Langsung ke konten utama

Beauty is only a skin deep



“Ketika gaya menjadi segalanya dan segalanya menjadi gaya, maka perburuan penampilan dan citra akan menjebak dalam permainan konsumerisme…”



Kecantikan adalah semacam cermin. Sebagaimana cermin, ia memantulkan suatu rona yang menampakkan diri yang juga bukan diri. Didalamnya, kita mengidentifikasi klausul setiap lekuk wajah dan tubuh kita dalam imaji-imaji, yang mana imaji itu kita dapatkan dari luar diri kita sebagai ‘manusia’ atau lebih tepatnya ‘wanita’.
Setiap wanita diseluruh penjuru dunia, pastilah mengidamkan penanda (signifier) berupa cantik untuk kemudian dilekatkan pada identitas diri alias dalam petanda (signified). Namun kemudian apakah konsep cantik itu sendiri bisa kita ukur dalam kualifikasi universal, dengan kata lain dapat diterima setiap orang?
Memang terlalu naïf kiranya jika kita memaksakan diri untuk membakukan konsep kecantikan itu dalam dimensi universalitasnya. Bukankah konsep-konsep yang kita dapati itu juga hasil rekaan sejarah, kekuasaan, dan budaya? Tak jarang konsep cantik yang disepakati secara umum yang sebenarnya imajinasi semu itu memaksa setiap wanita untuk tampil serba seragam. Mulai warna kulit, lekuk tubuh, rambut, fashion, hingga kosmetik. Semua itu dikonstruksikan dalam kesadaran wanita agar wanita dengan sumringah mengikutinya sebagai ajang pamer diri dan pencitraan sebagai yang paling sempurna.
Kita tahu, hari ini, konsepsi umum tentang cantik itu sudah dikuasai oleh repetisi iklan dan media. Melalui bintang-bintang popular, tiap detik wajah-wajah mereka merepetisi diri di balik layar kaca. Kita digedor iklan yang tanpa jeda. Imaji tentang cantik harus begini—harus begitu, kemudian dijajakan dengan sempurna. Dengan daya magisnya, makna cantik itu berhasil mengonstruksi kesadaran wanita untuk terjerat dalam rayuannya. “cantik itu harus putih, sexy, modis, gaul, langsing, rambut lurus, kulit mulus…” dan seterusnya hingga berderet tiada ujung, semua kesemuan itu memenuhi imaji wanita untuk diterimanya sebagai keharusan, yang mana jika doktrin itu tak diikuti akan dicap “kuper”, “alay”, dan mungkin “tak keren” atau “tak cantik.”
Etalase-etalase mal seakan menjepit imaji yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau manekin-manekin yang terus merayu dan menarik daya kita untuk masuk dalam dunia imajinernya. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi tapi rasanya hambar. Dan di atas semua itu: logo, merk, dan markah-lah yang jadi neraca, dengan desain yang tak ingin terabaikan. Ujung-ujungnya makna semantik cantik itu digiring kedalam lokus budaya konsumsi. Tentu yang diuntungkan dari semua itu tak lain adalah para pemilik modal. Hebatnya hasrat kita pun semakin terpacu untuk mengikuti daya magisnya yang membuai. Barangkali kemudian muncul ketakutan untuk dianggap tak sesuai dengan keumuman sehingga tak dilirik mata-mata kaum adam, alias tak laku (emangnya kue doger?).
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam—gejala yang terkenal dalam sebutan Max Weber sebagai Entzauberung der Welt (hilangnya pesona dunia). Tapi sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia.
Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”
Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan.
Demikianlah kita selalu dilingkupi dengan jutaan imaji yang sebenarnya memaksa kita untuk mengikuti hasil rekayasa imajiner para produser liang korporasi itu. Kita dikondisikan untuk tunduk dalam kuasa represif simbol-simbol yang tak lebih sebagai permainan kedangkalan, tapi anehnya kita mengikutinya dengan suka rela, bahkan senang hati. Ada homogenisasi—penyeragaman—dalam konstruksi makna identitas cantik yang sejatinya menipu. Bahkan tak jarang kita memaksakan diri hingga menyiksa tubuh agar sesuai dengan konstruksi umum yang semu itu.
Barangkali klaim provokatif post-srukturalis tentang “the death of the subject” itu tak terlalu berlebihan. Musabab kita sebagai manusia yang secara subyektif mampu memaknai realitas yang ada didepan mata kita itu secara rasional, justru kemudian kita takluk pada horizon kekuasaan yang diobjektifkan alias diumumkan dalam hegemoni satu penafsiran, yang pada tingkat tertentu justru tak rasional. Kita tak bisa berbuat apa-apa dengan daya rasio kita, sekedar ikut-ikutan dan tunduk dalam ketakziman yang terasing (alienasi) atas ukuran tunggal “keren.”
Marx pernah bicara tentang fethisisme-komoditas atau dalam bahasa sederhananya yaitu pemberhalaan terhadap sebuah benda atau konsep tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis. Inilah sejatinya ihwal komodifikasi makna cantik yang direduksi pada citraan luar semata. Kita takluk pada barang-barang atau konsep-konsep yang diseragamkan, seolah ada semacam daya magis tertentu yang bersemayam didalamnya. Pangkalnya kita menerima konsepsi itu dengan segala macam jargonnya sebagai kebenaran umum—yang didalamnya disertai imaji tentang konsep dan benda-benda rekaan itu sebagai penentu ihwal kecantikan, mungkin pula kesempurnaan.
Cantik memang tampaknya selalu identik dengan keindahan—atau barangkali kesucian. Yang bagi kaum adam cantik itu dapat membuai kesadaran untuk sejenak menikmati keindahan wanita yang tak kekal itu. Tapi itu sekedar citra luaran yang tersaji dalam konstruksi simbolis yang bermain dibawah permukaan. Bukankah sejatinya cantik itu subyektif, dengan kata lain tergantung darimana seorang lelaki memandang dari perspektif apa?
Tentu yang lebih substansial adalah kecantikan dari dalam (inner beauty). Kecantikan inilah yang otentik dan tak dapat dipalsukan sebagaimana kecantikan luar yang banal dan selalu jadi ajang kontestasi simbolis dan medan perebutan makna. Wanita yang cantik barangkali adalah wanita yang secara akhlak, hati, dan jiwanya selembut buih. Wanita yang mampu menjaga dirinya dari jerat kama dan kesucian martabatnya.
Syahdan, Cantik itu tak dapat kita jelaskan dalam kategori universal—hanya dapat kita rasakan—karena penjelasan dan konsep-konsep akan mereduksi makna cantik hanya sekedar pada citraan semata, kedangkalan tiada makna.
Cantik itu apa adanya, tanpa harus memaksa diri untuk menjadi orang lain yang kita jadikan petanda (signified)—yang kita jadikan cermin—yang kemudian kita kopi konsepsi cantik itu pada diri kita sebagai penanda (signifier). Dan cermin yang asli itu sejatinya adalah diri kita sendiri. Petanda (signified) yang otentik adalah kita sendiri, bukan orang lain.

Akhirnya? –jadilah diri sendiri…

Komentar

Populer