Langsung ke konten utama

LOVE, cinta???



Cinta selalu jadi hal yang tak selesai di dunia ini. Setiap manusia tentu saja pernah merasakan hangat dan sublimnya, bahkan sakit dan penderitaannya. Bayangkan jika hidup ini tanpa cinta, mungkin dunia ini telah habis, luluh lantak seraya terbantun dalam gelap gulita. Temaram cahaya tak lagi terciprat dalam alunan damai rasa kemanusiaan. Ketenangan jiwa lenyap memudar, tersisa banalitas, kejahatan, kengerian, kebencian. Agaknya, sejarah hidup manusia pun berawal dari cinta, setidaknya itu yang terbaca dalam kisah Adam-Hawa.
Tapi apakah cinta itu ada? Benarkah ia menjadi hal yang membuat hidup jadi bermakna? Atau malah cinta itu palsu? Ia sekedar libido dan hasrat semata? Tentu saja, kita pasti pernah mengalaminya dalam dunia keseharian, dalam pengalaman unik dan singular, sehingga persepsi setiap orang akan berbeda-beda dalam menafsir cinta.
Apa jadinya jika cinta di pandang oleh kacamata seorang filsuf?
Alain Badiou, sang filsuf radikal-kiri Perancis, memasuki dunia antah-berantah yang di sebut cinta itu. Ide tentang cinta memang menjadi misteri yang tak pernah hentinya membawa hidup manusia dalam multiplisitas tak tepermanai. Badiou memulai dengan pernyataannya "no theme requires more pure logic than love". Ini jelas posisi antagonis dalam trajektori sejarah pemikiran filosofis yang di mulai sejak Platon. Cinta dalam tafsiran Platon merupakan eksepsi dari logika. Bagi Badiou, cinta haruslah menjadi semacam logika yang luar biasa (exceptional logic) yang secara serentak mengonfirmasi filsafat sebagai operasi penghitungan, di mana posisinya menyebabkan timbulnya angka-angka yang bukan pada lanskap pentahbisan (ordination).[1]
Badiou lantas memulai penelusuran filosofisnya ihwal cinta dengan posisi diametral terhadap dialog Platon yang menceritakan Arisophanes dalam the Symposium: "Love is born into every human being; it calls back the halves of our original nature together; it tries to make one out of two and heal the wound of human nature". Bagi Badiou, yang juga mengakarkan konsepsinya dari Lacan, cinta adalah segalanya, namun layaknya substansi yang menempel, seperti “lem” yang merekatkan seraya membagi dua entitas subjek kembali pada kesatuannya. Cinta melampirkan yang dihitung-sebagai-satu (the count-as-one)[2] dengan menghadirkan universalisme yang mengosongkan relasi antar objek—atau dalam bahasa yang metaforis: “adegan oleh yang dua” (scene of the Two).
Sebagaimana sebuah proses kebenaran layaknya seni, sains, maupun politik, cinta telah membawanya pada suatu tataran yang tak terperi. Karyanya yang membahas mengenai cinta dapat kita taja dalam essaynya "What is Love?", dalam Conditions (2008),[3] dan  "The Scene of the Two", De I'amour (1999). Dalam essaynya yang lebih awal, Badiou menyusun fondasi atau semacam “deklarasi” tentang filsafat cinta. Didalamnya Badiou mengerangkakan empat thesis:
1. Ada dua posisi pengalaman
2. Kedua posisi tersebut sama sekali tak berlawanan (absolutely disjunct)
3. Tak ada posisi ketiga
4. Hanya ada satu kemanusiaan (humanity)
Empat thesis tentang cinta a la Badiou ini akan lebih baik barangkali di baca secara terbalik. Diawali dari “hanya ada satu kemanusiaan”. Pada aras ini, Badiou memahami kemanusiaan sebagai “pendukung” dalam merengkuh kebenaran—dalam prosedur generiknya meliputi saintifik, politikal, dan artistik atau jalan cinta kasih yang meletup pada kekosongan, kejamakan inkonsisten yang terpilah pada sisi subjek.
Keluar dari jalurnya sebagai kritik atas doxa (pendapat) Badiou mengaskan bahwa kebenaran yang melewati empat proses di muka sangat penting bagi setiap orang. Setidaknya keempatnya merupakan kebenaran universal atau transposisional yang tak mengacuhkan partikularitasnya—utamanya terkait dengan kesatuan kemanusiaan.
Dalam thesis ketiga ditegaskan bahwa keberadaannya meskipun hanya dalam lokus kemanusiaan yang satu, ia tak diikuti oleh tataran non-manusia, karena ia dalam posisi eksternal—sebuah “meta” posisi yang berada di luar tataran. Tidak ada posisi ke tiga dari yang melampaui kesadaran (consciousness). Oleh karenanya posisi ini menjadi hanya dua, karena yang ketiga selalu dalam rupa kekosongan (void). Posisi ini jelas menempatkan kedua entitas pada tataran yang sama sekali tak berlawanan (absolutely disjunct). Agaknya memang posisi yang di bangun Badiou di sini lebih bersifat imanen ketimbang transenden.
Pada aras ini, seseorang sudah dalam presuposisinya untuk menghormati cinta sebagai syarat sebuah kondisi dimana prinsip terdasarnya adalah untuk meregkuh kebenaran universal. Sebagaimana keduanya membagi posisi pengalaman yang tak terpilah pada sisi cinta yang membuatnya ‘berbicara’ dalam posisinya yang setara. Badiou menjawab posisi itu secara mengejutkan: cinta adalah universal bukan karena ia membuat yang-lain (the-other) pada posisi pengalaman kedurjanaan, tapi karena cinta (dan ia sendiri di antara kondisi kebenaran) membuat yang-Dua “dihitung dalam tataran imanensi” (counted in an immanent way).
Dari sini, kita harus kembali pada implikasi atas pola imanen yang di hitung sebagai dua. Sebagaimana sudah ditetapkan, yang-Dua dari cinta bukanlah hasil dari penjumlahan. Sebagaimana dalam Scene Of The Two, dua adalah yang dihitung-sebagai-satu (count-as-one), atau penjumlahan satu tambah satu. Ini adalah hasil dari operasi pengurangan, di mana yang di kurangi dari dua posisi pengalaman itu secara seksama membawa—meskipun mustahil berdiri sendiri—keduanya dalam kesatuan.
Dalam kaitannya dengan Lacan, Badiou menegaskan dalam Scene of the Two bahwa dua posisi pengalaman, laki-laki dan perempuan, tidak menggubah keseluruhan posisi, atau yang satu, karena apa yang didiaminya tak pernah dalam kepenuhan. Ketakpenuhan elemen yang di sebut Lacan sebagai objet petit a[4] ini sama sekali tak dapat di tampik kehadirannya. Badiou menamai objek atomis Lacanian ini dengan (u), sebagaimana dideskripsikannya sebagai "un-analysable of non-being that circulates in the non-relation".[5] (u) tersebut merupakan suatu poin yang hilang dalam interseksi antara keduanya (laki-laki dan perempuan). (u) adalah bukti sesuatu yang tak terhindarkan di mana keduanya tak akan pernah mencapai titik perjumpaan yang penuh. Keduanya tak akan pernah saling menguasai atau mengatasi satu sama lain, meskipun posisinya sama sekali tak berseberangan. Meski demikian Badiou tak memberi alasan kenapa bisa demikian, barangakali semua itu adalah akibat dari operasi penghitungan yang disebutnya sebagai count-as-one.
Konsepsi Badiou tentang Dua yang dihitung-sebagai-satu adalah untuk mengukuhkan cinta sebagai fabrikasi kebenaran. Baginya seperti seni, politik, dan sains, cinta juga merupakan laku militansi kesetiaan subyek pada kebenaran—dengan kemampuan yang mendasar dalam peristiwa untuk mengubah situasi dan membuat kemungkinan-kemungkinan baru.
*
Cinta pada dasarnya memang merupakan serpihan-serpihan perbedaan, yang satu dengan yang lain saling mengisi yang belum pernah termiliki. Perbedaan dan saling mengisi sebagai titik tolaknya. Cinta, sebuah resapan ruh semesta yang mengalir dalam jiwa-jiwa manusia. Sebuah manifestasi kelemahan manusia; bukti bahwa ia tidak bisa sebagai makhluk yang sepenuhnya pribadi (individu). Lantas berusaha mencari yang lain—yang sesungguhnya adalah bagian dari dirinya yang hilang. Sebagaimana penciptaan hawa; bagian dari Adam, tulang rusuknya. Miliknya. Semacam ada kerinduan untuk menyatukannya kembali bagian tubuhnya itu. Hasrat penyatuan ini terjadi pada wilayah tubuh (persetubuhan) dan kasih sayang (saling mengisi). Ada istilah soma dan eros sebagai pembeda keduanya. soma menjadi luapan percikan ambisi hasrat yang bersifat tubuh dan pemuasan seksual terhadap lawan jenisnya. Sedangkan eros, mengalir melalui kerinduan kasih sayang dalam jiwa-jiwa yang kesepian terhadap Tuhan, pasangan, orang tua, anak, sahabat, saudara, dan kasih kemanusiaan.
Cinta memang buta, ia tak memandang harta, tahta, usia, wajah, atau tubuh, kalau sudah terjerumus dalam “keheningan” yang ditawarkan pesonanya, apa mau di kata??? Barangkali, hal itu pula yang dimaksud Badiou sebagai Dua yang dihitung-sebagai-Satu. Ya, itulah CINTA.***


