Saya, mungkin tak hanya saya, adalah anak yang tersesat, ling-lung, di
atas tanah wiladahnya sendiri. Tuhan, dengan segala kuasa rahman dan rahim-Nya,
menempatkan jasad dan jiwaku di tanah Jawa yang begitu agung tapi penuh
absurditas ini. Tubuhku Jawa tulen. Dengan kulit sawo matang, hidung yang tak
mancung pula tak pesek, rambut hitam yang agak bergelombang, bola mata coklat,
dan paras yang tak terlalu tampan—biasa-biasa saja.
Di tanah Jawa ini aku lahir dari golongan kelas menengah yang
menggapai-gapai disposisi sosial seraya ingini melampauinya. Dari bumi
nusantara yang subur ini aku meneguk nafas. Berkelindan dalam kehidupan rakyat
yang sederhana. Mungkin dari latar belakang kelas menengah muslim setengah ‘abangan’
juga setengah ‘santri’ itu, aku dididik. Aku dibesarkan dengan kebudayaan
Jawa yang tak seluruhnya bisa kuserap. Bahkan, seringkali aku tak
mengacuhkannya. Entahlah, mungkin itulah yang aku rasa sekarang, terasing dari
budayaku sendiri.
Sebagai orang Jawa, tentu saja kita kenal dengan unggah-ungguh,
tata krama, kesopanan, etika, dan moralitas. Saya, dan juga kita orang Jawa, pastilah di didik
dengan pola kultur yang begitu pelik itu. Jawa memang sebuah paradoks. Terkadang
terlihat santun dan peramah, tapi menyimpan ketaksukaan dalam hati. Kemunafikan
seperti itu yang juga agaknya banyak terserap dalam ‘ketaksadaran’ psikis ku,
entahlah.
Tapi, tak seluruhnya. Budaya seperti itu terkadang juga tak terlampau
buruk—yang dalam derajat tertentu dapat membuat kita lila legawa dalam
menyikapi hidup yang tak seluruhnya berbahagia.
Mungkin karena memang aku dan seumurranku adalah anak zaman globalisasi.
Sehingga, tercipta sebuah ambiguitas dalam menyikapi kebaruan modernitas yang
dibawa oleh bangsa asing. Tak sekedar ambiguitas, lebih daripadanya adalah
hibriditas. Karena memang manusia kita sudah terlampau traumatic dengan kuasa
represi kolonialisme Belanda ditambah dengan kuasa Pribumi Jawa yang pragmatis
dan oportunis. Maka, terciptalah orang-orang semacam aku yang kehilangan jati diri.
Entahlah, ‘kesadaran’ kita sebagai manusia memang selalu tak tertera. Ia
penuh enigma. Bahkan, stuktur psikis yang disebut ‘kesadaran’ itu tak lebih
hanya bentukan kuasa sejarah yang berkelindan, berselang-sengkarut mengitari
jejak langkah kita sebagai manusia. Pada agama kesadaran itu sedikit terobati
dengan gelembung kekosongan yang terisi Cahaya Semesta. Tapi orang Jawa memang
absurd. Ia tak pernah patuh saat “di belakang” tapi menurut saat “di depan”. Begitulah.
Aku sendiri tak tahu, di zaman yang serba tak sempurna ini—sebuah zaman
demokrasi yang terus berproses untuk menjadi ini—kita, terutama saya, malah tak
tahu asal-usul diri. Identitas diri saya mencair dalam dunia yang penuh
lipatan, dalam keterleburan tanda-tanda cultural, dalam jaring-jaring
intertekstual. Identitas otentik saya yang disebut budaya itu lenyap sedikit
demi sedikit, meski ada sisa dalam “stuktur dalam” yang disebut ‘ketaksadaran’
itu.
Mungkin globalisasi. Kita adalah manusia “universal” kita adalah “multitude”
makhluk kosmopolit yang mencari yang universal itu. Ah! Bukankan yang universal
itu sama sekali tak pernah ada? Ia adalah hasil kontestasi kekuasaan yang kita
terima secara tak sadar, tapi seolah kita sadar?
Ya, seperti juga saat aku mencerap hirarki tanda yang di jejalkan
orang-orang diluarku saat aku bernajak dewasa. Biarlah kita memang anak
globalisasi itu. Kita kehilangan diri ke-Jawa-an kita, tak mengapa. Asal senang
saja, tak masalah. Mungkin itulah kiranya jawaban kita sebagai manusia Jawa
yang tak pernah mengenal apa itu “Jawa”.
