Langsung ke konten utama

Semar



Dalam sebuah kisah pewayangan Jawa, terdapat sosok grotesk yang penuh dengan misteri. Dialah Semar. Kita tahu, dia adalah sosok yang barangkali paling di cintai oleh orang tua maupun muda Jawa, tetapi pada aras yang sama ia adalah sosok paling misterious. Parasnya ganjil, kepalanya berkuncung, dengan badan pendek serupa blewah, perutnya buncit menggelambir, teteknya yang merosot layaknya tetek sapi—seperti paras badut yang konyol.
Semar bukanlah sosok lazimnya seorang badut. Tampilan luarnya memang seperti badut, akan tetapi—pada saat yang sama—ia adalah sumber dari segala hikmah (kebijaksanan). Agaknya hal inilah yang membuatnya dikagumi oleh berbagai kalangan masyarakat Jawa. Barangkali, Semar meskipun seorang hamba sahaya jenaka, adalah semacam representasi ‘kelas bawah’ atau dengan kata lain, ia adalah sosok yang melambangkan rakyat atau ‘wong cilik’. Dengan itu, nilai-nilai dan tata aturan yang ada pada golongan satria tidak berlaku padanya.
Sosok Semar agaknya adalah semacam ‘perlawanan’ ironis terhadap pakem satria yang seringkali terjebak oleh tata aturannya sendiri. Dalam perkara ini para satria seringkali terjebak pada sebuah antinomi moral yang tak terperi. Perawakan Semar yang tambun luar biasa, dengan tampilan yang netral gender—kita tak tahu pasti dia laki-laki atau perempuan dari segi fisiknya. Akan tetapi, perawakan inilah yang bisa dikatakan mendekonstruksi segala apa yang di sebut bentuk atau katakanlah ‘citra’. Mungkin ini juga semacam parodi bagi kita orang modern yang semakin terjebak pada simbol-simbol, yang dalam bahasa Mc Luhan : Pesan sudah jadi isi—Medium is the message.
Dibalik kejenakaan dan tampilan grotesk inilah Semar menampilkan suatu sikap yang sangat luhur tapi menghibur. Seringkali ia tampil jenaka dengan banyolan yang ringan diantara cerita panjang ihwal permusuhan Pandawa dan Kurawa. Ia adalah seorang abdi istana yang seringkali memberi wejang kepada para tuannya, Pandawa, untuk tak patah arang dan langkah yang salah tak dijalankan. Di sisi lain ia juga seorang yang lueh terhadap etika aristokratik Jawa dengan kentut tak terkendalinya, seperti memerkosa aturan sosial orang-orang atasannya.
Dalam sebuah kisah Mahabarata versi Jawa, Semar adalah sosok yang lahir dari keturunan dewa. Ia lahir dari sebuah telur yang menetas mengeluarkan tiga orang bayi : Ismaya, Antaga, dan Manikmaya. Pada suatu ketika Ayah mereka, Sang Hyang Tunggal, akan memilih salah satu dari mereka untuk dinobatkan menggantikan tahtanya kelak di Jong Giri Saloka. Akan tetapi ketiganya merasa berhak mendapatkan tahta itu, karena tak ada yang lebih tua maupun muda. Alhasil, sang Hyang Tunggal memberi mereka tantangan bahwa siapa dari ketiganya yang sanggup menelan Gunung Jamurdipa dan memuntahkannya maka ia akan menggantikan tahta Sang Hyang Tunggal. Nahas, Keduanya tak membuahkan hasil, yang terjadi justru tubuh mereka tercabik-cabik dan hancur membentuk sosok buruk rupa nan grotesk.
Semar, yang sejatinya adalah Sang Hyang Ismaya, kemudian di kutuk karena perilakunya sendiri yang beradu kuat dengan Sang Hyang Antaga (Togog) untuk mendapatkan tahta kerajaan Jong Giri Saloka. Dengan kegagalan itu, mereka berdua kemudian di beri mandat untuk turun ke bumi mengajarkan ilmu kasampurnaning dumadi kepada manusia yang seringkali lupa akan hakikat hidupnya.
Agaknya ini adalah sebuah versi yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa umumnya. Namun, ada sebuah interpretasi yang menarik untuk di simak dari Goenawan Mohamad (GM). Bagi GM Sosok semar lahir dari sebuah sikap rakyat kecil yang muak dengan segala tata aristoktratik Jawa yang sangat bersusun. Dalam perkara ini, Semar dijadikan sebuah parodi yang berontak terhadap tata aturan kelas tinggi. Akan tetapi, ia juga sebagai sebuah supremasi dengan asal mulanya sebagai dewa Ismaya yang ‘seandainya ia mau dapat menguasai dunia’.
Syahdan, kita tak tahu pasti siapa jati diri Semar sebenarnya. Dalam versi Mahabarata India ia tak pernah ada. Bahkan ada sebuah versi yang menyatakan ia adalah jelmaan nabi Khidir, sang guru para nabi. Yang jelas semar telah menciptakan sebuah penampikan yang seringkali tak dapat kita mengerti. Ia menampik hegemoni terhadap para pangeran yang barangkali terlalu pongah dengan sikap dan tampilannya, namun ia juga seorang abdi istana yang sangat patuh. Paradoks yang menyertai Semar ini menjadi semacam penanda, di mana hidup ini bukan hanya hitam-putih semata. Paling tidak, Semar adalah sebuah pelajaran yang sangat kentara bagi orang Jawa, dan tak hanya orang Jawa, dimana dalam hidup kita dapat sesekali menertawakan kebenaran, atau justru membiarkan kebenaran itu tertawa—seperti yang tertera dalam novel Umberto Eco, The name of the rose. ***





Komentar

Populer