[1] Dalam hal ini Badiou memang mendasarkan pokok-pokok pikiran filosofisnya secara ekstensif dengan metode matematika.

[2] Dalam hal ini satu adalah hasil operasi, sesuatu dikatakan “satu” karena ia dihitung sebagai satu. Maksudnya, penghitungan (count) senantiasa pada tataran epistemologis, dengan kata lain, terkait soal bagaimana kita melihat Ada sebagai kejamakan. Seperti dikatakan Badiou “The count as one is no more than the system of conditions, through which the multiple can be organized as the multiple.” Alain Badiou, Being and event hlm. 34

[3] Untuk ini rujukan yang dipakai adalah Condition (New York, continuum), 2008, terutama halaman 179-198.

[4] Objet petit a (objek a kecil) atau objek penyebab hasrat adalah objek yang selalu kurang pada dirinya sendiri karena sifat parsialnya: separuh dirinya ada pada subjek dan separuh yang lain selalu mengelak dari genggaman subjek—objek ini mengingkarnasikan kekurangan konstitutif (constitutive lack) pada sisi subjek. Lebih jelas lih. Martin Suryajaya, Alain Badiou dan masa depan marxisme, (Yogyakarta: resist book), 2010, hlm 210.

[5] Meskipun Badiou berangkat dari Lacan tentang subjek, posisi Badiou bisa dikatakan berseberangan dengan konsepsi subjek Lacan yang selalu dalam kekurangan (lack) . Badiou pun mengakui bahwa kekosongan atau negativitas memang menjadi problem yang selalu mengeram pada posisi Ada maupun subjek. Namun baginya negativitas itu hanya mengeram pada sisi Ada, dengan asumsi jika kekosongan atau negativitas itu mengeram pada sisi subjek, emansipasi menjadi hal yang tak mungkin. Ibid, hlm 211.

Komentar

Populer