Menjelang pagi...
Semua mendaras kelelahan...
Narasi kecil yang karam dalam kelainan...
Lamat kian hilang diterpa keagenan...
Menjelang pagi...
Tiada barisan senyum menampak...
Hanya murung sinar rembulan menyentak...
Senjakala menjamah pikiran meretak...
Cinta menjauh melampaui kesejatian...
Apa yang menyisa?
Selubung hitam tanpa nuansa...
Rintikan air pun berbisik, menangguhkan hamparan sepi...
Aku hanya menunggu, mencari sandaran dalam sendiri...
Sungguh, angin pun mencibir sinis...
Menipu diri dari tatanan kosmis...
Jangan hirau wahai bunga pujaan...
Wajahnya memang seindah hujan...
Tapi jiwa ini meronta lapar desiran suci...
Absurditas penubuhan yang dipuja mimpi...
Kegetiran membusuk, kedamaian merasuk...
Memenjara diri dalam batas kehadiran...
Aku rasakan indahnya... Aku maknai rahasianya..
***
Sebuah fajar kan menerka hangat senyumnya...
Kenyataan tanpa batas menyumbui gradualitas fenomena...
Tanpa syarat, hanya dekapan tubuh tanpa organ...
Aku tak miliki mu, tapi aku bisa perbesar sejarah...
Dalam spiral utopia dan pendulum waktu...
Mendendam ribuan petaka...
Menjarah makna cinta...
Mencumbui ribuan dusta...
Sepertiga malam adalah momen asketis...
Mendedah makna kesucian...
Mendekati pintu transenden...
Ego telah menjamah alur esoteris...
Biarkan berjelaga walau tanpa cahaya...
Titik sadar pun memacu, sebuah dimensi lain tanpa nafsu....
Itulah kedalaman dibalik kedangkalan...
Dihadap banalitas kuasa, dibalik keterbatasan nalar...
Itulah cinta tanpa hasrat penuh luka...
Didalam sekat kesadaran, diluar pekat alienasi...
Semuanya melebur di dalam sepi...
Didalam keteduhan nurani untuk senyum sang mentari pagi...
***
Lekat udara malam menjajah nalar kuasa...
Kala hitam membaja dipermukaan mata...
Sebuah cinta hanya rasa tanpa makna...
kau adalah inspirasi terkelam...
Menikam hasrat dalam sekam...
Begitu indah, ketika sepi menceritakan damai...
Bagai anak senja menuai cahaya mentari...
Atau mitos absurditas Sissifus?
Pertaruhan dimulai!
Kembali lantangkan suara bersama keadilan...
Walau sang ratu adil sedang mengigau galau...
kebodohan konservatif yang menyejarah...
Tanpa logika, tanpa potensi, tanpa aporia...
Bongkar semua muatan ideologis!
Relativitas adalah ontologis!
Matilah-mati! Tak ada apa-apa kecuali HAMPA!!!
***
Ketika hidup dilabeli hitam-putih...
Semuanya menuju satu perkara...
Tahta, harta... Benarkah hidup semunafik ini?
Tuhan-tuhan baru pun mengada...
Para pagan membumi kembali...
Dibodohi libido dan nalar mekanis...
Keteraturan adalah kitab suci...
Sebuah pandangan-dunia tanpa titik setia...
Scizofrenia tanpa awal, tanpa akhir...
Leissez-faire!!! Homo homini lupus!!!
Adagium semu berfigura wajah lugu...
Hukum rimba adalah syarat imperatif!
Maka altruisme hanya dongeng utopia...
Biarlah wajah cantiknya menghias layar flatron...
Atau manipulasi eksesif sang MC adalah kebenaran sejati...
Ah...itu hanya omongan lugu para pujangga...
atau para pemuja kesejatian yg skeptis saja?
Entahlah...dunia!? Aku mau menikahi mu tapi tak mau aku diperbudak oleh mu!!!
