Ia menangis, Ia menangis untuk
lelaki di atas kuda kurus yang akhirnya sampai di
sebuah dataran di mana fantasi adalah
hijau hujan yang hilang ujung di sungai asing. Ia menangis, dan lelaki itu mendengarnya."Aku
Don Quixote de La Mancha majenun yang mencarimu."Tubuhnya agak tinggi, tapi rapuh dan tua sebenarnya. Ia berdiri kaku.Cinta tampak telah menyihirnya jadi ksatria dengan
luka di lambung. Tapi ia menanti perempuan itu melambai dalam interval gerimis sebelum jalan ditutup dan mereka mengirim
polisi, tanda waktu, kematian. Ke Arah Balkon, Ke arah balkon itu Don
Quixote de La Mancha bertanya, "Ke manakah jalan ke kastil yang dulu ada dan kini tidak?" Seorang perempuan menengok ke bawah sebentar. Rambutnya yang lurus, hitam,
membuat bayang pada langsat
pipinya. Matanya kecil, mengingatkannya pada punai yang terbidik.
"Engkau
ketakutan!" Dan laki-laki yang merasa dirinya
gagah itu pun turun dari kudanya. Ia berjalan
mendekat. Ia melihat, sekilas, tangan Peri Kesepian mengangkat
tubuh rapuh itu ke dalam sebuah gumpalan mega, di mana setiap
perempuan akan ditinggalkan."Jangan!" Don Quixote
menghunus pedangnya yang retak. Tapi semua bergerak pelan.Aku Akan Tugur Aku
akan tugur sepanjang malam di puri tua itu, Dulcinea. Menjaga
mimpimu, meski kau tak pernah ada. Jalan putih,
bulan putih, fajar jauh, aku sendiri seperti
tonggak sebelum gempa. Kutulis sajak yang lelah, mungkin di
pelana dingin seperti somnabulis terakhir yang
menempuh pasir, sepanjang malam dari tingkap
itu, Dulcinea,dengan kasut sedih kata-kata Rocinante Rocinante.
Tukang cukur dan padri dusun mendengar alarm itu.
luka waktu, pada
ringkikmu, jerit yang panjang, dari sunyi sierra, tiga jam nasib sebelum ajal tiba. Ada seseorang yang
menengok ke luar dan berbisik,
"Padri,kulihat rambut suri yang rembyak
gelap."Itu rambutmu, Rocinante, seperti ilalang bukit yang basah merah karena darah.Tapi katakan, apa sebenarnya yang telah ku kalahkan? Bintang, batu karang, mimpi manusia,atau kesedihan? Aku takut. Maka jika esok aku mati, dengan kaki tetap di
sanggurdi,bawa aku ke laut, Rocinante,dari kegilaan ini. Sancho Panza Mendiktekan Sepucuk Surat buat Istrinya Telah kuikuti seorang yang murung, Teresa, ke hutan gersang sebelum Murcia: ia yang menorehkan pedangnya ke pohon-pohon di batas ngarai. Aku tahu ia terbujuk soneta yang sedih dan kecewa pada repetisi sungai. Berhari-hari ia
berjalan seperti ksatria Amadis menyimpan kwatrin kesetiaan seperti menyimpan
tangis. Seakan-akan ada khayal dan kata yang menghukumnya.Tapi
ia tak mengacuhkannya. Tiap pagi ia lafalkan nama seorang gadis yang dikenalnya dalam kaligrafi, sebuah X di pucat
porselen
–
X: sesuatu yang tak diketahui, atau X yang mungkin dari "Xin,""Xin": barangkali
"hati."Dan ia ucapkan itu semua dengan kesunyian di matanya.Sementara
Maut orang Mur mengejarnya
dari
arah matahari, hitam dan tajam, Teresa, seperti
sabit tua, meskipun ajal itu konon pernah
berkata,"Don Quixote, surga telah
melupakanmu, neraka tak mengenalmu."Aku Pergi,
Padri Aku pergi, padri, ke dalam olok-olok musim semi. Dengan serenade
yang lucu. Dengan tema yang aku tak akan tahu. Mimpi merah padam. Brahi tujuh
radang. Dan rindu: mungkin sebuah narasi yang tak panjang. Tapi aku pergi. Aku
pergi meski ada waham dalam hujan, seperti katamu. Aku pergi karena ada kegaiban
di dataran. Yang kau tak tahu.Tidurlah, Sancho Tidurlah,
Sancho, dengan dengkur yang sederhana. Kosmos telah
melupakanmu. Tidurlah dengan mimpi yang tanpa arah, dengan lelap
dalam sihir orang-orang yang tak berdaya.
Tidurlah dengan ambisi yang mati. Kesabaran adalah
mawar yang merambat, lumut yang tak takluk karena salju.Tidurlah untuk malam
yang tak terulang lagi. Jin-Jin
yang menyulap kincir dan gergasi telah
terbang ke bukit Algiers dan tak akan kembali ke plateau ini.
