Langsung ke konten utama

Yudistira dan Chaos



Yudistira, dengan paras yang menampakkan diri polos, adalah subuah arketip raja yang sederhana. Kepalanya merunduk dengan rona yang mawas, raut mukanya merepresentasikan keningratan yang halus. Sosok Yudistira—yang di Jawa lebih populer dengan sebutan Puntadewa—tampil sebagai sebuah tokoh ideal Pandita Ratu yang dengan ugaharinya telah menyingkirkan nafsu duniawi.
Tak banyak dalam sebuah negeri yang dipimpin oleh orang yang mengabdi kepada orang lain (liyan), mengabdi kepada rakyat—sebagaimana nama lainnya: Samiaji (menghormati/mencintai orang lain seperti dirinya sendiri). Yudistira, agaknya, menjadi sebuah sosok kesejatian seorang pemimpin. Hidupnya sederhana. Tampilannya tanpa perhiasan, tak selayaknya seorang raja yang gelimang kemewahan. Anak sulung Pandu ini tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah menolak permintaan siapun—betapapun rendahnya sang peminta. Baginya derap waktu yang mengalir adalah sebuah ejawantah untuk untuk meditasi dan sarana menghimpun kebijaksanaan.
Pusakanya bukanlah senjata sebagaimana laiknya kesatria pada umumnya. Pusaka andalan Yudistira berupa Jamus Kalimasada (kalimah syahadah) sebuah naskah atau semacam ‘logos’ yang menjadi fondasi atas sebuah titah suci bagi seorang muslim. Dialah tokoh seorang pemimpin yang mengabdi, seorang cendikia tanpa pamrih—yang memerintah dengan keadilan dan kemurahhatian yang luhur. Darah putih yang mengaliri nadinya adalah sebuah penanda akan kesucian jiwanya. Dia adalah gambaran insan kamil (manusia sempurna) yang lila legawa donya lan pati (Tulus ikhlas atas segala yang bersifat duniawi dan kematian).
Agaknya kesempurnaan sifat Yudistira yang melampaui manusia biasa menjadikannya sebuah panutan. Akan tetapi, kesempurnaan manusia memang selalu berbatas. Manusia, meskipun sesempurna apapun ia, tak pernah bisa lepas dari hal-hal perkara duniawiah. Alkisah, Yudistira dengan absurdnya menerima tawaran Kurawa untuk berjudi. Majulah ia dalam medan laga perjudian. Dilemparnya sebuah dadu dengan Sengkuni berada di seberang mejanya. Dengan kepolosannya, ia dikibuli oleh Sengkuni. Ia kalah. Semua habis diperaruhkan. Harta, Kerajaan, adik-adik Pandawa-nya, bahkan dirinya sendiri dan istrinya, Drupadi, jadi taruhan, ludes.
Paradoks inilah yang terkadang membuat kisah pewayangan begitu mencengangkan, begitu pelik, ironis, paradoksal. Kita tak tahu pasti, kenapa seorang Yudistira sampai mempertaruhkan segalanya, bahkan kehormatannya, dalam sebuah permainan dadu yang sepele. Agaknya paradoks inilah yang menyertai seluruh epik Mahabarata. Semacam enigma yang selalu dalam ambiguitas. Tapi, itulah yang menarik. Seperti hidup manusia, cerita jagad pakeliran adalah gambaran absurd kehidupan yang seringkali centang-parenang, tak sekedar hitam-putih, sebuah chaos. Atau dengan kata lain epik Mahabarata bukanlah sesederhana kebajikan melawan kejahatan atau Pandawa melawan Kurawa yang terbungkus dalam skema oposisi-biner, lebih dari itu Mahabarata adalah sebuah ‘tragedi’.
Tragedi sebagaimana yang dilukiskan Nietzsche dalam bukunya The Birth of Tragedy adalah sebuah lukisan ihwal kontradiksi, penyangkalan—yang meruntuhkan oposisi-biner dalam sebuah bentuk kesenian Yunani kuno. Tragedi adalah sebuah ‘peristiwa’ yang sarat akan teka-teki, kadang ia tampak teratur, berbentuk, simeteris, atau sebuah kejelasan—sebagaimana diasosiasikan oleh Apollo. Di lain sisi, Tragedi adalah pengejawantahan sosok Dionysus dengan naluri irasionalitas, kekerasan, dan chaos. Dalam hal ini Nietzsche seperti memproklamirkan runtuhnya sebuah skema oposisi-biner yang bergayut dalam struktur rasionalitas yang koheren sebagaimana tertera dalam semangat modernitas yang bercorak Apollonian. Ia meruntuhkannya dengan menempatkan Dionysus sebagai sebuah peleburan manusia dengan apa yang disebutnya ‘Kehendak’ sebagai jantung dunia (will to power). 
