Baru-baru ini telah
dirilis semacam versi baru dari Man of Steel yang lebih populer dengan
sebutan Superman itu. Syahdan, awalnya saya tak tahu menahu apa itu Man
of Steel—karena saya sendiri tak terlalu tertarik dengan cerita klise
superhero racikan Amerika. Pas tayang perdana di XXI Jogja, kebetulan bos
tempat kerja saya ngajak nonton, tanpa basa-basi jelasnya kami iya-kan. Mana mungkin gratisan ditolak,
meski tak terlampau suka, tapi tak apa, wong tak perlu ngerogoh kocek kok
(hehehe)
Tentu kita semua tahu
siapa Superman itu. Dengan wajah yang
sedikit kaku kita akan bayangkan : sesosok manusia yang berbadan kekar
laksana Bima dalam jagad pakeliran, tak punya sayap tapi bisa terbang
kemana-mana seperti Gatot Kaca (tapi Gatot Kaca punya sayap gan!), suka menolong siapa
saja yang tertimpa petaka, pakaiannya biru dipadu dengan merah di beberapa bagian
yang agak
vital—untuk yang satu ini celana dalam merah yang dipakai di luar itu kini
sudah tak dipakai lagi, alias udah dipake di dalam (hehehee).
***
Ketika
nonton di depan layar bioskop itu, kita akan terkesima seraya takjub tak
habis-habis dengan efek visual yang digarap oleh para animator. Sungguh
mutakhir. Nyaris tak bisa lagi bedakan mana yang nyata dan mana yang animasi,
semua seolah nyata. Gejala yang disebut Simulacrum oleh Baudrillard ini
mampu membius diri kita untuk sesekali masuk ke dalam dunia Hiper-real
dalam layar bioskop itu. Yang nyata dan yang animasi lebur dalam parade
pananda-penanda (signifiers) yang bergerak berjalin kelindan tanpa
referen, atau dengan kata lain tanpa petanda (signified) yang bersifat
tetap dan daulat (ciee post-strukturalis buangetttt).
Tapi
saya tak akan masuk ke dalam dunia hiperreal itu teramat jauh. Apalagi
saya kaitkan dengan ideology amerikanisasi yang berujung terori konspirasi yang
acapkali klise. Atau masuk dalam bedah (dekonstruksi) ideology kekuasaan yang
tersisip untuk mengakui supremasi Amerika dengan hegemony kuasanya—yang tentu
akan berujung pada Francis Fukuyama dengan the end of history-nya itu.
Tidak. Yang menarik perhatian saya
justru, meski agak nyangkut dengan fukuyama, adalah cara film itu membungkus
wacana demokrasi dan eksistensialisme.
Ceritanya
sebetulnya agak klise, karena toh ujungnya sudah terlihat: Happy ending,
kematian jenderal Zod dan bumi selamat dari mala ‘fasisme-militerisme’ Zodian
itu. Plot yang dibuat maju mundur agaknya membuat rasa klise tadi agak
berkurang, terutama sosok Superman kecil (Clark Kent) yang ditampilkan
sebagai manusia soliter yang terasing dari dunia eksistensialnya.
Kita
tahu Kal-El (superman) adalah manusia alien yang datang dari planet Krypton nun
jauh di luar angkasa seberang bimasakti. Planet Krypton dikisahkan sebagai
planet yang subur, makmur, berperadaban, dan berteknologi tinggi. Akan tetapi,
system social di planet itu teramat feodalistik dan deterministik. Terjadi
sebuah partisi social yang sudah di gariskan sejak awal. Dunia hanya
hitam-putih. Manusia di planet itu hidup dalam sebuah moralitas ‘takdir’ yang
sudah dikonstitusikan sejak sedari bayi. Tak ada pilihan. Tak ada
potensialitas. Yang ada adalah hidup yang lurus mengikuti garis yang sudah
ditetapkan sejak mula. Jacques Ranciere,
seorang filsuf Perancis kontemporer, akan menyebut system ini sebagai
Archi-politik. Dengan kata lain, yang-Politik tergerus dan lenyap karena
kesetaraan (egalitarian) sudah dibabat habis sejak awal. Tak ada asertasi
terhadap kesetaraan. Manusia sudah diposisikan dalam sebuah skema besar social
dan tak bisa mengubah nasibnya. Tentu, kita akan ingat dengan ajaran filsafat
politik Platon yang membuat konsepsi politik yang tertata dalam sebuah
posisi-posisi hirarkhis.
Syahdan,
muncullah sebuah gagasan subrversif melalui Jor-El, ayah superman, untuk
merubah cara-cara tak adil yang diterapkan dalam system social di planet
Krypton. Kebetulan anaknya baru saja lahir, tentu dalam sebuah kondisi normal,
anaknya akan mewarisi darah kesatria yang hanya berisi logika “bela Negara”—right
or wrong this is my country. Kebetulan juga Jor-El tahu bahwa Krypton akan
hancur, karenanya ia mengusulkan perubahan system dengan cara diplomasi. Nahas,
rencananya diinterupsi Jenderal Zod yang juga tak lebih fasis. Ia bidik sang
ratu, lalu coba selamatkan ras dan bangsanya dari kehancuran dan kepunahan
lewat kudeta militerisme. Tapi dengan pikirannya yang humanis itu, Jor-El yang
juga sejawat sang fasis jenderal Zod, segera meluncurkan anaknya untuk menuju
bumi yang berperadaban humanis dan bermoral—kemudian merubah nasib bangsa
kryptonian menjadi lebih “bebas”, tanpa partisi, tanpa determinasi.
Begitulah
kiranya filsafat kesetaraan itu bekerja di film Man of Steel, setidaknya
film ini adalah sebuah dekonstruksi terhadap konsepsi filsafat politik dan
social yang deterministik. Sebuah kecenderungan yang menempatkan individu
adalah sebuah entitas yang selalu saja penuh dengan misteri, potensi, dan
kebebasan untuk memilih dunianya sendiri. Konsep Platonian diganyang habis
disini. Yang terlihat justru semacam eksistensialisme. Namun, bukan
eksistensialisme Sartrean yang cenderung ekslusif itu. Mungkin lebih dekat
dengan sebuah pencarian jati diri ihwal “siapa aku”—Gnothi sea-uthon.
Sebuah pertanyaan mendasar yang seringkali luput untuk kita pertanyakan dan tak
mudah untuk memberi jawabnya.
Barangkali
memang superman adalah sebuah representasi mengenai zaman ini. Sebuah zaman yang menyadari ketaksempurnaan
nasib, seperti kata Goenawan Mohamad, adalah zaman yang menempatkan “aku”
(Subyek) pada titik pembatasan. Superman adalah “aku” yang terlempar kedalam
dunia—semacam faktisitas seperti diterakan Martin Heidegger. Ya, “aku”
terlempar ke dalam dunia eksistensial yang sudah begini adanya, diantara
manusia-manusia massa (das men), “aku” sebagai dasein akankah
menjadi manusia sebagamana manusia kebanyakan atau yang merubah cara pandang
dunia dengan caraku sendiri?
Syahdan,
sebagai manusia yang menyejarah, “aku”—sebagaimana Superman—akan temukan jati
diriku seutuhnya dalam pergulatan, dalam sebuah proses untuk menjadi, bukan
menjadi superhero dengan kekuatan tak tepermanai macam Superman, tapi jadi
diriku sendiri dengan harapan—seperti symbol “S” yang dalam bahasa Krypton
berarti harapan.***
Komentar
Posting Komentar