Pada pukul setengah
lima.pagi menampik kelelawar yang memekik. Pada pukul setengah sebelas hari akan membakar
amsal para rasul yang tak dimengerti. Dan hanya akan ada
matahari Jalan lurus ke
Albacete. Cinta yang cepat
selesai. Kisah kita yang klise. Duduklah di Tempat Ini Duduklah di tempat ini,
Sancho. Di pulau imajiner ini waktu adalah gurau.
Orang-orang berbincang tentang apa arti sokabila ditanam di dekat tanjung, apa
arti ranting yang disunting dengan
sajak, apa arti korsase yang disematkan pada
topi –dengan kata lain, mereka ingin berkata, hidup terkadang tak sia-sia, ada kerja, ada politik, dan sedikit amal ketika tuhan tampak dari lobang langit dan sorga seperti lantai sehabis dipel, hijau, hijau,
hijau…
Duduklah di tempat ini, Sancho.Di Teater BonekaDi teater boneka
ini,siapakah yang akan mencegahorang Mur datang kembalimenguasai lembah?
Tujuh ksatria gugur.Alir Algodor gelapoleh darah.Mungkin ada kastil
berikutnya yang akan jatuh.Sebab suara jerit telah memekakkan pentas sebelum
tembang Visigoth dari bukit-
bukit…
Di sini adegan berhenti.Penonton hening.Sampai tiba-tiba dari baris depan
seorang lelaki berdiri,"Tidak!"
–
aksennya asing
–
dan ia menghunus pedang: "Beri aku bagian
realitas yang hilang!" Ruang itu pun
termangu.Tapi di teater boneka tak ada yang bisa
disajikan selain gerak dan kata-kata."Para
penonton harap tenang!"sang penata lakon akhirnya bersuara."Tapi aku
datang untuk membebaskan," jawab Don Quixote gemetar."Saya tahu.
Tapi kenyataan tak bisa saya temukan
lagi setelah layar
itu."Ada yang sayu di kalimatnya.Tapi tak lama kemudian di teater boneka
ini pentas terbentang lagi. Di antara layar mereka lihat Don Quixote: ia berdiri menghadang orang Mur – ia menghadang orang Mur
datang kembali.
Justru karena tenung, telah diselamatkan kita dari jemu zaitun dan warna sama pohon-pohon encina. Memang masih ada sore yang hanya itu dan dusun yang tak berubah. Tapi ternyata hari bisa berkelindan dengan mimpi, dan kau dan aku lahir kembali, tercengang dalam cinta yang fiktif, percaya pada harap yang tak bersungguh-sungguh. Justru karena tenung, aku tak akan membebaskanmu. Kemarin kucambuk sendiri tubuhku, sakit, agar bangun,tapi apa yang terjadi?
Mimpi itu hanya berubah sedikit: bilur di kulit itu jadi garis biru, seakan huruf pertama Sayid Hamid, sang pencerita yang membuat kita ada. Sejarah memang bisa seperti luka gores. Tapi lihat, hidup adalah tenung: aku milik sahibul hikayat, engkau kisah Cervantes. Dan kita berbahagia. Dan kita berpura-pura.
30 menit sebelum Sayid Hamid Benengeli menghentikan hikayatnya, Don Quixote
telah merasa sesuatu tengah
terjadi.Senja mencegatnya di jalan turun ke utara, setelah San Cristobal. Duduk
gontai di punggung Rocinante, ia melihat
ke langit, mencari arah. Tapi bintang tampak kembung, bimasakti keruh, dan di belakangnya, tak ada lagi rasi salib selatan. Dataran kering di bawah itu seakan-akan negeri yang tak pernah
memanggilnya. Ia merasa letih
sebenarnya, setelah Sierra Morena. Ia berbisik, seperti berdoa: "Jika aku boleh memilih, Sayid, aku tak ingin di sini lagi. "Tapi malam adalah monolog pohon-pohon. Bahkan di tebing Guadalen yang
hitam, suara arus ikut mengambil
alih percakapan. Barangkali kita hanya
sebuah parodi, ia ingin berkata lagi, tapi ia tak yakin kepada siapa.Sancho,
teman yang setia itu, hanya memandangi gerak sungai. Ia mungkin telah merasa, hari tak akan lagi berani sia-sia: Dulcinea adalah cinta yang gagu, tuanku,
imajinasi adalah kabut pagi. Dan selebihnya sunyi. Don Quixote mengerti.
Pada saat itulah Sayid Hamid Benengeli mulai membuat tanda terakhir dengan dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti
melankoli. Meskipun yang ingin ditulisnya adalah epilog yang berbahagia:
"Dan Don Quixote pun melihat, dengan setia pahlawan terakhir telah
direnggutkan jantungnya." "Ya, di jurang
gua." Pada bulan yang takabur ku kaitkan tali, dan satu stanza mazmur dan potret seorang mati Mungkin potretku, mungkin kesepianku, mungkin warna dalam cermin: sesuatu yang hampir
biru.
Kau tak ‘kan mengenalku, Sancho.
Langit menghapusku. Maka biarkan kupanjat
tali ke bulan takabur, angin
yang abadi
2007
***
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Buku puisinya
antara lain Pariksit (1971), Asmaradana (1992), dan Misalkan Kita di Sarajevo
(1998).
Komentar
Posting Komentar