Modernitas yang menempatkan subyek rasional sebagai ‘logos’ atau semacam pusat diruntuhkan oleh Nietzsche dengan mengembalikan Chaos ke dalam dunia. Sebuah trajektori nihilis yang memang tak bisa ditampik oleh manusia. Dan itu tergambarkan dalam sosok Dionysus yang mengembalikan multiplisitas ke dalam dunia, atau dengan kata lain “Menampakkan dirinya dalam mitos sebagai bahasa simbolik untuk mengembangkan wawasannya sendiri, yang diekspresikan dalam bentuk…tragedi, dan… drama misteri…” 
Barangkali, semua yang terjadi, semua yang kita alami dalam hidup ini adalah sebuah chaos, suatu multiplisitas tak tepermanai, atau sebuah ‘tragedi’. Kita tak tahu pasti, bahkan dalam sebuah skema yang sangat rapi dan koheren, atau dalam sebuah tatanan yang hirarkhis akan selalu menyimpan patologinya sendiri, kekacauan, atau sesuatu yang berada dalm tubir ketakpastian.
Alain Badiou—seorang filsuf kontemporer Perancis—mendedahkan sebuah teori yang juga meletakkan Chaos sebagai sebuah hal-ihwal. Struktur yang sistematis, konstruksi sebagaimana oposisi-biner (hitam/putih, baik/jahat, dsb), baginya amat rapuh. Bagi Badiou ’dunia’ adalah sebuah pautan situasi yang bergayut dalam multiplisitas yang disajikan sebagai ’satu’—sebuah hasil penghitungan sebagai satu (count-as-one), atau sebuah ‘struktur’.  Hitungan sebagai satu bukanlah ‘satu’ dalam arti generiknya, karena ia pra-penghitungan. Dalam ontologinya, Badiou menggugat yang-satu, Ada (being atau Wujud) bukanlah ‘satu’. Dalam hal ini, jika mengarah ke suatu teologi, Tuhan bukanlah satu—karena satu adalah hasil operasi, dengan kata lain Tuhan bukan angka, bukan struktur, Tuhan tak bisa dihitung, Tuhan ya Tuhan, Dia Ada dan manusia (yang berfikir) hanya bisa menerka gejala Yang-Ada ini pada tanda-tanda (ayat) Semesta-Nya.
Pada aras ini, Badiou memberi sedikit tekanan yang mengarah pada pemikiran Deleuze ihwal ‘kejadian’ adalah suatu proses ‘menjadi’. Atau dengan lain kata, ‘kejadian’ adalah sebuah ‘penciptaan’ yang terus ‘menjadi’ dalam sebuah proses, karenanya ia bukan repetisi, tapi kebaruan. Dengan demikian, ‘kejadian’ adalah sebuah proses yang terus menerus antara Chaosmos dan Chaos, antara tatanan dan kekacauan, antara menjebol dan membangun—sebuah proses yang menciptakan kebaruan.
Syahdan—seperti layaknya kisah Mahabarata yang kadang penuh liku, absurditas, dan intrik—hidup adalah sebuah ‘kesadaran’ akan ketakteraturan, atau barangkali keterbatasan. Karena dalam sebuah tata aturan yang sangat rapi niscaya terdapat kerowak yang tak tersadari, itulah Chaos. Paling tidak tanda itu ada pada manusia yang selalu tak jelas, selalu retak, berubah tiap detak waktu yang berlalu. Bahkan, seorang Yudistira yang saleh sebagai gambaran manusia sempurna pun bisa dengan sekejap menggambarkan sisi ‘manusiawi’-nya dengan bertaruh judi. Barangkali, itu sebuah pelajaran bagi manusia untuk selalu mawas diri dalam hidup. Seperti dikatakan Jacques Derrida di mana kita tengah bermain diatas “papan catur tanpa dasar”—segalanya bermain, menari, bergerak dalam parade tanda, mencipta paradoks, merayakan yang beda.***


Komentar

  1. Harrah's Hotel & Casino - MapyRO
    Find your perfect 속초 출장안마 stop at Harrah's Hotel & Casino, located in 이천 출장샵 beautiful picturesque San 화성 출장샵 Diego. Explore an 군산 출장마사지 array of restaurants, a full-service spas and a 당진 출장마사지

    BalasHapus

Posting Komentar

Populer