***
Lelah bersembunyi... dibalik mutilasi menopengi diri oleh keliaran citra... Bermunajat hampa menikam norma budaya... Wajahnya begitu sempurna lampaui gradasi cahaya.... Sayang, ia telah berpunya... Saat sepi adalah rumah terindah... Hentakan sang pengelana malam adalah nada kesejukan... Bertadah remah kaca pantulkan hujaman akidah... sesat adalah mereka, suci adalah kita? Tanpa celah, tanpa prahara, tanpa ruang imajinasi... Linier terkendali pucatnya interpretasi satu bahasa... Cinta pun digiring dalam permainan gaya kits... Sampai kapankah suara perlawanan itu dikebiri? Dalam relasi kuasa tak setara... Aku menunggunya, sang 'liyan'... Ya! Akulah pecundang! Karena pahlawan hanya bualan dalam mitologi!
***
keteduhan sunyi beringin beserta raungan lemas sang orator...
Kian meninggi menyengat pori-pori...
Mentari semakin berporos meninggi...
Diam, beberapa jarak konstan...
Para pelayat telah bergumul, menunggu masa tengat...
Nada beku dan wajah kegetiran, menyengat arus sesaat...
Cinta adalah materi tanpa bentuk, menuju genealogi kehampaan...
Ketika jalan pulang tertutup...
Ketika keteraturan adalah norma...
Ketika perubahan hanya wacana...
Menolak tirani bersenyawa pluralitas...
Kita kembali.... Kematian adalah jalan, menuju damai, mencekat sekat hasrat... Menaja ruang transendensi, kembali pada esensi... Selamat jalan...
***
Tak dengarkah kalian?
Para komprador sedang bernyayi...
Meraup untung atas nama kepalsuan...
Tak lihatkah kalian?
Para pemodal menjarah hak asasi...
Memakan nilai-lebih atas nama produksi...
Keadilan? Hanya bualan para representatif...
kemanusiaan? Hilang ditelan represi ingatan...
Dimana yang asali? Bersembunyi dibalik kuasa simbol...
Eskalasi pembodohan terpampang tiap hari...
Kesadaran "kemanusiaan" kita telah direnggut interpelasi hasrat...
Terminal mode jadi ukuran sejati...
Baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek, sakral-profan, semuanya terpenjara dlm homogenisasi...
Semuanya memalsu dalam tanda...
Penanda hanya permainan tanpa titik kendali...
Maka rasakanlah kematian ini...
Dan logika kita telah diprogram layaknya mesin...
Selamat menjejaki paradoks multiplisitas... Mari rayakan indahnya kepalsuan ini...
***
Adakalanya sebuah ego menjamah... Berkawan sepi tanpa titik kembali... derajatnya begitu palsu, cintanya perlahan berlalu... Wajahnya mengawang semu... Antara keberanian dan phobia masa lalu... Sesublim angin malam, seindah lentera temaram...
Ketakutan kembali menerka!!! Sebuah sampar yg tak ku mengerti... Penghakiman nilai dan nalar pecundang... Entah Sang causa prima pun terasa makin jauh... Dimana? Aku rindu, aku haus rona itu... Diakhir malam ini, sebuah sunyi adalah janji, sebuah hampa adalah ekstasi, sebuah gelap adalah keberADAan.... Dan nyawa sepi begitu berarti... Menerkam cinta dibalik noumenon tersembunyi...
