mengumbar kebencian.” lanjutnya. “Perbedaan itu rahmat…” sambungnya lagi.
Warga Muhammadiyah di kampung memang hanya orang segelintir. Namun, yang membuatnya berwarna adalah amal shalih yang tak pandang bulu. Bagaimana tidak? Hanya dengan segelintir orang yang ada, mereka sanggup membuat TK ABA, dan TK itu lah satu-satunya di kampung yang membina anak-anak pra-sekolah dasar dengan nilai moral dan keislaman. Tentu saja dengan biaya yang teramat murah, namun meski murah meriah, hingga sekarang TK itu masih berdiri megah. Barangkali perjuangan mendirikannya karena diniati dengan keikhlasan bukan mencari untung layaknya sekolah-sekolah yang sok berstandar internasional di kota-kota besar itu.
Tentu saja sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang berbasis keagamaan, masih banyak kegiatan sosial pemberdayaan lainnya, meski sifatnya kecil-kecilan. Terlampau lirih memang, jika dibandingkan agitasi politik murahan yang hanya jadi ritual sesaat itu, tapi meski lirih setidaknya lebih berharga.
Tibalah malam itu, aku di beri kesempatan untuk bergumul dengan warga kampung. Slametan, demikian orang kampung menyebutnya—sesuatu yang asing bagi warga Muhammadiyah, tentu saja. Jujur saja, dulu ketika pikiranku masih fiqih-oriented, aku sering menolaknya karena bid’ah, bahkan dulu pernah dalam sebuah pengajian kampung, aku di sindir oleh seorang Kyai karena terlampau kukuh dengan keyakinanku. Tapi itu dulu ketika belum mengerti Islam yang sebenarnya. Ketika masih jadi seorang ”tekstualis” yang kaku, seorang puritanis yang tanpa tedeng aling-aling, yang merasa benar sendiri dan sok paling tahu, atau dalam bahasa Derrida ”Logosentrisme”. 
Slametan sebagaimana dikatakan Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (1960), merupakan suatu ritual yang melambangkan kesatuan mitis dan sosial bagi mereka yang ikut didalamnya. Slametan merupakan semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dengan pengalaman perseorangan, dengan suatu yang memperkecil ketegangan dan konflik. Pendeknya dalam Slametan yang juga menjadi penanda rasa syukur kepada yang Ilahi, juga menyimpan keguyuban antar warga—semacam wahana perekat sosial.[1]
Geertz memang mengidentikkan slametan dengan abangan—golongan yang dalam klasifikasi trikotomisnya (santri, priyayi, abangan) dianggap sebagai islam yang ”setengah-setengah”. Setengah-setengah karena masih mempraktikan tradisi yang di anggap hindu atau animisme. Namun belakangan Max Woodward dalam bukunya Islam in Java: Normative Piety and Mysticism (1999), menampik thesis Geertz tersebut. Bahwa Islam Jawa memang unik dan singular. Dan pada hakikatnya tak jauh beda dengan Islam yang pernah berkembang di timur tengah, terutama aliran tasawuf, yang lebih bercorak esoterik.
Agaknya memang Islam Jawa bukanlah Islam yang banyak di tuduhkan oleh beberapa kaum ”tekstualis” yang lebih condong pada Arabisme, ketimbang melihat nilai Islam secara universal. Justru sejatinya Islam Jawa sangatlah islam dalam tataran nilai-nilai yang diyakini, serta kredo yang dijadikan pijakan. Hanya saja memang ada lokalitas tertentu yang menjadi corak khusus, namun bukan berarti Islam Jawa sama sekali menyimpang dengan ajaran otentik al-Qur’an. Kalau toh ada perbedaan, perbedaan itu hanya bersifat particular dan “permukaan” saja. Pada aras ini, Islam yang sebenar-benarnya—bagi saya—bukanlah islam yang harus persis sama dengan zaman Rasulullah di jazirah Arab empat belas abad silam—sebagaimana sering dipropagandakan gerakan revivalis-tekstualis-romantis. Dalam hal ini, seringkali orang terjebak pada tampakannya saja, bukan melihat substansinya.
Barangkali memang itulah keunikan Islam Jawa. Seorang kader Muda Muhammadiyah, Ahmad Nadjib Burhani dalam bukunya Muhammadiyah Jawa, dengan telaah yang cerdas menyodorkan fakta bahwa Kyai Ahmad Dahlan, sang pionir Muhammadiyah, tak pernah sekalipun dalam dakwahnya mem-bid’ah-kan tradisi seperti slametan, misalnya. Justru Kyai Dahlan lebih memilih jalan dakwah kultural yang memberi pencerahan, bukan dengan mendikte dan menggurui. Bahkan golongan komunis pun diajak berdialog dan bersilaturahmi. Ini membuktikan bahwa Kyai Dahlan lebih menyukai pembaruan metode berfikir yaitu dengan pendidikan dan aksi pemberdayaaan sosial. Pada aras ini, ideologi puritanis yang berkembang di Muhammadiyah sejatinya ahistoris, dan mungkin sudah saatnya warga Muhammadiyah (oknumnya) tak lagi merasa paling benar sendiri dengan gencar mem-bid’ah-kan golongan lain.***



[1] Dalam konsepsi Jurgen Habermas, slametan bisa kita golongkan sebagai lebenswelt—suatu arena atau ruang perilaku dunia keseharian, wilayah total dari pengalaman orang per-orang, dunia kesadaran dimana keinsyafan akan identitas diri muncul, dan bersamaan dengan itu komunikasi berlangsung secara inter-subyektif. Dalam terang ini, lebenswelt merupakan sebuah ruang sosial yang tak diintervensi atau dalam bahasa Habermas tak dikolonisasi oleh “struktur-normatif” berupa birokrasi modern yang instrumentalistik dan pasar yang cenderung mengikis dunia hidup manusia pada logika persaingan dan kalkulasi untung-rugi (kapitalisme). Lebih jelas lih. Jurgen Habermas, Legitimation Crisis (Boston: Beacon Press, 1975).

Komentar

Populer