Langsung ke konten utama

Paradoks... Lagi... Paradoks!!!

Barangkali kita sedang merayakan paradoksikalitas. Seperti menderu dan mencekam dalam keterasingan akan kesadaran yang terombang-ambing dalam realitas. Seolah waktu mengalir menelusupkan angka-angkanya dalam tiap jengkal tubuh kita. Hingga kita merasa tubuh kita semakin termakan oleh zaman. Yah! Di sebuah zaman yang barangkali nyaris tanpa ironi. Atau barangkali saking banyaknya ironi yang bertebaran di segala sudut ruang dunia maya yang makin menggerus dunia hidup kita hari ini???
Dunia semakin menjadi palsu. Kita semakin dikangkangi oleh rezim layar gadget. Mencengangkan sekaligus memilukan. Begitulah, ketika semua hal yang tampak serta merta kita ukur dari gambar, sebuah representasi yang penuh tipuan, bahkan mengandung parody dalam dirinya sendiri. Yang nyata adalah yang tak nyata. Yang imajiner telah melebur menjadi realitas. Apakah kita sedang bergerak menuju kemajuan peradaban? Atau sebaliknya, kita sedang dikangkangi oleh hasil rekaan manusia sendiri? Sebuah ekses yang tak dapat kita mengerti sepenuhnya?
Tampaknya dunia memang semakin kabur. Kita bahkan semakin tak perlu bersusah payah untuk melakukan segala sesuatu. Ruang telah melebur dan dimampatkan dalam waktu. Segala hal telah berkompromi dengan kecepatan. Tapi bukankah dari segala kecepatan yang menguasai hidup kita ini, tanpa sadar kita sedang berada dalam titik yang paling lambat?
 Agaknya George Orwell punya andil sejarah yang cukup signifikan di zaman kita. Kita tahu Orwell dalam novelnya, 1984, menggambarkan sebuah dunia yang mati. Sebuah dunia represif yang meniadakan ruang privat dan public. Semuanya hancur. Berantakan oleh kuasa hegemonik rezim totalitarianism yang menguasai segala hal dalam kehidupan. Tapi bukankan semua itu sudah usang?
Bisa jadi, ini cerita usang. Sebab zaman ini adalah zaman dimana totalitarianisme politik telah bangkrut dan digantikan oleh kapitalisme dan demokrasi sebagai anti-thesis atas despotisme komunis dan fasisme. Tapi semua tidak lantas berubah. Kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan jargon-jargon yang berbau demokrasi bukanlah tanpa ekses, tanpa paradox. Saya bayangkan, jika dulu kuasa Negara sangat kuat. Kini kuasa itu telah bertransformasi. Manusia memang bisa bebas sekarang, ruang privat dan public pun seakan pulih oleh kuasa terbatas oleh Negara dengan demokrasinya. Tapi bukankah sejarah selalu akan berulang? Hanya saja motif dari totalitarianism itu telah berganti. Manusia semakin terseok-seok kedalam lubang alienasi. Kekuasaan yang dulu hadir dalam kekuatan politik, kini hadir dalam wujudnya yang semain cair.
Kekuasaan ada dimana-mana… kini raksasa yang dalam dunia rekaan Orwell itu adalah sosok Big Brother (bung besar) yang imajiner itu, yang—memijam bahasa Karl Marx—fethis itu, telah berubah wujud menjadi  sosok-sosok misterius yang menyilaukan kesadaran kita terus mengonsumsi. Begitulah, kita semakin dikuasai hasrat, kita dikuasai totalitarianisme untuk memiliki. Syahdan, ruang privat itu barangkali memang tak pernah ada! Ruang privat hanya milik mereka yang punya pikiran merdeka, sebuah hasrat yang barangkali untuk menjadi tak waras karena ia berbeda dari kebayakan manusia.
Paradoks! Yah begitulah zaman ini! Kita berada di ruang-antara yang membingungkan. Disebuah wajah pucat peradaban yang mengagungkan kebebasan hingga kebebasan adalah kepengecutan. Dunia maya yang penuh dengan sampah, dengan manusia pengecut yang menebarkan bau busuk mulutnya. Kenyataan telah hilang, hanya opini-opni buta yang bersliweran dengan enteng tanpa ada rujukan yang jelas. Inilah dunia totaliter itu, kita berada dalam totalitarianisme… maka, tertawalah, tertawalah dengan sinis, bahwa memang kita harus tetap mempertahankan diri untuk hiidup, beranak pinak, mencari seteguk harapan dalam kegilaan… ya, karena kita adalah Winston Smith yang harus patuh oleh arus besar sejarah, Bung Besar itu. Kita adalah subyek yang terbelah, kita adalah paradox, kita adalah individu yang berdiri diantara kewarasan dan kegilaan!!! Haaa!!!

Komentar

Populer