Langsung ke konten utama

Madame Bovary


 
 
“Manusia di kutuk menjadi bebas… tapi dengan kebebasannya ia bertanggung-jawab atas segala yang dilakukannya…”
Sudah jamak kita dengar kutipan ini, tentu saja, bagi kita yang pernah membaca Sartre—seorang filsuf eksisensialisme yang menempatkan eksistensi manusia sebagai  pokok terdasar kehidupan, istilah kerennya sih ontology. Nah loh, apa hubungannya dengan Madame Bovary? Novel maha karya Gustave Flaubert yang kini telah menjadi karya klasik ini?  Ada sedikit hubungan, saya kira, selepas membaca novel Flaubert ini. Namun, saya tak akan membahas keterkaitan eksisensialisme sartrean dengan novel Flaubert secara ketat di sini. Ya, sekedar melihat secara harfiah apa saja yang baru tertangkap selepas merampungkan novel ini.
Madame Bovary becerita tentang keluarga Bovary dan segenap lika-liku kehidupan yang menyertainya. Kisah ini bermula dari Monsieur Bovary tua yang menikah dengan perempuan desa yang cukup kaya. Dalam perkawinan ini, monsieur bovary mempunyai anak yang diberi nama Charles Bovary. Saat mulai beranjak dewasa, Charles Bovary, yang dicitrakan sebagai manusia dengan sedikit ambisi dan bakat, disekolahkan orang tuanya di jurusan kedokteran. Dengan tertatih-tatih Charles Bovary akhirnya lulus dari masa pendidikannya yang agak tertunda karena kemampuannya yang biasa-biasa saja—nyaris tak ada yang istimewa darinya.
Charles Bovary—lagi-lagi dengan pertimbangan pragmatis sebagaimana sang ayah--menikah dengan seorang janda yang dikenal kaya meskipun buruk rupa dan temperamental. Pernikahannya benar-benar hampa, tak bahagia. Hingga pada suatu ketika, Charles Bovary—yang bekerja sebagai dokter desa—diundang seorang pasien bernama Monsieur Rouault yang mengalami patah kaki. Monsieur Rouault, seorang petani tua, telah lama hidup hanya bersama anak perempuannya yang cantik jelita bernama Emma. Istrinya telah lama meninggal dunia. Dalam pertemuan aneh itulah Charles Bovary akhirnya merasa menemukan cintanya ada pada diri Emma.  Singkat cerita, Charles Bovary dengan ajaib dapat menyembuhkan patah kaki sang petani tua itu. Tak lama kemudian, istrinya—seorang janda tua itu, Heloise—mati setelah seminggu sebelummnya dipergoki oleh besannya bahwa janda tua ini berbohong atas kekayaannya.
Selepas kematian istri pertamanya, Charles Bovary akhirnya menikah dengan Mademoiselle Emma, gadis udik nan cantik jelita anak petani tua miskin. Tanpa disangkanya, kecantikan Emma Bovary (Madame Bovary) inilah bakal jadi mala keluarga Bovary. Emma tak pernah merasakan kebahagiaan yang menentramkan hatinya tatkala berumah-tangga dengan Charles. Hati emma selalu dipenuhi dengan angan-angan duniawi yang menyilaukan—kegemerlapan pesta, ketampanan pria, dan segala kemewahan dan tetek-bengeknya yang telah membuatnya haus akan hasrat yang tak bisa ia dapati dari suaminya, yang baginya tak lebih dari lelaki tanpa ambisi, gendut, jelek, dan tak pernah dicintainya. Berselingkuhlah ia dengan Radholpe dan kemudian Leon. Mereka adalah pemuda tampan yang kemudian mencampakkan Emma, yang akhirnya makin menjebak dirinya sendiri dalam labirin kehampaan hidup yang tanpa cinta. Ya! Cinta hanyalah pijar-pijar nafsu dari rupa, segala yang fisik, segala yang terlihat indah dalam pandang mata, begitulah kira-kira. Ending ceritanya Sungguh tragis, Emma Bunuh diri karena terlilit hutang akibat ketamakan dan keluguannya, dibodohi oleh seorang pedagang yang hanya mencari untung—Lheureux. Ia mati meniggalkan Charles dan buah pernikahan mereka, gadis kecil Berthe, yang akhirnya jadi korban atas semua ulah binal sang ibu. Demikianlah cerita ini berakhir. Melankolis! Tragis!
“Dan semua ini karena takdir…” demikian pekik sang narrator dengan ironik. Bagi saya, jika di-film-kan, cerita seperti ini tak lebih dari cerita-cerita sinetron yang melankolis, melodramatic, dan kadang romantik.  Ah, tapi tentu saja Flaubert adalah sastrawan yang tak bias kita remehkan begitu saja—layaknya sebuah sinetron, yang bagi saya tak lebih dari sampah…hehe… keistimewaan Flaubert adalah kecerdikannya meramu sebuah cerita yang sederhana, tentang kehidupan sehari-hari, menjadi sebuah cerita yang secara literasi menawan. Paduan gaya realisme dan romantisme, yang digandrungi di zamannya, menjadikan novel ini sebuah karya klasik yang masih bertahan hingga hari ini.
Lantas, sebagaimana sudah saya singgung di awal, apa kaitannya dengan kata-kata yang saya kutip dari Sartre?  Nah, sebagaimana tercermin dalam kehidupan Emma Bovary, ia hanyalah manusia yang berada dalam lingkup nasibnya sebagai manusia yang bebas. Ia bebas menentukan pilihannya—yang tentu saja terkadang dirinya, sang subyek, selalu terkungkung oleh tatanan social yang melingkupi hidupnya. Barangkali, itulah yang memercik ketidakpuasan, mengundang hasrat terpendam untuk dilampiaskan dengan harapan seteguk bahagia segera diperolehnya, tapi takdir berkata lain, Emma akhirnya terjerembab dalam jurang nasib yang ia buat sendiri.  Demikianlah nasib yang ia pilih, takdir yang musti tertanggung. Ya begitulah hidup, manusia memilih nasibnya yang seringkali pejal, berliku, dan tak mudah diterka akhirnya. Dari sengkarut nasib itulah muncul takdir yang tak lagi bisa dilawan sang fana, manusia…
Ahaa… saya jadi ingat judul Novel Eka Kurniawan: “Cantik itu Luka”, barangkali, judul novel Eka ini dapat merepresentasikan Emma Bovary. Kecantikan yang jadi mala… Tragis!

   

Komentar

Populer