Oleh: Hendra
Setiawan[2]
Avant
Propos
Ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat di zaman kontemporer ini. Teknologi hasil konstruksi pengetahuan manusia melalui sains pun semakin mengalami titik kulminasi kemajuan yang mutakhir, mulai alat transportasi, nuklir, hingga dunia virtual cyberspace. Teknologi telah membawa manusia pada suatu euphoria kemegahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Semuanya telah membantu manusia hidup dalam kemudahan dan efisiensi. Namun belakangan, paradoks dengan apa yang terjadi dengan segala kemegahan dan kemajuan tersebut muncul serangan dari para filsuf yang menyatakan bahwa telah terjadi berbagai macam kematian yang telak. Ilmu pengetahuan dan sains yang dikonstruksi manusia dalam ranah epistemology telah dikabarkan dalam titik nadirnya. Salah satu filsuf yang merayakan obituari kematian epistemology adalah Richard Rorty.[3]
Epistemologi merupakan salah satu bagian dalam filsafat merupakan tema pokok yang membahas tentang pengetahuan. Secara sistematis setidaknya terdapat tiga ‘ruang’ pembahasan sentral dalam filsafat; ontology yaitu tentang hakikat dan dasar tentang ‘ada’ yang mencakup metafisika dan kosmologi, Epistemologi yaitu tentang kemungkinan diperolehnya serta validitas pengetahuan manusia yang mencakup metodologi, dan aksiologi yang membahas masalah nilai dan praksis. Kaitannya dengan hal tersebut, kematian epistemology sebagai dasar peletak diskursus ilmu memang menjadi semacam kegalauan tersendiri (patologi) terhadap modernitas. Modernitas yang membawa manusia pada kemajuan dirasa mulai mengalami kebuntuan. Hal ini dikarenakan modernitas sebagai trajektori tradisi barat, terutama terkait tradisi renaissance dan aufklarung-nya dengan cita-cita universalitas, emansipasi, serta humanisasi justru berjalan kearah sebaliknya. Secara historis, filsafat barat memang telah melahirkan berbagai macam kemajuan dalam mengonstruksi dunia kehidupan (lebenswelt). Dimulai dari pencarian akan suatu legitimasi pengetahuan yang pasti dengan mematahkan periode mitos. Semuanya berkendak untuk mencari arkhe sebagai sandaran akan kepastian pengetahuan. Heraclitus menunjuk indra sebagai ikhwal pendasaran pengetahuan, Parmenides mendasarinya melalui akal-budi.[4] Kedua instrument itu dalam sejarah selalu menahbiskan dirinya paling kokoh dan valid. Antagonisme yang cukup sengit pun selalu menghinggapinya. Selain itu, Parmenides merupakan adalah “penggagas” awal lahirnya epistemology. Sebagaimana dikatakan Anthony Kenny: “Parmenides might well claim to be the founder of epistemology: at least he is the first philosopher to make a systematic distinction between knowledge and belief.”[5]
Memang tidak semua filsuf berpegang pada satu otoritas saja. Kaum sofis misalnya, cenderung bersikap subyektif dimana pengetahuan tentang kebenaran dikembalikan kepada manusia itu sendiri. Hal ini mengawali relativisme kebenaran yang menjuntai dalam dunia yang plural. Namun, serangan datang dari Socrates yang meyakini adanya sebuah kebenaran hakiki dan absolut. Dan perdebatan mengenai sahihnya pengetahuan untuk memeroleh kebenaran sejatipun terus berdialektika dalam bingkai sejarah.
Kepastian pengetahuan pun memuncak ketika jawara renaissance, Rene Descartes, mewartakan diktumnya ‘cogito ergo sum’. Filsafat barat yang dulunya terfokus pada dimensi kosmosentris dan teosentris mulai bergeser kearah pikiran antroposentris. Manusia menjadi agen otonom dan rasional yang menghadapi objek-objek sekitarnya. Kepastian pengetahuan dan kebenaran semakin berdiri kokoh dalam bayang-bayang rasionalitas. Sebagaimana Descartes, kepastian pengetahuan adalah subyek yang berfikir. Pikiran adalah fakultas mental yang menghasilkan pengetahuan yang tak dapat diragukan. Berbanding terbalik denga indra yang kabur, samar, dan sarat interpretasi. Perlawanan datang dari para filsuf anglo-saxon macam Hume, Locke, dan Berkeley mereka cenderung meyakini bahwa yang bisa diuji secara empiris adalah pengetahuan yang pasti. Bagi mereka akal-budi yang bekerja secara deduktif, melalui premis abstak-universal hingga pada kesimpulan konkret-partikular, tidak memadai dalam menjustifikasi kebenaran. Hal ini dikarenakan realitas objektif yang ada tidak bisa diterka tanpa impresi inderawi. Observasi empiris secara langsung lebih utama dari pada olah akal.