Saya ingin mengenalnya. Tapi saya sudah jadi orang asing. Hanya sedikit
sisa yang bisa kupertahankan dalam diriku, budaya Jawa itu.
Budaya yang mana? Orang mulai lagi berteriak lestarikan budaya. Mungkin semacam
pengentalan setelah kian lama kian luruh dalam serbuan budaya asing yang lebih
waw. Lebih keren. Lebih oke. Lebih-lebih lah pokoknya!
Kita teriak untuk kebudayaan yang nyaris mati. Peninggalan leluhur yang
sarat dengan nilai tak terpermanai itu, digali lagi. Entah sampai mana. Kita malah
sibuk dengan pembangunan material yang tak bertepi dengan juntai hasrat. Yang spiritual,
yang sublime, yang bergerak dalam “ketaksadaran” itu tak pernah kita urusi. Ya!
Yang dibangun hanyalah “struktur formal” yang kaku. Tak pernah merasuk dalam jiwa.
Tak pernah terkristal dalam laku. “budaya” itu sekedar jadi barang material birokratis
yang lebih pentingkan “statistik” dan “admistrasi”.
Mungkin kita lupa bahwa Wayang itu sudah tak lagi dikenal dalam kaula
muda. Apalagi bicara filsfatnya. Tak tahu menahu. Tak penting. Lebih penting
tonton film Hollywood di XXI yang sarat dengan bangkai hegemoni itu, atau film
Korea yang lebih sipit ganteng dan cantik putih memutih itu, daripada etnis
Jawa yang coklat sawo matang.
Seorang Ben Anderson yang kulitnya berpualam dengan totol-totol Kaukasian
itu malahan lebih paham daripada saya yangorang Jawa perkara wayang. Sungguh saya
malu. Budayaku menelantarkan aku sudah sejauh ini. dan justru aku kini temukan
kembali budaya ku pada orang asing, yang sangat asing. Aku bahkan hanya bisa
membaca bukunya: mythology and tolerance of the Javanese. Orang Itulah
yang membuka keterasingan ku yang panjang. Ketrsesatanku dalam dunia lain yang
bukan bagian dari tanahku sendiri.
Mungkin itulah Paradoxa Jawa, anak-anak seumuranku yang tak lagi kenal
budaya. Seperti juga sore tadi: seorang anak kecil dengan tanpa dosa memekik “kowe”
kepada entah nenek atau ibunya seraya menunjuk-nunjuk muka perempuan renta itu.
Mungkin itu anak Jawa sekarang. Kita hanya bagian yang terasing. Kita terombang-ambing
dalam kultur yang deras mengalir dengan jutaan penanda-penanda cultural yang
tak jelas referensinya. “wong Jawa ilang Jawane” tampaknya tak terlalu
berlebihan tersemat dalam diskursivitas zaman yang penuh ketakpastian ini.
Seperti juga kata kata Ben Anderson bahwa wayang tak hanya membentuk
moralitas anak-anak Jawa, tapi juga kesadaran estetisnya. Mungkin itu sebabnya
para leluhur kita tahu, seperti juga para leluhur kita yang berada di Yunani,
di mana tak ada batas yang jelas antara yang “baik” (moral) dan “indah”
(estetika). Kata yang sama (sae) digunakan untuk keduanya. Keduanya merupakan
hal “yang-sesuai” dan “yang-selaras,” mungkin itu “kedalaman”—sebuah ketaksadaran—yang
sering kita abaikan.
Syahdan, yang baik itu indah begitu pula yang indah adalah baik. Dengan kata
lain, pengembangan segi estetis dan moralis dari seorang anak adalah kunci
pendidikan cultural Jawa. Tapi apa lacur? Semua itu sudah terlupa. Mungkin itu
pula sebab mengapa akhir-akhir ini kita sering kalap dalam dekadensi moral. Itu
pula sebab kita terlalu lama lupa akan budaya. Begitulah sebuah bangsa tanpa
budaya, sebuah bangsa yang menyiapkan liang lahat bau anyir darah oleh dirinya
sendiri.***
Komentar
Posting Komentar