***
Dibawah kaki malam beserta langkah kian menyepi.... Sebuah gua, itulah tampaknya bumi manusia bagiku... Segalanya sama, segalanya tak berharga, miskin nilai, miskin makna... Dimanakah cinta? Hanyakah sekedar kehendak berkuasa? Dalam jejak nalar tanpa aporia, hanya episentrum gelap menggeliat... Aku manusia buta, berlindung dibalik horizon cahaya... Kita pernah bersama menuai tawa dalam rahasia, sungguh menggema.... Benarkah kita telah mati? Atau Tuhan telah kita bunuh bersama hening? jgn kau bohongi nurani!!! Kembalilah bersama angin malam menuju resultan awal... Menangis riuh seperti bayi... Mungkin kita kan jumpa bersama waktu... Ketika kau dan aku tak berhasrat kobarkan perang dihati... [Selamat malam]
***
Ditengah keriuhan sepi... Menari-nari terus tanpa tempat menambat diri... Tanpa suatu penanda, tanpa rumah asal, tanpa tujuan akhir., tanpa nostalgia: yg ada hanya sebuah tanah air pikiran yg telah hilang... Aku membakar teks ku sendiri, menghapus jejak langkah q sendiri, tertawa kearah jalan q kembali,dan ia akan menari, diluar kebenaran dan "rumah ada", lupa secara aktif....
Mari menari... Mari tertawa... Mari berlupa...
***
Sebuah parodi terpampang bebas sejak kuasa tak punya kuasa....
Sejak daya magis kapital membius konstitusi...
Sejak sang tiran sujud dibawah kaki para kartel....
Kami semakin bingung oleh manipulasi statistik...
Maka biarkan tangan besi pasar berbicara sendiri...
Tanpa legitimasi, tanpa proteksi....
Orang kata negeri kita kaya, penggalan surga?
Namun itu hanyalah narasi utopia yang telah lama jadi mitologi...
Aku pun bingung lihat kelakuan para orang tengahan...
Dijebak fetis komoditi, berakhir konsumsi...
Tapi ribuan lain masih lapar, terhimpit sistem despotik...
Revolusi hanya narasi kecil ditengah derasnya akumulasi nilai-lebih...
Dalam kuasa tak setara, biarkan sang liyan dapatkan haknya...
Namun jgn biarkan rakyat dibodohi mental budak...
Diajari mengemis onggokan uang BLT yg tak seberapa...
Kami hanya inginkan kesejahteraan tanpa harus meminta-minta...
Selepas kuasa tanpa citra imagologis...
Berontak walau nada sumbang...
Ketika suara perlawanan mulai surut...
Bersiaplah kita jadi korban bualan para komprador...
Maka lantangkan suara atas nama keadilan!!!
Jgn gentar dg moncong senjata...
Jgn takut semburan water canon...
Karena keadilan hari ini, hanya bisa kita rebut melalui kebersamaan...
Maka mentari kan berjalan bersama tawa anak pinggiran...
***
Aku adalah fasis! Ketika kau tak kunjung datang.... Membawa cintamu sesublim embun pagi.... Aku adalah fasis! Ketika pikiranku tak kau redam....
Bersama kasihmu semanis madu.... Langkah yang kian jemu, wajah yang kian parau, senyum yang kian pudar.... Jauh semakin tak terlihat, hanya bayangan utopia yang mengawang.... Sepi yang sungguh indah.... Seindah ketidakjelasan ini.... Tentang narasi yang tak tersampai.... Dalam epilog malam ini.... Selamatkan nyawaku dalam galau.... Selamat malam [pagi] bagi engkau yang merasa.... Mendekati batas transenden, menjejaki dunia idea...
***
Berdamai dg pendulum sepi...
Hanya dalam malam ku bersembunyi...
anak-anak doktrin dan pengetahuan menaja hampa re[present]asi....
Hilang bersama rautan kepalsuan dan hasrat terlaknat....
Menandai setiap nalar yang tak patuh, seperti bayangan tanpa bentuk....
Tubuh ku rapuh tak tersentuh, oleh suatu naungan....
Tanpa kepastian, meninggalkan epifani dalamnya makna....
Hingga celah cintanya berputar tanpa logos yang memusat....
Mengimaji seperti merpati yang setia bersama daranya....
Apakah malam ini semakin memalsu?
Entahlah, aku hanya menerka jejak wajahnya...
Dalam horizon akal budi, ku reduksi fenomen yang menyejarah...
Hingga retaknya sang liyan dan multiplisitas pemaknaan tersembur dipermukaan kesadaran....
Maka, izinkanlah cinta hanya membual tentang janji akumulasi nilai-lebih....
