Langsung ke konten utama

Agama, kekerasan, dan cinta



“Keselamatan ada pada cinta, terlindung dalam hati yang bening, keheningan hati yang seakan kosong, tapi sebenarnya penuh berisi hasrat akan Kebenaran…” –R. Ng. Ranggawarsita

Agama, tidak dapat dipungkiri, telah memainkan perannya yang begitu rupa dalam membentuk peradaban manusia. Telah banyak narasi yang menceritakan keberhasilannya mendamaikan dan meluruhkan begisnya nafsu dan libido kebinatangan manusia. Tapi juga alangkah banyak yang menceritakan wajah seringai dan buas agama terhadap kecenderungan pada yang beda. Wajah agama yang berparas mendua inilah agaknya yang menjadikannya selalu diharapkan sekaligus di kecam.
Dalam setiap agama, kita tahu, selalu mengajarkan kedamaian, perdamaian, saling menghargai yang beda, bahkan dalam beberapa keyakinan teologis, menyakiti dan menghina makluk lain (liyan) berarti juga menyakiti dan menghina Tuhan. Tuhan seolah mengingkarnasi dalam makhluk-Nya—sejurus sang pemeluk agama itu meyakini bahwa relasi etis terhadap sesama makhluk, adalah iman kepada Tuhan. Bahkan almarhum cak Nur pun pernah berujar bahwa peradaban besar dunia niscaya di bangun dari agama. Pada titik ini agama menjadi sebuah harapan untuk menyuluh peradaban manusia yang kian hari kian terperosok dalam kubangan dekadensi, kegelapan, barbarian.
“Agama adalah candu!” pekik Marx. “Tuhan telah mati!” teriak Nietszche. Barangkali juga sebagian kita seringkali bertanya: “Apakah agama masih berguna di zaman semodern sekarang ini?”. Memang dengan menyeruaknya kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke 17, dunia kian mengalami transformasi besar-besaran. Iman dan doktrin suci agama mendapat todongan senjata modernitas dari segala arah. Auguste Comte, misalnya, dengan lantang memproklamirkan kematian mistisisme agama. Baginya agama hanya sebagai rekaan imajiner yang tak dapat diverifikasi secara obyektif. Kebenaran hakiki dalam pandangannya adalah kebenaran sains positif yang berdasarkan pada data empiris.
Ada sejumput materialism yang mengolok-olok agama dan menampik tujuan universalnya akan makna semesta. Materialism semacam ini kiranya telah menjadi mode beberapa dalam kalangan saintis barat. Iman religious, setidaknya dalam tata formalnya, dianggap membingungkan secara psikoanalisis, seperti dalam pandangan Freud. Marx bahkan menganggap agama (formal) terlalu reaksioner secara ekonomi-politik.
Setali tiga uang dengan itu, Jacques Monod dalam teori kosmologi kuantumnya, dengan amat sinis membalikkan keyakinan teologis yang mapan dalam setiap agama bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Baginya, dunia ini terjadi secara kebetulan belaka. Ahli biokimia Perancis yang meraih nobel 1965 ini berargumen bahwa asal-usul kehidupan dan proses evolusi sebagai kelanjutannya hanyalah kebetulan semata. Kebetulan itulan yang menjadi sumber setiap inovasi dalam biosfera.
Melengkapi pandang ini, Stephen Hawking mengajukan teori jagad raya yang radikal: bahwa awal jagad raya bukanlah singularitas yang tajam, melainkan sebuah lengkungan waktu. Dengan nada provokatif ia menyatakan: ”bila alam semesta adalah sesuatu yang mandiri, tanpa batas atau ujung, dia tak punya awal maupun akhir, dia semata-mata hanya ada.” gagasan semacam ini seperti menegaskan bahwa ide tentang adanya Tuhan setidaknya tak berguna atau bahkan sesuatu yang irasional.
Namun, kenyataannya sekarang materialisme tak mampu memberikan makna bathin bagi tata kehidupan manusia. Modernitas yang dielu-elukan sebagai wadal kemajuan ternyata justru membawa manusia pada keterasingan (alienasi) akan hidupnya sendiri. Malahan, posisi agama dan keyakinan religiusnya—yang sempat di hujam oleh sains positif dan materialis—kian dilirik sebagai wahana untuk merubah tatanan dunia yang kian banal. Dunia memang kian maju. Manusia kian dipermudah dengan teknologi dan kecepatan informasi, hanya saja dibalik semua itu ada hal yang membuat jiwa manusia merana, ada sesuatu yang hilang di sana.  
