Langsung ke konten utama

Theater of the absurd


“He who has a why to live can bear almost any how.” –Friedrich Nietzsche
 

Mungkin inilah nasib, yang lamat menyeka hidup dengan begitu tertib, sesekali terselip-selip pada sesak pejal waktu yang terus bergulir. Hidup memang bukan jalan lempang—jalannya penuh liku, berkelok-kelok mungkin curam, kita tak tahu pasti. 

Masa depan laksana malam yang berjelaga hitam. Warnanya lepas seraya halimun yang lamat sukar untuk di raba. Tak dapat kita tangkap sebuah kepastian daripadanya. Barang sejenak kita coba raba suatu kepastian, saat itu pula kita terikat pada titik batas, ruang antara.
Bukan berarti pesimis menghadapi hidup yang penuh enigma ini. Tapi begitulah kenyataanya. Kadang kita sandarkan harap kita yang seolah pasti pada seseorang yang kita percaya, tapi apa? Yang-lain itu malah berpaling dari kita yang sandarkan semua. Mungkin Sartre ada benarnya: Orang lain itu neraka! Ah, iya seringkali, tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena toh kita tetap butuh orang lain untuk jalani hidup dengan nafas gagau ini.
Orang lain, yang-lain, the other, liyan—semua yang ada di seberang kesadaran kita itu sesuatu yang paradoks, seperti juga ‘aku’ yang paradoks. Bebaskan saja diri kita pada sesuatu yang dapat dipercaya, bukan hal-hal eksternal—pada yang-lain yang kadang memuakkan itu. Ah! Mungkin hidup memang seperti ini. apa sih kita cari?
Kebahagiaan, kata orang…
Kebahagiaan, huh! Sungguh absurd… kita terkadang jadi manusia hipokrit yang tak paham hidup. Mana jalan, mana tujuan, mana sarana, bahkan kita rancukan.
“Bahagia itu menurutkan kata hati…” kata seorang teman. Mungkin itu benar, kata hati memang tak bisa berdusta, ia luhur dan jujur, tapi toh pada akhirnya kata hati itu hanya jadi sampah saat berhadapan dengan realitas, dengan dunia yang semakin riuh dengan kelindan nafsu. Mungkin Nietzsche, jika tahu kehidupan hari ini, akan bangkit dari kuburnya dengan parau seraya memekik: “Tuhan telah mati!”
Mungkin benar, Tuhan kita bunuh, kita tikam, kita nihilkan dalam hati kita, dalam ruang kosong dalam diri kita sendiri. Suwung iku sejatine isi… jarang ada orang yang paham kata-kata pujangga Jawa, Ranggawarsita, ini.
Kita, dalam dunia modern ini, makin meracau dalam kegalauan. Hidup tak lagi mengafirmasi yang azali. Entahlah… Entzauberung der welt, kata Max Weber. Dunia telah kehilangan pesonanya yang sejati, dan kita menggantinya dengan pesona yang sama sekali baru. Pesona yang pada zaman kuno ada pada kosmos telah tersekulerkan ke dunia, yang sublim pun nyaris mampat. Ukuran kebenaran adalah rasionalitas, logika. Sebuah jurang instrumentalisasi dunia. Dan, lihatlah dunia ini maju. Tapi kering makna. Banal….
Belakangan, pesona dunia itu kembali hidup. Namun bukan lagi hal-ihwal yang sublim. Hasrat manusia diguyahkan. Tanda-tanda diletupkan. Pesona itu, ada lagi. Dalam dunia ini, dengan nama lain: kuasa, tahta, wanita. Mungkin itu memang hal yang tak bakal punah selama manusia hidup, tapi pesona-pesona yang baru adalah hasrat manusia itu sendiri. Yang kini bertranformasi dalam manekin, etalase, fashion: ya CITRA! Nilai guna berubah jadi nilai tanda, bagitu kata Jean Baudrillard.
Nietzsche barangkali akan mencibir manusia-manusia itu sebagai penghamba kehendak kuasa, convoitese, mentalitas budak. Will to power yang bergerak keluar, membabat habis apapun yang kita hasratkan. Kita diperlalat sebuah skema social raksasa yang seolah bertubuh namun tanpa organ. Kita berada pada jurang keriuh-rendahan yang lupa pada sesama untuk hidup dalam ugahari. Hasrat itu otentik! Ia revolusioner, bukan melampiaskan nafsu untuk sekedar dilabeli keren, gaul, tak kuper, atau apalah itu!
Hasrat adalah sarana emansipasi, demikian kata Deleuze. Hasrat bukan hanya urusi tubuh dan perut. Hasrat adalah kehendak untuk berkuasa—mengusai diri sendiri untuk tak selalu melampiaskan impresi sesaat pada hal-hal yang bersifat sementara. Kehendak berkuasa adalah berkuasa terhadap diri bukan mengusai orang lain, atau malah di kuasai benda-benda yang derajatnya lebih rendah daripada manusia seperti uang yang bikin kita lakukan apa saja, bahkan rela jual harga diri.
Mungkin kita yang masih bisa berfikir secara sehat akan tahu apa sebenarnya jalan hidup ini, hati nurani kitalah yang bakal jadi hakim untuk menuju jalan kebahagiaan sejati itu.***

Komentar

Populer