Seiring kuatnya antagonism itu, Immanuel Kant membawa ‘obat’ untuk memediasi keduanya. Sintetik-apriori, demikian Kant menyebut metode filsafatnya. Kant menyintesiskan keduanya, menurutnya antara empirisme dan rasionalisme terdapat kebenaran tersendiri untuk memeroleh dan menjustifikasi pengetahuan yang sahih. Namun, keduannya terlalu ekstrim sehingga ‘buta’ akan kebenaran yang lain. Indra menyediakan bahan mentah dan akal mengolahnya menjadi kategori-kategori logis universal. Pengalaman inderawi adalah batas dari akal, diluar empiris yang bersifat particular akal hanya bisa menerka gejalanya namun tak bisa diverifikasi sebagai pengetahuan. Tuhan, kekekalan, dan kebebasan adalah kategori logis yang tak bisa dijangkau oleh kepastian pengetahuan. Kant membedakan antara fenomena (apa yang tampak dan bisa dijangkau pengetahuan) dan noumena (apa yang tak tampak).
Epistemology modern pun berkembang kearah totalitarian dimana terjadi kultus terhadap otoritas ilmiah tertentu yang ternyata tak lebih sekedar melanggengkan status quo. Positivism yang lahir dari rahim pencerahan semakin mendelegitimasi nilai dan segala macam yang berbau metafisika. Yang transenden pun semakin dipinggirkan. Bebas-nilai, sistematis, berjarak (distansi), merupakan norma yang dianggap sebagai kebenaran sejati. Memang sains positif telah memajukan peradaban dengan penemuan teknologinya namun seiring itu tersimpan dehumanisasi serta demarkasi ilmu yang lebih mengarah pada metode-metode yang sudah dianggap valid dan kebenaran absolut. Maka, tak ayal epistemology pun semakin mendekati titik nadirnya.
Terkait dengan beberapa argument tersebut diatas, paper ini akan mencoba menelaah ruang lingkup epistemology modern dan peranannya dalam mengonstruksi paradigm ilmiah modern, sehingga diharapkan duduk perkaranya akan terlihat secara jelas selain itu agar tidak terjadi semantic confusion.
Ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat di zaman kontemporer ini. Teknologi hasil konstruksi pengetahuan manusia melalui sains pun semakin mengalami titik kulminasi kemajuan yang mutakhir, mulai alat transportasi, nuklir, hingga dunia virtual cyberspace. Teknologi telah membawa manusia pada suatu euphoria kemegahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Semuanya telah membantu manusia hidup dalam kemudahan dan efisiensi. Namun belakangan, paradoks dengan apa yang terjadi dengan segala kemegahan dan kemajuan tersebut muncul serangan dari para filsuf yang menyatakan bahwa telah terjadi berbagai macam kematian yang telak. Ilmu pengetahuan dan sains yang dikonstruksi manusia dalam ranah epistemology telah dikabarkan dalam titik nadirnya. Salah satu filsuf yang merayakan obituari kematian epistemology adalah Richard Rorty.[3]
Epistemologi merupakan salah satu bagian dalam filsafat merupakan tema pokok yang membahas tentang pengetahuan. Secara sistematis setidaknya terdapat tiga ‘ruang’ pembahasan sentral dalam filsafat; ontology yaitu tentang hakikat dan dasar tentang ‘ada’ yang mencakup metafisika dan kosmologi, Epistemologi yaitu tentang kemungkinan diperolehnya serta validitas pengetahuan manusia yang mencakup metodologi, dan aksiologi yang membahas masalah nilai dan praksis. Kaitannya dengan hal tersebut, kematian epistemology sebagai dasar peletak diskursus ilmu memang menjadi semacam kegalauan tersendiri (patologi) terhadap modernitas. Modernitas yang membawa manusia pada kemajuan dirasa mulai mengalami kebuntuan. Hal ini dikarenakan modernitas sebagai trajektori tradisi barat, terutama terkait tradisi renaissance dan aufklarung-nya dengan cita-cita universalitas, emansipasi, serta humanisasi justru berjalan kearah sebaliknya. Secara historis, filsafat barat memang telah melahirkan berbagai macam kemajuan dalam mengonstruksi dunia kehidupan (lebenswelt). Dimulai dari pencarian akan suatu legitimasi pengetahuan yang pasti dengan mematahkan periode mitos. Semuanya berkendak untuk mencari arkhe sebagai sandaran akan kepastian pengetahuan. Heraclitus menunjuk indra sebagai ikhwal pendasaran pengetahuan, Parmenides mendasarinya melalui akal-budi.[4] Kedua instrument itu dalam sejarah selalu menahbiskan dirinya paling kokoh dan valid. Antagonisme yang cukup sengit pun selalu menghinggapinya. Selain itu, Parmenides merupakan adalah “penggagas” awal lahirnya epistemology. Sebagaimana dikatakan Anthony Kenny: “Parmenides might well claim to be the founder of epistemology: at least he is the first philosopher to make a systematic distinction between knowledge and belief.”[5]
Memang tidak semua filsuf berpegang pada satu otoritas saja. Kaum sofis misalnya, cenderung bersikap subyektif dimana pengetahuan tentang kebenaran dikembalikan kepada manusia itu sendiri. Hal ini mengawali relativisme kebenaran yang menjuntai dalam dunia yang plural. Namun, serangan datang dari Socrates yang meyakini adanya sebuah kebenaran hakiki dan absolut. Dan perdebatan mengenai sahihnya pengetahuan untuk memeroleh kebenaran sejatipun terus berdialektika dalam bingkai sejarah.
