Barangkali kita sedang merayakan paradoksikalitas. Seperti menderu dan
mencekam dalam keterasingan akan kesadaran yang terombang-ambing dalam realitas.
Seolah waktu mengalir menelusupkan angka-angkanya dalam tiap jengkal tubuh
kita. Hingga kita merasa tubuh kita semakin termakan oleh zaman. Yah! Di sebuah zaman
yang barangkali nyaris tanpa ironi. Atau barangkali saking banyaknya ironi yang
bertebaran di segala sudut ruang dunia maya yang makin menggerus dunia hidup
kita hari ini???
Dunia semakin menjadi palsu. Kita semakin dikangkangi oleh rezim layar
gadget. Mencengangkan sekaligus memilukan. Begitulah, ketika semua hal yang
tampak serta merta kita ukur dari gambar, sebuah representasi yang penuh tipuan,
bahkan mengandung parody dalam dirinya sendiri. Yang nyata adalah yang tak
nyata. Yang imajiner telah melebur menjadi realitas. Apakah kita sedang
bergerak menuju kemajuan peradaban? Atau sebaliknya, kita sedang dikangkangi
oleh hasil rekaan manusia sendiri? Sebuah ekses yang tak dapat kita mengerti
sepenuhnya?
Tampaknya dunia memang semakin kabur. Kita bahkan semakin tak perlu
bersusah payah untuk melakukan segala sesuatu. Ruang telah melebur dan
dimampatkan dalam waktu. Segala hal telah berkompromi dengan kecepatan. Tapi
bukankah dari segala kecepatan yang menguasai hidup kita ini, tanpa sadar kita
sedang berada dalam titik yang paling lambat?
Agaknya George Orwell punya andil
sejarah yang cukup signifikan di zaman kita. Kita tahu Orwell dalam novelnya,
1984, menggambarkan sebuah dunia yang mati. Sebuah dunia represif yang
meniadakan ruang privat dan public. Semuanya hancur. Berantakan oleh kuasa hegemonik
rezim totalitarianism yang menguasai segala hal dalam kehidupan. Tapi bukankan
semua itu sudah usang?
Bisa jadi, ini cerita usang. Sebab zaman ini adalah zaman dimana totalitarianisme
politik telah bangkrut dan digantikan oleh kapitalisme dan demokrasi sebagai anti-thesis
atas despotisme komunis dan fasisme. Tapi semua tidak lantas berubah.
Kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan jargon-jargon yang berbau demokrasi
bukanlah tanpa ekses, tanpa paradox. Saya bayangkan, jika dulu kuasa Negara sangat
kuat. Kini kuasa itu telah bertransformasi. Manusia memang bisa bebas sekarang,
ruang privat dan public pun seakan pulih oleh kuasa terbatas oleh Negara dengan
demokrasinya. Tapi bukankah sejarah selalu akan berulang? Hanya saja motif dari
totalitarianism itu telah berganti. Manusia semakin terseok-seok kedalam lubang
alienasi. Kekuasaan yang dulu hadir dalam kekuatan politik, kini hadir dalam
wujudnya yang semain cair.
Kekuasaan ada dimana-mana… kini raksasa yang dalam dunia rekaan Orwell
itu adalah sosok Big Brother (bung besar) yang imajiner itu, yang—memijam bahasa
Karl Marx—fethis itu, telah berubah wujud menjadi sosok-sosok misterius yang menyilaukan
kesadaran kita terus mengonsumsi. Begitulah, kita semakin dikuasai hasrat, kita
dikuasai totalitarianisme untuk memiliki. Syahdan, ruang privat itu barangkali
memang tak pernah ada! Ruang privat hanya milik mereka yang punya pikiran merdeka,
sebuah hasrat yang barangkali untuk menjadi tak waras karena ia berbeda dari
kebayakan manusia.
Paradoks! Yah begitulah zaman ini! Kita berada di ruang-antara yang
membingungkan. Disebuah wajah pucat peradaban yang mengagungkan kebebasan
hingga kebebasan adalah kepengecutan. Dunia maya yang penuh dengan sampah,
dengan manusia pengecut yang menebarkan bau busuk mulutnya. Kenyataan telah
hilang, hanya opini-opni buta yang bersliweran dengan enteng tanpa ada rujukan
yang jelas. Inilah dunia totaliter itu, kita berada dalam totalitarianisme…
maka, tertawalah, tertawalah dengan sinis, bahwa memang kita harus tetap
mempertahankan diri untuk hiidup, beranak pinak, mencari seteguk harapan dalam
kegilaan… ya, karena kita adalah Winston Smith yang harus patuh oleh arus besar
sejarah, Bung Besar itu. Kita adalah subyek yang terbelah, kita adalah paradox,
kita adalah individu yang berdiri diantara kewarasan dan kegilaan!!! Haaa!!!
Komentar
Posting Komentar