Langsung ke konten utama

Postingan

Di Sekitar Man of Steel

Baru-baru ini telah dirilis semacam versi baru dari Man of Steel yang lebih populer dengan sebutan Super m an itu. Syahdan, awalnya saya tak tahu menahu apa itu Man of Steel —karena saya sendiri tak terlalu tertarik dengan cerita klise superhero racikan Amerika. Pas tayang perdana di XXI Jogja, kebetulan bos tempat kerja saya ngajak nonton, tanpa basa-basi jelasnya kami iya-kan. Mana mu n gkin gratisan ditolak, meski tak terlampau suka, tapi tak apa, wong tak perlu ngerogoh kocek kok (hehehe ) Tentu kita semua tahu siapa Super m an itu. Dengan wajah yang sedikit kaku kita akan bayangkan : sesosok manusia yang berbadan kekar laksana Bima dalam jagad pakeliran, tak punya sayap tapi bisa terbang kemana-mana seperti Gatot Kaca (tapi Gatot Kaca punya sayap gan ! ), suka menolong siapa saja yang tertimpa petaka, pakaiannya biru dipadu dengan merah di beberapa bagian yang agak vital—untuk yang satu ini celana dalam merah yang dipakai di luar itu kini sudah tak dipakai lagi, al...

Fathanah

Fathanah, barangkali, adalah sebuah tanda zaman. Kita tak tahu pasti, kenapa orang berlatar belakang ‘islamis’ seperti dirinya membuat ulah di luar akal sehat kita. Seorang politisi yang juga penguasaha, begitulah dirinya. Ia adalah sebuah gambaran sistem sosial kemasyarakatan kita yang kian banal. Adalah ‘demokrasi’ yang kian ‘liberal’ di mana yang-politik telah dikangkangi oleh kepentingan untung-rugi, dengan kata lain sebuah pasar—membuat ‘uang rakyat’ bersih, ludes diembat orang macam Fathanah. Perawakannya terlihat elegant layaknya pengusaha (atau malah mafia ?hehe). Dengan raut muka yang terlihat wibawa, orang tak akan menyangka jika ia ternyata adalah seorang pecandu wanita, atau seorang perampok yang memiskinkan moral dan kekayaan negara. Dengan santai ia akui semua. Ia korup dana impor sapi, lalu ia cuci uang itu untuk membeli sejengkal ‘cinta satu malam’. Ia memang tak gila, setidaknya secara mental, tapi ‘gila’ secara sosial. Sebuah laku yang absurd yang ia ...

deja vu

Ketika kita lupa Pada sunyi Yang mengalir dalam arus waktu Ku lihat kembali Jejak yang kau terakan: Masa lalu... Tapi bukankah masa lalu sudah tak ada? Kini dan di sini Aku menunggu Tertahan di tubir waktu Barangkali kau seka aku dalam ingatanmu Dan, ku lihat lagi semu wajahmu lepas seraya angin lalu Biar saja kita merdeka Dalam waktu  yang kembali fana...

Yudistira dan Chaos

Yudistira, dengan paras yang menampakkan diri polos, adalah subuah arketip raja yang sederhana. Kepalanya merunduk dengan rona yang mawas, raut mukanya merepresentasikan keningratan yang halus. Sosok Yudistira—yang di Jawa lebih populer dengan sebutan Puntadewa—tampil sebagai sebuah tokoh ideal Pandita Ratu yang dengan ugaharinya telah menyingkirkan nafsu duniawi. Tak banyak dalam sebuah negeri yang dipimpin oleh orang yang mengabdi kepada orang lain ( liyan ), mengabdi kepada rakyat—sebagaimana nama lainnya: Samiaji (menghormati/mencintai orang lain seperti dirinya sendiri). Yudistira, agaknya, menjadi sebuah sosok kesejatian seorang pemimpin. Hidupnya sederhana. Tampilannya tanpa perhiasan, tak selayaknya seorang raja yang gelimang kemewahan. Anak sulung Pandu ini tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah menolak permintaan siapun—betapapun rendahnya sang peminta. Baginya derap waktu yang mengalir adalah sebuah ejawantah untuk untuk meditasi dan sarana menghimpun ...

Semar

Dalam sebuah kisah pewayangan Jawa, terdapat sosok grotesk yang penuh dengan misteri. Dialah Semar. Kita tahu, dia adalah sosok yang barangkali paling di cintai oleh orang tua maupun muda Jawa, tetapi pada aras yang sama ia adalah sosok paling misterious. Parasnya ganjil, kepalanya berkuncung, dengan badan pendek serupa blewah, perutnya buncit menggelambir, teteknya yang merosot layaknya tetek sapi—seperti paras badut yang konyol. Semar bukanlah sosok lazimnya seorang badut. Tampilan luarnya memang seperti badut, akan tetapi—pada saat yang sama—ia adalah sumber dari segala hikmah (kebijaksanan). Agaknya hal inilah yang membuatnya dikagumi oleh berbagai kalangan masyarakat Jawa. Barangkali, Semar meskipun seorang hamba sahaya jenaka, adalah semacam representasi ‘kelas bawah’ atau dengan kata lain, ia adalah sosok yang melambangkan rakyat atau ‘wong cilik’. Dengan itu, nilai-nilai dan tata aturan yang ada pada golongan satria tidak berlaku padanya. Sosok Semar agaknya adalah s...