Kepastian pengetahuan pun memuncak ketika jawara renaissance, Rene Descartes, mewartakan diktumnya ‘cogito ergo sum’. Filsafat barat yang dulunya terfokus pada dimensi kosmosentris dan teosentris mulai bergeser kearah pikiran antroposentris. Manusia menjadi agen otonom dan rasional yang menghadapi objek-objek sekitarnya. Kepastian pengetahuan dan kebenaran semakin berdiri kokoh dalam bayang-bayang rasionalitas. Sebagaimana Descartes, kepastian pengetahuan adalah subyek yang berfikir. Pikiran adalah fakultas mental yang menghasilkan pengetahuan yang tak dapat diragukan. Berbanding terbalik denga indra yang kabur, samar, dan sarat interpretasi. Perlawanan datang dari para filsuf anglo-saxon macam Hume, Locke, dan Berkeley mereka cenderung meyakini bahwa yang bisa diuji secara empiris adalah pengetahuan yang pasti. Bagi mereka akal-budi yang bekerja secara deduktif, melalui premis abstak-universal hingga pada kesimpulan konkret-partikular, tidak memadai dalam menjustifikasi kebenaran. Hal ini dikarenakan realitas objektif yang ada tidak bisa diterka tanpa impresi inderawi. Observasi empiris secara langsung lebih utama dari pada olah akal.
Seiring kuatnya antagonism itu, Immanuel Kant membawa ‘obat’ untuk memediasi keduanya. Sintetik-apriori, demikian Kant menyebut metode filsafatnya. Kant menyintesiskan keduanya, menurutnya antara empirisme dan rasionalisme terdapat kebenaran tersendiri untuk memeroleh dan menjustifikasi pengetahuan yang sahih. Namun, keduannya terlalu ekstrim sehingga ‘buta’ akan kebenaran yang lain. Indra menyediakan bahan mentah dan akal mengolahnya menjadi kategori-kategori logis universal. Pengalaman inderawi adalah batas dari akal, diluar empiris yang bersifat particular akal hanya bisa menerka gejalanya namun tak bisa diverifikasi sebagai pengetahuan. Tuhan, kekekalan, dan kebebasan adalah kategori logis yang tak bisa dijangkau oleh kepastian pengetahuan. Kant membedakan antara fenomena (apa yang tampak dan bisa dijangkau pengetahuan) dan noumena (apa yang tak tampak).
Epistemology modern pun berkembang kearah totalitarian dimana terjadi kultus terhadap otoritas ilmiah tertentu yang ternyata tak lebih sekedar melanggengkan status quo. Positivism yang lahir dari rahim pencerahan semakin mendelegitimasi nilai dan segala macam yang berbau metafisika. Yang transenden pun semakin dipinggirkan. Bebas-nilai, sistematis, berjarak (distansi), merupakan norma yang dianggap sebagai kebenaran sejati. Memang sains positif telah memajukan peradaban dengan penemuan teknologinya namun seiring itu tersimpan dehumanisasi serta demarkasi ilmu yang lebih mengarah pada metode-metode yang sudah dianggap valid dan kebenaran absolut. Maka, tak ayal epistemology pun semakin mendekati titik nadirnya.
Terkait dengan beberapa argument tersebut diatas, paper ini akan mencoba menelaah ruang lingkup epistemology modern dan peranannya dalam mengonstruksi paradigm ilmiah modern, sehingga diharapkan duduk perkaranya akan terlihat secara jelas selain itu agar tidak terjadi semantic confusion.