Dan biarkan fenomen terserak berbicara sendiri....
***
Terdengar pekat retorika politik...
Tentang harkat hidup, tanpa legitimasi...
Bualannya sungguh meyakinkan, berlindung dibawah statistik dg logika menyesatkan....
Pintar memang pintar kau putar balik fakta demi citra dan kekuatan liar pemodal...
BUMN kita akan jebol, begitu fasihnya bak sampar yang menyebar....
Matikah nurani? Demi sebuah kepalsuan yg banal? Iihatlah rakyatmu!!! Makin lapar dan marjianal....
Senjata layar panoptikon yang kau legalkan dalam tangan besi hukum....
Membungkam suara sesak para pahlawan jalanan.... Dengan aparatus ideologis yang menyebar dan hegemoni kultural....
naikan lagi....dan lagi.... Maka biarkan ribuan miskin baru muncul dijalan-jalan kota ku....
***
Aku menunggu mu, jika kau masih menunggu...
Terkadang rasa untuk mu begitu besar, namun begitu jauh aku melangkah...
Bentangan sejarah yg berlalu, menyisa jejak wajah mu membeku...
Aku tahu itu... Sekedar ironi tanpa distansi...
Aku juga tahu... Jika di dekat mu menyerbu impian...
Aku pun tak memaksa... Aku hanya menerka gejala...
Aku merasa kau ada... Tak mengapa... Entah utopia atau delusi ad-hominem...
Jika itu terbaik jangan siakan... Aku menunggu perjamuan sepi malam ini... Senyum yg sublim buatku melebur dlm fase imajiner... Biarlah berlalu tanpa timbal-balik... Itu sebuah gramatika kecil yang tak terjamah oleh kedalaman hati... Sebuah epilog tanpa narasi penghubung... Dan kesetiaan hanya permainan tapal batas keluguan...
Jangan ragu, bentangkanlah waktu dan senyum mu kan indahkan dunia-hidup mu... Berjalanlah...berlarilah....
Semua mendaras kelelahan...
Narasi kecil yang karam dalam kelainan...
Lamat kian hilang diterpa keagenan...
Menjelang pagi...
Tiada barisan senyum menampak...
Hanya murung sinar rembulan menyentak...
Senjakala menjamah pikiran meretak...
Cinta menjauh melampaui kesejatian...
Apa yang menyisa?
Selubung hitam tanpa nuansa...
Rintikan air pun berbisik, menangguhkan hamparan sepi...
Aku hanya menunggu, mencari sandaran dalam sendiri...
Sungguh, angin pun mencibir sinis...
Menipu diri dari tatanan kosmis...
Jangan hirau wahai bunga pujaan...
Wajahnya memang seindah hujan...
Tapi jiwa ini meronta lapar desiran suci...
Absurditas penubuhan yang dipuja mimpi...
Kegetiran membusuk, kedamaian merasuk...
Memenjara diri dalam batas kehadiran...
Aku rasakan indahnya... Aku maknai rahasianya..
***
Sebuah fajar kan menerka hangat senyumnya...
Kenyataan tanpa batas menyumbui gradualitas fenomena...
Tanpa syarat, hanya dekapan tubuh tanpa organ...
Aku tak miliki mu, tapi aku bisa perbesar sejarah...
Dalam spiral utopia dan pendulum waktu...
Mendendam ribuan petaka...
Menjarah makna cinta...
Mencumbui ribuan dusta...
Sepertiga malam adalah momen asketis...
Mendedah makna kesucian...
Mendekati pintu transenden...
Ego telah menjamah alur esoteris...
Biarkan berjelaga walau tanpa cahaya...
Titik sadar pun memacu, sebuah dimensi lain tanpa nafsu....
Itulah kedalaman dibalik kedangkalan...
Dihadap banalitas kuasa, dibalik keterbatasan nalar...
Itulah cinta tanpa hasrat penuh luka...
Didalam sekat kesadaran, diluar pekat alienasi...
