Langsung ke konten utama

Fathanah




Fathanah, barangkali, adalah sebuah tanda zaman. Kita tak tahu pasti, kenapa orang berlatar belakang ‘islamis’ seperti dirinya membuat ulah di luar akal sehat kita. Seorang politisi yang juga penguasaha, begitulah dirinya. Ia adalah sebuah gambaran sistem sosial kemasyarakatan kita yang kian banal. Adalah ‘demokrasi’ yang kian ‘liberal’ di mana yang-politik telah dikangkangi oleh kepentingan untung-rugi, dengan kata lain sebuah pasar—membuat ‘uang rakyat’ bersih, ludes diembat orang macam Fathanah.
Perawakannya terlihat elegant layaknya pengusaha (atau malah mafia ?hehe). Dengan raut muka yang terlihat wibawa, orang tak akan menyangka jika ia ternyata adalah seorang pecandu wanita, atau seorang perampok yang memiskinkan moral dan kekayaan negara. Dengan santai ia akui semua. Ia korup dana impor sapi, lalu ia cuci uang itu untuk membeli sejengkal ‘cinta satu malam’.
Ia memang tak gila, setidaknya secara mental, tapi ‘gila’ secara sosial. Sebuah laku yang absurd yang ia lakoni dari ingar-bingar politik yang kian terperosok pada jurang kebobrokan tak terperi. Tapi, ia memang tak sendiri. Ia membawa sebuah tragedy ihwal patologi social yang kian menghamba diri pada nafsu duniawiah. Bisa jadi kita juga sedang bersamanya, atau kita juga tak bisa menghindar dari segala riuh-rendahnya dunia. Bukan maksud menghakimi yang duniawi, tapi apatah yang berharga dalam kehidupan dunia selain kebaikan yang datang dari ajaran Tuhan?
Agaknya moralitas bangsa kita sedang mengalami sebuah antinomi, atau bahkan melebihi sekedar antinomi : dekadensi. Mungkin Freud akan menyebutnya sebagai perversi—sebuah penyimpangan dalam gaya, tingkah laku yang memeberikan gambaran rinci seksualitas yang samar-samar. Penyimpangan yang dilakukannya adalah sebuah penanda, di mana dalam sebuah ‘struktur’ yang mengklaim diri sebagai pembawa titah ketuhanan dalam partai politik ternyata malah lebih bobrok ketimbang yang sekuler. Mungkin sementara orang akan muak, ngelus dada, geleng kepala, atau acuh-tak acuh saja—karena memang sudah jamak fenomena semacamnya ada pada masyarakat kita.
Sinting atau tidak, kita tengah melewati sebuah zaman dengan sebuah isyarat. Berbareng dengan keruwetan jiwa yang tersembunyi dalam masyarakat. Ia tiduri 48 wanita, dan mungkin lebih, setidaknya dari pengakuannya, atau banyak kita dengar dari warta di media. Siapa salah ? tentu ini bukan soal salah orang per orang, tapi mungkin salah berjamaah. Ia memang salah, wanita yang ditidurinya juga salah. Akan tetapi ada sesuatu yang berada di belakang sebuah kejadian, ada sebab ada akibat. Bisa jadi, zaman kita memang sebuah zaman yang serba-serba. Zaman yang semau-maunya, suka-suka gue, penting gue seneng, ya begitulah : liberalisme yang juga kawin dengan bumbu hedonisme, di tambah saus ‘citra’ yang kian menguasai dunia-hidup manusia—yang pada akhirnya melahirkan tipikal orang se-hipokrit Fathanah.
Sebuah ironi yang terpampang sempurna, tanpa tedeng aling-aling, tersiar ke khalayak dengan tanpa rasa malu. Mungkin itulah kegilaan, karena memang nyaris budaya malu semakin tak ada dalam masyarakat kita. Moralitas leluhur nusantara telah bertransformasi menjadi sebuah moralitas budak yang penuh akan nafsu untuk berkuasa—entah kuasa tahta, kuasa harta, atau kuasa wanita. Tak salah jika Ranggawarsita pernah berteguk wejang akan suatu kedatangan ”zaman edan”, suatu kala bendu.
Fatahanah, kita tahu, adalah salah satu dari 4 sifat Rasul Muhammad yang berarti cerdas. Kenyataannya sungguh tak pantas nama yang disandangnya. Tapi, mungkin memang ia ’cerdas’ dalam arti yang lain, karena hebatnya ia bisa taklukan wanita dengan segala rayuan mautnya—wong saya saja cewek satu dapetnya susah bukan main kok (ye malah curhat :D).  
Kita ingat, sebuah novel karya George Orwell: 1984. Di sana Orwell bercerita tentang negara yang berkuasa penuh (otoriter) terhadap kebebasan individu. Winston Smith, tokoh utama dalam novel 1984 itu, dikiaskan dengan selalu berada dalam pengawasan, dalam sebuah genggaman hegemonik si Bung Besar. Tapi kenyataan berbicara lain, peridiksi Orwell tentang kuasa Bung Besar justru berbalik arah. Kini kebebasan individu berkuasa penuh, mungkin lewat mediasi pasar, atau komoditas berupa uang. Dan manusia jadi hamba sahaya ”angka-angka”—yang bisa membeli segala rupa dalam dunia.   
Mungkin ini adalah semacam ”kegalauan” zaman, atau apa yang dikatakan Hannah Arendt dengan ”kembalinya massa” (yang-sosial). Arendt dalam hal ini memberi petunjuk bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi semacam distraksi. Ruang publik—yang menjadi lokus kebersamaan—raib diinfiltrasi kepentingan privat. Sebaliknya, ruang privat—yang mengandaikan sebuah privasi dan kerahasiaan—tergerus oleh tata aturan formal yang kaku. Dengan ini, zaman agaknya semakin cair. Seperti air, mengalir ke hilir tanpa tahu medan apa yang akan menguasainya. Entah siapa ”kekuasaan” itu, semakin tak jelas, berselang-sengkarut, ada dimana saja, seperti diterakan dalam genealoginya Michel Foucault yang sampai-sampai ”membunuh” subyetivitas manusia.
Syahdan, keruwetan yang terjadi dalam tata sosial-politik-budaya-agama-ekonomi kita adalah juga diri kita. Sebuah penanda dimana sekarang ini adalah zaman yang serba tak jelas, serba ruwet, mungkin seperti apa yang dikatakan Baudrillard dengan nada apokaliptik: Hiperrealitas. Agaknya ”Fathanah” adalah juga ”kita”, ia adalah juga cermin diri kita sebagai sebuah bangsa yang konon beradab, beretika, bermoral, dan sopan santun. Tapi, apa realitasnya? justru ironi, kontadiksi! Agaknya memang ”zaman edan” sedang mengalami titik kulminasi, dan seperti yang dikatakan Ranggawarsita ”yang selamat adalah mereka yang masih eling.” dan kita tak tahu, apakah kita ikut-ikutan gila, atau yang eling lan waspada itu.***

Komentar

Populer