Epistemologi
dan Relevansinya Terhadap Pandangan Dunia
Epistemology
dilihat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani episteme yang
berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Bisa dikatakan,
epistemology merupakan teori penegetahuan (theory of knowledge), namun
menurut Robert Audi “epistemology not only as the theory of knowledge but
also as the theory of justification.”[6]
Maka dari itu epistemology dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
menelaah sumber, struktur, metode sebagai paradigma dan ‘pembenaran’ suatu
pengetahuan. Selain itu epistemology juga bermaksud mengkaji dan menemukan
ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemology juga bermaksud
secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang
mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban
rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.[7]
Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, sebagaimana untuk memeroleh pengetahuan itu melalui sarana apa saja, batas-batas dalam pemerolehannya, sehingga kemungkinan pemerolehan pengetahuan dapat diakuisi dengan jelas serta hal-hal apa saja yang dapat atau tak dapat diketahui akan menjadi jelas. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
J. Sudarminta membagi jenis-jenis epistemology dalam tiga macam yaitu epistemology metafisis, epistemology skeptic, dan epistemology kritis.[8] Epistemology metafisis adalah epistemology yang mendasari basis pengetahuannya dari titik tolak pengandaian metafisika. Misalnya saja Plato yang cenderung menganggap pengetahuan hakiki adalah kenyataan yang ada dalam ide-ide, yang menurutnya kegiatan menegetahui adalah mengingat (anamnesis) dari kenyataan sejati yang pernah dialami dalam dunia idea. Yang kedua, epistemology skeptis yaitu suatu keyakinan dimana pengetahuan yang benar dapat diperoleh hanya dengan keragu-raguan, diawali dengan keraguan kemudian membuktikannya apakah pengetahuan yang kita dapati sungguh nyata serta tak dapat diragukan atau justru keliru dengan kebenarannya yang masih dapat diragukan. Sebagaimana yang dilakukan Descartes misalnya, yang metodenya dsebut skeptisisme metodi, yaitu dengan stategi awal untuk meragukan segala sesuatu kemudian dengan keraguan itu dimaksudkan untuk memperoleh keyakinan agar sampai pada kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Skeptisisme yang radikal memang cenderung akan terjebak pada nihilisme yang mengandaikan manusia tak dapat mengetahui apapun. Yang ketiga, epistemology kritis, yaitu sebuah pengetahuan yang berangkat dari asumsi, prosedur, dan kesimpulan logis yang ditemukan dalam kehidupan, lagu ditanggapi secara kritis agar memperoleh kebenaran.
Memang dalam mengonstruksi ataupun mengakuisisi pengetahuan yang dianggap valid dan benar tak akan lepas dari suatu pandangan-dunia (weltanschauung) tertentu. Keyakinan akan kebenaran pengetahuan tentunya akan menentukan arah pandangan dunia itu menjadi ideology. Sebagaimana dikatakan Habermas bahwa setiap diskursus yang berkembang dalam masyarakat atau kelompok social tertentu tak akan lepas dari konstruksi kepentingan, bahkan bebas-nilainya suatu ilmu pengetahuan merupakan kepentingan itu sendiri. Maka paradigma[9] yang diyakini sebagai kebenaran jelas tak bisa lepas dari kondisi sosio-politis, sosio-historis, maupun sosio-kultural yang melingkupinya.
Sementara itu, Michel Foucault melihat bahwa wacana mengenai pengetahuan (episteme) merupakan bentukan kekuasaan. Kekuasaan itu menetukan dan menstrukturkan kenyataan kemudian membentuk pandangan dunia yang baku melalui mekanisme aturan dalam rangka mengontrol pengetahuan dan entitas yang ada dalam kenyataan. Pengetahuan juga mempengaruhi bentuk-bentuk dalam pemakaian bahasa. Bahasa sebagai system tanda bukanlah medium yang transparan, bahasa adalah alat yang dipakai untuk mengatur dan menyusun kenyataan sesuai dengan otoritas kekuasaan yang ada.
Maka dalam hal ini epistemology sebagai sebuah teori pengetahuan merupakan dasar pembentuk diskursus yang berkembang dalam sebuah komunitas tertentu. Diskursus itulah yang kemudian mengonstruksi pandangan dunia tertentu sebagai keyakinan umum. Murtadha Mutahhari secara jelas membedakan antara pandangan dunia dan ideology.[10] Menurutnya pandangan dunia merupakan ilmu teoritis (hikmat nazari), sedangkan ideology adalah ilmu praktis (hikmat amali). Hal ini menjadi suatu kerangka yang penting sebab kecenderungan akan berbedanya suatu pengetahuan yang dianggap paling benar merupakan tinjauan yang perlu diperhatikan dalam epistemology.
Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, sebagaimana untuk memeroleh pengetahuan itu melalui sarana apa saja, batas-batas dalam pemerolehannya, sehingga kemungkinan pemerolehan pengetahuan dapat diakuisi dengan jelas serta hal-hal apa saja yang dapat atau tak dapat diketahui akan menjadi jelas. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
J. Sudarminta membagi jenis-jenis epistemology dalam tiga macam yaitu epistemology metafisis, epistemology skeptic, dan epistemology kritis.[8] Epistemology metafisis adalah epistemology yang mendasari basis pengetahuannya dari titik tolak pengandaian metafisika. Misalnya saja Plato yang cenderung menganggap pengetahuan hakiki adalah kenyataan yang ada dalam ide-ide, yang menurutnya kegiatan menegetahui adalah mengingat (anamnesis) dari kenyataan sejati yang pernah dialami dalam dunia idea. Yang kedua, epistemology skeptis yaitu suatu keyakinan dimana pengetahuan yang benar dapat diperoleh hanya dengan keragu-raguan, diawali dengan keraguan kemudian membuktikannya apakah pengetahuan yang kita dapati sungguh nyata serta tak dapat diragukan atau justru keliru dengan kebenarannya yang masih dapat diragukan. Sebagaimana yang dilakukan Descartes misalnya, yang metodenya dsebut skeptisisme metodi, yaitu dengan stategi awal untuk meragukan segala sesuatu kemudian dengan keraguan itu dimaksudkan untuk memperoleh keyakinan agar sampai pada kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Skeptisisme yang radikal memang cenderung akan terjebak pada nihilisme yang mengandaikan manusia tak dapat mengetahui apapun. Yang ketiga, epistemology kritis, yaitu sebuah pengetahuan yang berangkat dari asumsi, prosedur, dan kesimpulan logis yang ditemukan dalam kehidupan, lagu ditanggapi secara kritis agar memperoleh kebenaran.
Memang dalam mengonstruksi ataupun mengakuisisi pengetahuan yang dianggap valid dan benar tak akan lepas dari suatu pandangan-dunia (weltanschauung) tertentu. Keyakinan akan kebenaran pengetahuan tentunya akan menentukan arah pandangan dunia itu menjadi ideology. Sebagaimana dikatakan Habermas bahwa setiap diskursus yang berkembang dalam masyarakat atau kelompok social tertentu tak akan lepas dari konstruksi kepentingan, bahkan bebas-nilainya suatu ilmu pengetahuan merupakan kepentingan itu sendiri. Maka paradigma[9] yang diyakini sebagai kebenaran jelas tak bisa lepas dari kondisi sosio-politis, sosio-historis, maupun sosio-kultural yang melingkupinya.
Sementara itu, Michel Foucault melihat bahwa wacana mengenai pengetahuan (episteme) merupakan bentukan kekuasaan. Kekuasaan itu menetukan dan menstrukturkan kenyataan kemudian membentuk pandangan dunia yang baku melalui mekanisme aturan dalam rangka mengontrol pengetahuan dan entitas yang ada dalam kenyataan. Pengetahuan juga mempengaruhi bentuk-bentuk dalam pemakaian bahasa. Bahasa sebagai system tanda bukanlah medium yang transparan, bahasa adalah alat yang dipakai untuk mengatur dan menyusun kenyataan sesuai dengan otoritas kekuasaan yang ada.
Maka dalam hal ini epistemology sebagai sebuah teori pengetahuan merupakan dasar pembentuk diskursus yang berkembang dalam sebuah komunitas tertentu. Diskursus itulah yang kemudian mengonstruksi pandangan dunia tertentu sebagai keyakinan umum. Murtadha Mutahhari secara jelas membedakan antara pandangan dunia dan ideology.[10] Menurutnya pandangan dunia merupakan ilmu teoritis (hikmat nazari), sedangkan ideology adalah ilmu praktis (hikmat amali). Hal ini menjadi suatu kerangka yang penting sebab kecenderungan akan berbedanya suatu pengetahuan yang dianggap paling benar merupakan tinjauan yang perlu diperhatikan dalam epistemology.
“Matinya” Epistemologi Modern
Diawal sudah sedikit dibahas terkait tumbangnya
epistemology modern sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan yang berkembang
sekarang ini. Isu ini memang agaknya berbau posmodernisme yang menolak kecenderungan
narasi besar (meta-narrative) sebagaimana digemingkan oleh J.F. Lyotard.