Dalam dunia post-sekuler sekarang ini, situasi—meminjam bahasa Derrida—”kembalinya agama-agama” bukanlah hal yang mudah. Sebab lebih dari itu, seperti kita saksikan, secara sosiologis, persoalannya bukan hanya sekedar pada penampikan atas agama. Agama seringkali memang ditampilkan dalam wajahnya yang garang dan menyeramkan, bukan dengan iman religius yang bernafaskan cinta-kasih.
Lantas, bagaimana kini agama mesti diposisikan? John D. Caputo, seorang posmodernis Derrideo-Heideggerian, yang diperlukan sekarang adalah otokritik secara struktural, mengidentifikasi persoalan mendasar dunia modern, dan selanjutkan memberikan visi peradaban baru yang dibutuhkan manusia sekarang. Tanpa itu agama hanya sekedar nama kosong. Alih-alih menjadi pesona menjanjikan yang menarik agama hanya akan menjadi simbol yang diperebutkan, dan bukan tak mungkin akan menimbulkan konflik dan kekerasan. Filosof katolik ini memandang agama sebagai serangkaian pertanyaan terbuka sekaligus serangkaian permulaan, yang muaranya adalah ”cinta kasih Tuhan”.
Hal ini sebenarnya bukanlah gagasan baru. Sebab, ide tentang cinta kasih Tuhan, dalam tradisi katolik, telah dikembang oleh Meister Eckhart melalui mistisismenya. Tetapi, bagi Caputo, hal itu perlu ditegaskan kembali dalam setiap jantung agama. Sebab, makna cinta dalam agama-agama telah banyak terreduksi oleh ke-’aku’-an personalnya yang secara ekslusif menolak keberadaan yang beda. Banyak orang yang merasa religius ternyata justru merepresentasikan sikap yang justru seperti kaum bar-bar—memaksa yang berbeda keyakinan untuk mengikuti keyakinan chauvinisnya dengan mengatasnamakan Tuhan. Padahal kita tahu, dalam beragama tak ada paksaan.
Pada aras ini, dalam kerangka teologis, Tuhan bukan sebagai ”apa”—subyek—tapi ”bagaimana” yakni tindakan yang selalu dalam gerak dinamis. Tuhan dihadirkan dalam ruh, kebenaran dan cinta bukan hanya dalam dalil, tapi juga laku. Dalam hal ini, Caputo menegaskan bahwa Tuhan membenci perayaan religius, melodi dan petikan harpa yang indah. Namun, Tuhan membiarkan keadilan bergulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang terus mengalir. Nama Tuhan adalah nama keadilan, dan keadilan bukan hanya sebuah kosepsi abstrak tapi lebih dari itu adalah suatu perbuatan, dan kebenarannya di capai hanya dengan laku kebenaran, dengan memungkinkan keadilan terejawantah dalam kebenaran.
Gagasan Caputo ini memberikan penyadaran bahwa agama, kasih Tuhan, sangat berkait erat dengan transformasi kehidupan dengan kemungkinan merubah masa depan lebih baik—peduli terhadap sesama, orang miskin, orang terlantar, anak yatim, mustadafin, dan semua yang membutuhkan kasih kita. Di situlah sebenarnya Tuhan berada, di  situlah sejatinya kita beragama.
Syahdan, cinta memang mejadi ruh setiap agama—sebagai titik pusat hakikat kemanusiaan kita. Tak begitu jauh, Islam pun memandang kesempurnaan iman dengan dasar cinta: “La yu’minu ahadukum hatta yuhibba li ahihi ma yuhibbu linafsih—tidak sempurna iman seseorang sebelum mampu mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” Dalam terang ini beriman kepada Allah SWT adalah membubuhkan cinta kita kepada sesama. Manusia adalah citra (gambaran) Allah di dunia, ia adalah wakil (khalifah) yang menjalani misi membentuk sejarah peradaban dengan nilai-nilai moralitas, cinta-kasih, keadilan, dan kemanusiaan. Maka dari itu ketika kita, sebagai manusia, malah hidup menyerupai binatang—anti-pengetahuan, anti-pemikiran, anti-estetika—yang dipikirkan hanya materi dan penumpukan harta tanpa cinta kasih dan kepedulian terhadap sesama (amal-salih), barangkali umur peradaban manusia akan segera berakhir dengan tragis.***

Komentar

Populer