Semuanya melebur di dalam sepi...
Didalam keteduhan nurani untuk senyum sang mentari pagi...
***
Lekat udara malam menjajah nalar kuasa...
Kala hitam membaja dipermukaan mata...
Sebuah cinta hanya rasa tanpa makna...
kau adalah inspirasi terkelam...
Menikam hasrat dalam sekam...
Begitu indah, ketika sepi menceritakan damai...
Bagai anak senja menuai cahaya mentari...
Atau mitos absurditas Sissifus?
Pertaruhan dimulai!
Kembali lantangkan suara bersama keadilan...
Walau sang ratu adil sedang mengigau galau...
kebodohan konservatif yang menyejarah...
Tanpa logika, tanpa potensi, tanpa aporia...
Bongkar semua muatan ideologis!
Relativitas adalah ontologis!
Matilah-mati! Tak ada apa-apa kecuali HAMPA!!!
***
Ketika hidup dilabeli hitam-putih...
Semuanya menuju satu perkara...
Tahta, harta... Benarkah hidup semunafik ini?
Tuhan-tuhan baru pun mengada...
Para pagan membumi kembali...
Dibodohi libido dan nalar mekanis...
Keteraturan adalah kitab suci...
Sebuah pandangan-dunia tanpa titik setia...
Scizofrenia tanpa awal, tanpa akhir...
Leissez-faire!!! Homo homini lupus!!!
Adagium semu berfigura wajah lugu...
Hukum rimba adalah syarat imperatif!
Maka altruisme hanya dongeng utopia...
Biarlah wajah cantiknya menghias layar flatron...
Atau manipulasi eksesif sang MC adalah kebenaran sejati...
Ah...itu hanya omongan lugu para pujangga...
atau para pemuja kesejatian yg skeptis saja?
Entahlah...dunia!? Aku mau menikahi mu tapi tak mau aku diperbudak oleh mu!!!
***
Lelah bersembunyi... dibalik mutilasi menopengi diri oleh keliaran citra... Bermunajat hampa menikam norma budaya... Wajahnya begitu sempurna lampaui gradasi cahaya.... Sayang, ia telah berpunya... Saat sepi adalah rumah terindah... Hentakan sang pengelana malam adalah nada kesejukan... Bertadah remah kaca pantulkan hujaman akidah... sesat adalah mereka, suci adalah kita? Tanpa celah, tanpa prahara, tanpa ruang imajinasi... Linier terkendali pucatnya interpretasi satu bahasa... Cinta pun digiring dalam permainan gaya kits... Sampai kapankah suara perlawanan itu dikebiri? Dalam relasi kuasa tak setara... Aku menunggunya, sang 'liyan'... Ya! Akulah pecundang! Karena pahlawan hanya bualan dalam mitologi!
***
keteduhan sunyi beringin beserta raungan lemas sang orator...
Kian meninggi menyengat pori-pori...
Mentari semakin berporos meninggi...
Diam, beberapa jarak konstan...
Para pelayat telah bergumul, menunggu masa tengat...
Nada beku dan wajah kegetiran, menyengat arus sesaat...
Cinta adalah materi tanpa bentuk, menuju genealogi kehampaan...
Ketika jalan pulang tertutup...
Ketika keteraturan adalah norma...
Ketika perubahan hanya wacana...
Menolak tirani bersenyawa pluralitas...
Kita kembali.... Kematian adalah jalan, menuju damai, mencekat sekat hasrat... Menaja ruang transendensi, kembali pada esensi... Selamat jalan...
***
Tak dengarkah kalian?
Para komprador sedang bernyayi...
Meraup untung atas nama kepalsuan...
Tak lihatkah kalian?
Para pemodal menjarah hak asasi...
Memakan nilai-lebih atas nama produksi...
Keadilan? Hanya bualan para representatif...
kemanusiaan? Hilang ditelan represi ingatan...
Dimana yang asali? Bersembunyi dibalik kuasa simbol...
Eskalasi pembodohan terpampang tiap hari...