Sebagaimana diketahui, narasi besar yang disandarkan pada pemikiran pencerahan
yang digawangi ‘anak-anak’ renaissance dan aufklarung seperti Descartes, Kant,
Hegel, Locke, dsb. yang mengandaikan suatu cita-cita universalitas, humanisasi,
dan emansipasinya dianggap telah gagal. Hal ini dikarenakan epistemology modern
telah mengarah pada totalitarianism yang mengklaim kebenaran mutlak, serta
dualitas subjek-objek yang membawa konsekuensi tertentu pada konsep kebenaran
juga. Secara sinis bahkan Theodor Adorno, seorang teoritikus sekolah Frankfurt,
menganggap bahwa pencerahan adalah totalitarian dimana “hidup telah menjadi
ideology atas ketaksadarannya sendiri."[11]
Situasi
tersebut memang perlahan berbalik, Rorty melihat permasalahan tersebut
berpangkal pada karakter fondasional (foundational) dari epistemology.[12]
Dalam kerangka fikir fondasional ini diyakini bahwa segala pengetahuan ilmiah
positif membutuhkan suatu disiplin keras yan mendasari suatu klaim kebenaran
tertentu. Dala hal ini epistemology menjadi tolok ukur (neraca) yang dapat
menentukan dasar sekaligus batas kesahihan pengetahuan. Namun kecenderungan
untuk mengeraskan dan memberi ketetatan tentang fondasi tersebut justru
mengalami kemacetan. Sebagaimana usaha yang dilakukan Wittgenstein, Heidegger,
dan Dewey misalnya, mereka dalam usahanya justru berakhir dengan kehampaan dan
cenderung menipu diri sendiri. Wittgenstein menghentikan proyeknya tentang
teori baru “representasi”. Heidegger menghentikan ambisinya untuk membangun
kategori-kategori filsafat yang lepas dari determinasi kepastian Cartesian.
Dewey menghentikan versi alamiah dan visi sejarah yang ditunjukkan oleh Hegel.[13]
Ketigannya akhirnya menyerah untuk membangun ambisinya dalam membuat
pengatahuan yang kokoh dan tak dapat disangkal kebenarannya. Proyek “dasar
pengetahuan” mereka pun akhirnya menuai kegagalan.
Setelah
“babak belur”-nya epistemology modern yang gagal dalam membuat kerangka dasar
penegtahuan yang ketat, filsafat seolah mengalami kematian. Hal ini dikarenakan
epistemology merupakan acuan dasar yang akan memberikan suatu paradigm tertentu
tentang fondasi pengetahuan akan kaidah kebenaran yang hakiki. Namun, dengan
hancurnya “dasar pengetahuan” yang mendapat serangan terutama dari kalangan
posmodernis justru meretas jalan baru. Epistemologi modern yang berbalut
subyektivitas dan obyektivitas yang saling terpisah dianggap telah berakhir.
Fonadasionalisme dan representsionalisme beserta, meminjam bahasa Derrida,
metafisika kehadirannya yang menjadi jantung modernitas telah mendekati titik
nadirnya.
Memang
kemunculan posmodernisme sendiri sebagai pembaharu modernism dapat dilacak
sejak Nietzsche memproklamirkan “kehendak untuk berkuasa” yang secara tidak
langsung menyerang rasio dan dikotomi subyek-obyek epistemologi modern. Namun,
kalaupun Nietzsche dianggap perintis postmodern bukan dalam artian kronologis
namun hanya sejarah efektif. Tumbangnya modernism justru ketika fenomenogi
Edmund Huserl memuncak mengatasi persoalan subyek-obyek dengan membongkar paham
tentang “subyek efektif” dan “dunia obyektif”.[14]
Husserl kemudian menyiasatinya dengan gagasan tentang Lebenswelt. Yang
dimaksud dengan Lebenswelt ini adalah tiada lain aliran kehidupan langsung sebelum
direfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan
teoritiasasi ilmiah. Dari titik inilah kemudian secara perlahan membuka jalan
bagi terbukanya pluralism, nihilism dan hermeneutika yang membawa pada
persoalan dialog.
Kecenderungan
totalitarian pun sedikit dapat teratasi. Namun, relativisme dan nihilism justru
mengancam kebenaran sebagai fonadasi pengetahuan. Adalah Derrida yang menunjuk
bahasa dan kata-kata hanyalah kosong belaka, semua itu tidak menunjuk sesuatu
apapun selain maknanya sendiri “tidak ada sesuatu apapun diluar teks”. Makna
pun hanya menjadi permainan pembedaan (differance). Hermeneutik lalu
hanyalah peluang terbuka untuk mendemistifikasi setiap pretensi filsafat yang
menganggap diri memiliki pretensi tak tergugat. Lyotard juga berakhir seperti
nihilism Derrida. Baginya yang tersisa hanya sekedar permainan-bahasa yang
fragmentaris dalam suatu ketegangan yang ditandai dengan menajamnya perbedaan,
konflik, dan sulitnya mencapai consensus yang adil, yang ada adalah disensus.
Sementara
itu, Heidegger yang menelaah kembali warisan Huserl setidaknya membawa
pemahaman baru tentang tentang konsep “Ada”, “kebenaran”, dan “filsafat”. Hal ini kemudian menyingkap tentang
eksistensi manusia yang berada dalam dunia (being in the world).
Hermeneutika berupaya menyingkap hakikat “Ada” melalui analisis eksistensial,
penasiran atas “Ada” dan cara sang “Ada” itu menampilkan dirinya sendiri.
Bahasa kemudian menjadi cara berada yang khas bagi manusia hidup di dunia ini.
