Saya, mungkin tak hanya saya, adalah anak yang tersesat, ling-lung, di atas tanah wiladahnya sendiri. Tuhan, dengan segala kuasa rahman dan rahim-Nya, menempatkan jasad dan jiwaku di tanah Jawa yang begitu agung tapi penuh absurditas ini. Tubuhku Jawa tulen. Dengan kulit sawo matang, hidung yang tak mancung pula tak pesek, rambut hitam yang agak bergelombang, bola mata coklat, dan paras yang tak terlalu tampan—biasa-biasa saja. Di tanah Jawa ini aku lahir dari golongan kelas menengah yang menggapai-gapai disposisi sosial seraya ingini melampauinya. Dari bumi nusantara yang subur ini aku meneguk nafas. Berkelindan dalam kehidupan rakyat yang sederhana. Mungkin dari latar belakang kelas menengah muslim setengah ‘abangan’ juga setengah ‘santri’ itu, aku dididik. Aku dibesarkan dengan kebudayaan Jawa yang tak seluruhnya bisa kuserap. Bahkan, seringkali aku tak mengacuhkannya. Entahlah, mungkin itulah yang aku rasa sekarang, terasing dari budayaku sendiri. Sebagai orang Jawa, tent...