Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2012

mélik

Berjalan disekitar malioboro, kita akan menemukan mal-mal, serta deretan etalase-etalase. Mungkin karena mall adalah sebuah repetisi: pengulangan. kita bisa berpindah dari yang satu ke yang lain dan mengalami hal yang sama. Toko-toko itu memajang merek yang sama pula dari satu bangunan ke bangunan lain.  Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpanjangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang berulang kali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi. ia juga mengulang penanda yang memesona. memberi efek imajiner dalam diri kita, sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi angan-angan kita.

ada-dalam-dunia

Heidegger bilang kita ini adalah dasein, manusia yang ada-dalam-dunia yg selalu berlumuran waktu. Ketika hidup yang penuh dengan ambiguitas ini tejejak kita sudah meyadari bahwa kita diserbu dengan jutaan makna. Metafor-metafor selalu menghias langkah gerak kita, kita pun akan berhadapan dengan dunia 'luar',

Momen solilokui

aku merasa mengenalnya... semakin ku dekap semakin jauh justru tak ku kenali... seperti orang baru yang ku temui namun dengan memori lama... antara hari ini dan masa lalu yang pernah hadir... kehadiran yang tak pernah menemukan telos... tak bergeming, hilang dalam aksentuasi cahaya... seperti moralitas yang kehilangan maknanya oleh keserakahan... seperti cinta yang bersembunyi dalam sekam oleh bualan hasrat... sebuah kehilangan yang tak termediasi bahasa... apakah ini adalah momen akhir? mungkin ketiadaan adalah awalan, untuk kerinduan yang terlalu lama... sehingga momen akhir akan tertunda jejak wajahnya... kecantikan logosentris yang menyisa diruang bebas kuasa...

Cinta yang dipersepsikan, cinta yang dikomodifikasikan

Mendengar istilah “cinta” mungkin kita akan segera membayangkan suatu bentuk ( form ) yang kita “anggap” sebagai hati yang memiliki kualitas warna pink . Setidaknya itulah konsepsi umum yang kita terima sebagai sebuah representasi dan “kebenaran” tentang cinta. Membicarakan cinta-pun tak semudah seperti membicarakan pertandingan final liga champions atau mode dan tren terbaru fashion. Yang jelas banyak interpretasi terhadapnya. Mungkin cinta itu kita persepsi melalui pengalaman empirik yang menyertai langkah gerak kehidupan kita; ada yang bilang menyakitkan, menyenangkan, mencerahkan, dan mungkin membuat galau.

Post-kolonialisme: Sebuah afirmasi atas yang-Lain

Keterlemparan manusia dalam dunia eksistensial menyisakan beragam rentetan alur sejarah yang berliku. Tak pelak "keterlemparan" itu menjadikan manusia sadar akan kondisinya yang penuh dengan kekurangan (lack). Manusia hadir dimuka bumi ini secara esensial "berwajah" kosong, seperti kertas putih yang masih bersih, ia hanya mempunyai potensi untuk mengidentifikasi diri dan dunianya. Ia dibekali fikiran yang dengannya berguna untuk mencari aksioma dan premis-premis yang dikonstruksinya menjadi logika. Ia punya alat pengindraan untuk mengenali dan merasai dunia material sebagai wujud dari "realitas".