Maka objek hermeneutika akhirnya adalah bentuk permainan-bahasa yang
memungkinkan manusia memahami dunianya sendiri. Dengan demikian ilmu pun
menjadi permainan bahasa diantara permainan bahasa lainnya. Epistemologi ilmu
merupakan disiplin meta-ilmiah yang berusaha mencari dasar bagi keabsahan
klaim-klaim ilmiah atas “kebenaran”. Sedangkan hermeneutika tidak
berkepentingan dengan nilai kebenaran ilmu, namun meneropong bagaimana
bekerjanya pemahaman ilmiah. Yaitu tentang idealisasi dan pemahaman ilmiah yang
mewujud dalam teori-teori ilmiah disanggah, ataupun diterima dan dipercayai
sebagai benar. Hal ini menjadikan hermeneutic sebagai penyeimbang akan klaim
kebenaran yang terkadang terlampau absolute sehingga yang terjadi adalah
konservatisme ilmu pengetahuan (kalau tidak dikatakan fanatisme).
Thomas
Kuhn kemudian memproklamirkan suatu relativisme paradigm yang diyakini dalam
kerangka ilmiah dan sains modern. Kebenaran sains sebagai “ilmu keras” dianggap
tidak memiliki tolok ukur yang pasti dan netral yang sesuai dengan semua paradigm.
Lebih jauh Kuhn membongkar paradigm ilmiah yang bukanlah semata-mata induksi
atau deduksi ataupun rasionalitas demonstrative yang berkulminasi pada
representasi teoritis kenyataan “obyektif”. Melainkan pada perkaranya merupakan
interpretasi dan persuasi. Pengetahuan ilmiah buanlah jiplakan realitas namun
hasil kosntruksi dan cara pandang tertentu manusia. Maka, paradigm yang
disepakati dalam komunitas ilmuan bukanlah sebuah kebenran yang absolute dan
pasti namun hanya sesuatu yang dianggap terbaik dan memberi harapan bagi
riset-riset selanjutnya.
Dari
sini kecenderungan modern yang berusaha menguak kebenaran sejati dengan rasio
instrumentalnya jusru mengalami kemacetan dalam mendedah fenomena yang ada. Hal
ini dikarenakan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia itu sendiri.
Memang ada kecenderungan bahwa filsafat sedang mengalami pembalikan kearah
bahasa (linguistic turn). Hal tersebut bukannya tanpa alasan,
sebagaimana bahasa merupakan medium yang menjembatani antara realitas obyektif
dan manusia sebagai subyek yang mengetahui. Dalam koridor ini memang
hermeneutika telah memberikan jasanya terutama dalam mengatasi dikotomi
subyek-obyek yang mengahasilkan rasio instrumental sebagai roh modernitas.
Post-script
Dengan segala macam perbedaan paradigm yang beralur dalam bingkai sejarah dalam rangka memeroleh “dasar pengetahuan” yang valid dan benar, kini setidaknya dalam pembenaran diri kita haruslah melihat “yang lain”. Kehidupan memang mengharuskan manusia memperoleh pengetahuan yang termasuk sebagai asasi. Namun, pemahaman kita tentang dunia seharusnya tidaklah kita tempatkan dalam ruang pembenaran sendiri. Permainan-bahasa yang plural yang menjuntai dalam dunia-hidup kita adalah suatu fitrah yang perlu “dirayakan”. Ilmu, system nilai, system logika, ideology dsb, merupakan titik awal dalam memahami diri kita dan dunia kita.
Keterbatasan yang ada bukan untuk mencari kebenaran sendiri tentang “kerasionalan”, “kenormalan”, “keidealan”. Keterbatasan adalah kunci untuk dialog dan kerjasama antar manusia. Itu sebabnya filsafat sebagai hermeneutic dapat berperan sebagai medium yang menjembatani permainan-bahasa (narasi kecil, dalam istilah Lyotard) yang berbeda sehingga tercipta dialog kritis dengan rasio komunikatif demi memperkaya konsep dan pemahaman tentang dunia, manusia, dan kehidupan ini. Namun, sekali lagi consensus yang dibangun bukanlah sesuatu yang mandek dan akhir namun ia seharusnya terus didialogkan agar system baku yang disepakati bersama bukan menjadi norma yang taken for granted yang menjadi rezim beku dan menghasilkan kejumudan dan stagnansi. Maka, kemungkinan baru harus selalu dibuka agar “yang tak terfikirkan” menjadi terkuak dalam dimensi ruang dan waktu. Filsafat memang harus kembali pada inspirasi dasarnya: kehidupan yang bersifat ambigu.
