Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Paradoxa Jawa

Saya, mungkin tak hanya saya, adalah anak yang tersesat, ling-lung, di atas tanah wiladahnya sendiri. Tuhan, dengan segala kuasa rahman dan rahim-Nya, menempatkan jasad dan jiwaku di tanah Jawa yang begitu agung tapi penuh absurditas ini. Tubuhku Jawa tulen. Dengan kulit sawo matang, hidung yang tak mancung pula tak pesek, rambut hitam yang agak bergelombang, bola mata coklat, dan paras yang tak terlalu tampan—biasa-biasa saja. Di tanah Jawa ini aku lahir dari golongan kelas menengah yang menggapai-gapai disposisi sosial seraya ingini melampauinya. Dari bumi nusantara yang subur ini aku meneguk nafas. Berkelindan dalam kehidupan rakyat yang sederhana. Mungkin dari latar belakang kelas menengah muslim setengah ‘abangan’ juga setengah ‘santri’ itu, aku dididik. Aku dibesarkan dengan kebudayaan Jawa yang tak seluruhnya bisa kuserap. Bahkan, seringkali aku tak mengacuhkannya. Entahlah, mungkin itulah yang aku rasa sekarang, terasing dari budayaku sendiri. Sebagai orang Jawa, tent...

Beauty is only a skin deep

“Ketika gaya menjadi segalanya dan segalanya menjadi gaya, maka perburuan penampilan dan citra akan menjebak dalam permainan konsumerisme…” Kecantikan adalah semacam cermin. Sebagaimana cermin, ia memantulkan suatu rona yang menampakkan diri yang juga bukan diri. Didalamnya, kita mengidentifikasi klausul setiap lekuk wajah dan tubuh kita dalam imaji-imaji, yang mana imaji itu kita dapatkan dari luar diri kita sebagai ‘manusia’ atau lebih tepatnya ‘wanita’. Setiap wanita diseluruh penjuru dunia, pastilah mengidamkan penanda (signifier) berupa cantik untuk kemudian dilekatkan pada identitas diri alias dalam petanda (signified). Namun kemudian apakah konsep cantik itu sendiri bisa kita ukur dalam kualifikasi universal, dengan kata lain dapat diterima setiap orang? Memang terlalu naïf kiranya jika kita memaksakan diri untuk membakukan konsep kecantikan itu dalam dimensi universalitasnya. Bukankah konsep-konsep yang kita dapati itu juga hasil rekaan sejarah, kekuasaan, da...

10 Tahun Lagi...

kalian bertanya: perihal masa depan yang lamat kuraba dalam waktu mungkin hitam jelaga seperti juga senja ini: kita bincang sepuluh tahun untuk masa depan yang penuh kejut itu? apa kau cita? apa kau harap? di sempit kamar dekat balkoni letup amplifier nada tergetar bedawai gelombang liris alunan musik mengiring celoteh kita ah, mungkin kita akan gapai... akhir pekan ini kita berjanji kembali ke kota ini bersua kenang semua... dan aku tak akan jadi apa-apa kecuali sebagai manusia seutuhnya…

Theater of the absurd

“He who has a why to live can bear almost any how.” –Friedrich Nietzsche   Mungkin inilah nasib, yang lamat menyeka hidup dengan begitu tertib, sesekali terselip-selip pada sesak pejal waktu yang terus bergulir. Hidup memang bukan jalan lempang—jalannya penuh liku, berkelok-kelok mungkin curam, kita tak tahu pasti.  Masa depan laksana malam yang berjelaga hitam. Warnanya lepas seraya halimun yang lamat sukar untuk di raba. Tak dapat kita tangkap sebuah kepastian daripadanya. Barang sejenak kita coba raba suatu kepastian, saat itu pula kita terikat pada titik batas, ruang antara. Bukan berarti pesimis menghadapi hidup yang penuh enigma ini. Tapi begitulah kenyataanya. Kadang kita sandarkan harap kita yang seolah pasti pada seseorang yang kita percaya, tapi apa? Yang-lain itu malah berpaling dari kita yang sandarkan semua. Mungkin Sartre ada benarnya: Orang lain itu neraka! Ah, iya seringkali, tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena toh kita tetap...