Kesadaran "kemanusiaan" kita telah direnggut interpelasi hasrat...
Terminal mode jadi ukuran sejati...
Baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek, sakral-profan, semuanya terpenjara dlm homogenisasi...
Semuanya memalsu dalam tanda...
Penanda hanya permainan tanpa titik kendali...
Maka rasakanlah kematian ini...
Dan logika kita telah diprogram layaknya mesin...
Selamat menjejaki paradoks multiplisitas... Mari rayakan indahnya kepalsuan ini...
***
Adakalanya sebuah ego menjamah... Berkawan sepi tanpa titik kembali... derajatnya begitu palsu, cintanya perlahan berlalu... Wajahnya mengawang semu... Antara keberanian dan phobia masa lalu... Sesublim angin malam, seindah lentera temaram...
Ketakutan kembali menerka!!! Sebuah sampar yg tak ku mengerti... Penghakiman nilai dan nalar pecundang... Entah Sang causa prima pun terasa makin jauh... Dimana? Aku rindu, aku haus rona itu... Diakhir malam ini, sebuah sunyi adalah janji, sebuah hampa adalah ekstasi, sebuah gelap adalah keberADAan.... Dan nyawa sepi begitu berarti... Menerkam cinta dibalik noumenon tersembunyi...
***
Dibawah kaki malam beserta langkah kian menyepi.... Sebuah gua, itulah tampaknya bumi manusia bagiku... Segalanya sama, segalanya tak berharga, miskin nilai, miskin makna... Dimanakah cinta? Hanyakah sekedar kehendak berkuasa? Dalam jejak nalar tanpa aporia, hanya episentrum gelap menggeliat... Aku manusia buta, berlindung dibalik horizon cahaya... Kita pernah bersama menuai tawa dalam rahasia, sungguh menggema.... Benarkah kita telah mati? Atau Tuhan telah kita bunuh bersama hening? jgn kau bohongi nurani!!! Kembalilah bersama angin malam menuju resultan awal... Menangis riuh seperti bayi... Mungkin kita kan jumpa bersama waktu... Ketika kau dan aku tak berhasrat kobarkan perang dihati... [Selamat malam]
***
Ditengah keriuhan sepi... Menari-nari terus tanpa tempat menambat diri... Tanpa suatu penanda, tanpa rumah asal, tanpa tujuan akhir., tanpa nostalgia: yg ada hanya sebuah tanah air pikiran yg telah hilang... Aku membakar teks ku sendiri, menghapus jejak langkah q sendiri, tertawa kearah jalan q kembali,dan ia akan menari, diluar kebenaran dan "rumah ada", lupa secara aktif....
Mari menari... Mari tertawa... Mari berlupa...
***
Sebuah parodi terpampang bebas sejak kuasa tak punya kuasa....
Sejak daya magis kapital membius konstitusi...
Sejak sang tiran sujud dibawah kaki para kartel....
Kami semakin bingung oleh manipulasi statistik...
Maka biarkan tangan besi pasar berbicara sendiri...
Tanpa legitimasi, tanpa proteksi....
Orang kata negeri kita kaya, penggalan surga?
Namun itu hanyalah narasi utopia yang telah lama jadi mitologi...
Aku pun bingung lihat kelakuan para orang tengahan...
Dijebak fetis komoditi, berakhir konsumsi...
Tapi ribuan lain masih lapar, terhimpit sistem despotik...
Revolusi hanya narasi kecil ditengah derasnya akumulasi nilai-lebih...
Dalam kuasa tak setara, biarkan sang liyan dapatkan haknya...
Namun jgn biarkan rakyat dibodohi mental budak...
Diajari mengemis onggokan uang BLT yg tak seberapa...
Kami hanya inginkan kesejahteraan tanpa harus meminta-minta...
Selepas kuasa tanpa citra imagologis...
Berontak walau nada sumbang...
Ketika suara perlawanan mulai surut...
Bersiaplah kita jadi korban bualan para komprador...