Dengan segala macam perbedaan paradigm yang beralur dalam bingkai sejarah dalam rangka memeroleh “dasar pengetahuan” yang valid dan benar, kini setidaknya dalam pembenaran diri kita haruslah melihat “yang lain”. Kehidupan memang mengharuskan manusia memperoleh pengetahuan yang termasuk sebagai asasi. Namun, pemahaman kita tentang dunia seharusnya tidaklah kita tempatkan dalam ruang pembenaran sendiri. Permainan-bahasa yang plural yang menjuntai dalam dunia-hidup kita adalah suatu fitrah yang perlu “dirayakan”. Ilmu, system nilai, system logika, ideology dsb, merupakan titik awal dalam memahami diri kita dan dunia kita.
Keterbatasan yang ada bukan untuk mencari kebenaran sendiri tentang “kerasionalan”, “kenormalan”, “keidealan”. Keterbatasan adalah kunci untuk dialog dan kerjasama antar manusia. Itu sebabnya filsafat sebagai hermeneutic dapat berperan sebagai medium yang menjembatani permainan-bahasa (narasi kecil, dalam istilah Lyotard) yang berbeda sehingga tercipta dialog kritis dengan rasio komunikatif demi memperkaya konsep dan pemahaman tentang dunia, manusia, dan kehidupan ini. Namun, sekali lagi consensus yang dibangun bukanlah sesuatu yang mandek dan akhir namun ia seharusnya terus didialogkan agar system baku yang disepakati bersama bukan menjadi norma yang taken for granted yang menjadi rezim beku dan menghasilkan kejumudan dan stagnansi. Maka, kemungkinan baru harus selalu dibuka agar “yang tak terfikirkan” menjadi terkuak dalam dimensi ruang dan waktu. Filsafat memang harus kembali pada inspirasi dasarnya: kehidupan yang bersifat ambigu.
[1] Disampaikan dalam diskusi dwi
mingguan Dasein Institute.
[2] Sekbid keilmuan Pimpinan Cabang
IMM Djasman Alkindi kota Yogyakarta.
[3] Hal ini dikarenakan seolah-olah
filsafat adalah epistemology. Epistemology yang disandarkan pada filsuf macam
Descartes, Hegel, Maupun Kant dianggap sudah tidak memadai untuk menjelakan
filsafat sebagai ilmu fondasional manakala gagasan tentang akal dan pengetahuan
di abad ke-17 itu sendiri sudah tak berlaku. Lih. Bambang Sugiharto, Postmodernisme
tantangan bagi filsafat, (Yogyakarta, Kanisius: 1996) hlm. 68-69. Selain itu, bagi Rorty hasrat untuk
mengembangkan epistemology berangkat dari hasrat yang kokoh dan tak tergoyahkan
bagi pengetahuan. Klaim ini merupakan sesuatu yang tak mungin terpenuhi, karena
melawan kontingensi dan keterbatasan manusia. Tidak ada tolok ukur bagi
obyektivitas kebenaran pengetahuan manusia kecuali praksis social tempat
pengetahuan itu dikemukakan. Lih J. Sudarminta, Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta, Kanisius: 2002) hlm. 24-25.
[4] Lih. R.W. Sharples, Stoic,
Epicureans, and Skeptics: An Introductions to Hellenistic Philosophy,
(London, Routledge: 2003) hlm 11.
[5] Lih. Anthony Kenny, a New
History of Western Philosophy Vol. I: Ancient Philosophy, (New York, Oxford
University Press: 2006) hlm 168.
[6] Michael Huemer (Ed.), Epistemology
contemporary reading, (London, Routledge: 2005) hlm. 1
[7] J. Sudarminta, Op. Cit,
hlm 18.
[8] Ibid, hlm. 21-22
[9] Paradigma dari bahasa Inggris paradigm
berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model,
pola) [Hornby, 1989:895]. Sedangkan secara terminologis berarti a total
view of a problem, a total outlook, not just a problem in isolation
(Hills, 1982). Kuntowijoyo dengan meminjam “pembacaan” paradigma dari
Thomas S. Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolutions
(oleh penerbit Rosdakarya, Bandung diterjemakan dengan judul Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains) juga berpandangan sama, ia menjelaskan
bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought
atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode
of knowing (cara mengetahui) tertentu pula. Imanuel Kant menganggap “cara
mengetahui” ini sebagai apa yang disebutnya skema konseptual. Marx
menamakannya sebagai ideologi. Dan Wittgenstein melihatnya sebagai permainan
bahasa, lih. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,
(Mizan, Bandung) hlm 327.
[10]
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta,
Shadra Press: 2010) hlm 5
[11] Jenny Edkins dan Nick Vaughan
Williams (Ed.), Teori-teori kritis, menantang pandangan utama studi politik
internasional, (Yogyakarta, Baca: 2010) hlm. 9
[12] Richard Rorty, Philosophy and
the Mirror of Nature, hlm 132 yang
dikutip Bambang Sugiharto, Op. Cit, hlm. 68
[13] Ibid. hlm. 69
[14] Ibid. hlm 36
Komentar
Posting Komentar