Maka lantangkan suara atas nama keadilan!!!
Jgn gentar dg moncong senjata...
Jgn takut semburan water canon...
Karena keadilan hari ini, hanya bisa kita rebut melalui kebersamaan...
Maka mentari kan berjalan bersama tawa anak pinggiran...
***
Aku adalah fasis! Ketika kau tak kunjung datang.... Membawa cintamu sesublim embun pagi.... Aku adalah fasis! Ketika pikiranku tak kau redam....
Bersama kasihmu semanis madu.... Langkah yang kian jemu, wajah yang kian parau, senyum yang kian pudar.... Jauh semakin tak terlihat, hanya bayangan utopia yang mengawang.... Sepi yang sungguh indah.... Seindah ketidakjelasan ini.... Tentang narasi yang tak tersampai.... Dalam epilog malam ini.... Selamatkan nyawaku dalam galau.... Selamat malam [pagi] bagi engkau yang merasa.... Mendekati batas transenden, menjejaki dunia idea...
***
Berdamai dg pendulum sepi...
Hanya dalam malam ku bersembunyi...
anak-anak doktrin dan pengetahuan menaja hampa re[present]asi....
Hilang bersama rautan kepalsuan dan hasrat terlaknat....
Menandai setiap nalar yang tak patuh, seperti bayangan tanpa bentuk....
Tubuh ku rapuh tak tersentuh, oleh suatu naungan....
Tanpa kepastian, meninggalkan epifani dalamnya makna....
Hingga celah cintanya berputar tanpa logos yang memusat....
Mengimaji seperti merpati yang setia bersama daranya....
Apakah malam ini semakin memalsu?
Entahlah, aku hanya menerka jejak wajahnya...
Dalam horizon akal budi, ku reduksi fenomen yang menyejarah...
Hingga retaknya sang liyan dan multiplisitas pemaknaan tersembur dipermukaan kesadaran....
Maka, izinkanlah cinta hanya membual tentang janji akumulasi nilai-lebih....
Dan biarkan fenomen terserak berbicara sendiri....
***
Terdengar pekat retorika politik...
Tentang harkat hidup, tanpa legitimasi...
Bualannya sungguh meyakinkan, berlindung dibawah statistik dg logika menyesatkan....
Pintar memang pintar kau putar balik fakta demi citra dan kekuatan liar pemodal...
BUMN kita akan jebol, begitu fasihnya bak sampar yang menyebar....
Matikah nurani? Demi sebuah kepalsuan yg banal? Iihatlah rakyatmu!!! Makin lapar dan marjianal....
Senjata layar panoptikon yang kau legalkan dalam tangan besi hukum....
Membungkam suara sesak para pahlawan jalanan.... Dengan aparatus ideologis yang menyebar dan hegemoni kultural....
naikan lagi....dan lagi.... Maka biarkan ribuan miskin baru muncul dijalan-jalan kota ku....
***
Aku menunggu mu, jika kau masih menunggu...
Terkadang rasa untuk mu begitu besar, namun begitu jauh aku melangkah...
Bentangan sejarah yg berlalu, menyisa jejak wajah mu membeku...
Aku tahu itu... Sekedar ironi tanpa distansi...
Aku juga tahu... Jika di dekat mu menyerbu impian...
Aku pun tak memaksa... Aku hanya menerka gejala...
Aku merasa kau ada... Tak mengapa... Entah utopia atau delusi ad-hominem...
Jika itu terbaik jangan siakan... Aku menunggu perjamuan sepi malam ini... Senyum yg sublim buatku melebur dlm fase imajiner... Biarlah berlalu tanpa timbal-balik... Itu sebuah gramatika kecil yang tak terjamah oleh kedalaman hati... Sebuah epilog tanpa narasi penghubung... Dan kesetiaan hanya permainan tapal batas keluguan...
Jangan ragu, bentangkanlah waktu dan senyum mu kan indahkan dunia-hidup mu... Berjalanlah...berlarilah....
Komentar
Posting Komentar