Langsung ke konten utama

Islam agama perdamaian



 Sejatinya, agama islam adalah sebuah agama yang sangat menghargai perbedaan, pluralitas, dan menjunjung tinggi perdamaian. Dari asal katanya saja islam dapat bermakna kepasrahan dan ketundukan kepada Tuhan Yang maha esa. Keesaan Tuhan merupakan prinsip yang sangat mendasar, yang mana ajaran ini kemudian disebut Tauhid. Hal ini tidak hanya mencakup agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, tetapi juga semua agama yang dibawa oleh utusan Tuhan—baik yang disebutkan dalam al-Quran ataupun tidak—disebut orang islam. Hal ini sudah barang tentu berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang tunduk dan pasrah kepada Allah semata-mata.
Namun, belakangan agama islam seringkali dicap sebagai agama teroris yang menebar mala. Penilaian terhadap islam pun seringkali tidak secara objektif namun lebih karena kepentingan politis karena like or dislike yang berdasar doxa tanpa ihwal referen yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah didalam sejarah, setiap agama entah kristen ataupun yahudi juga seringkali dipelintir untuk kepentingan kekuasaan? Bahkan atas nama ‘membela Tuhan’, ajaran yang dirasa tidak relevan dengan kepentingan busuknya tersebut ditutup-tutupi, pendek kata agama juga semacam teks yang tak bebas dari pengandaian interpretasi. 
Dalam islam, Tauhid adalah prinsip dasar dalam ajarannya. Ia dapat bermakna hubungan dengan Tuhan (Teosentris) dan kemanusiaan (antroposentris). Tauhid yang dimaknai mengesakan Tuhan itu kemudian dalam implementasinya dalam dimensi kemanusiaan adalah kesejajaran hak, sederajat, dan setara. Tak ada manusia satu yang lebih unggul daripada manusia lain, orang arab tak lebih unggul daripada orang non arab, orang kulit putih tak lebih utama dari orang kulit hitam. Maka dari itu, kesetaraan kemanusiaan itu dalam hubungnannya dengan Tuhan dinilai berdasarkan ketakwaannya. Taqwa dalam teks suci Al-Quran memiliki makna sangat luas. Ia mencakup semua kebaikan, tidak terbatas sekedar pengabdian dan kesetiaan yang tulus kepada Tuhan dengan ritual keagamaannya, tetapi juga semua tindakan yang baik dalam rangka hubungan antar manusia yang berdasarkan moral. Bisa dikatakan agama islam merupakan agama yang Teo-antroposentris.
Prinsip ini tentu saja membawa implikasi rasional bahwa manusia, siapapun dia, dengan latar belakang apa saja, selalu sudah dalam pengandaian alamiahnya untuk menghargai dan menghormati antar sesamanya. Berjuang bersama-sama untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan universal bagi umat manusia. Tuntutan untuk menegakkan keadilan—dalam islam—tak hanya bagi kelompoknya saja, tapi juga bagi the other yang hidup dalam dunia bersama, kepemiliikan bersama atas permukaan bumi:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ([5]:8)
Kebebasan, kesederajatan, persaudaraan, keadilan, dan keindahan dengan demikian adalah konsekuensi logis dari ajaran Tauhid. Ini semua merupakan norma kemanusiaan universal yang selalu dijunjung tinggi oleh Islam. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas manusia dimuka bumi ini selalu diarahkan untuk menggapai nilai-nilai kemanusiaan tersebut—yang sejatinya juga merupakan pengabdian kepada Tuhan juga. Dari sini pula kita dapat mengatakan dengan tegas bahwa islam hadir untuk manusia dalam rangka menegakkan moralitas kemanusiaan, dan pengabdian kepada nilai-nilai kemanusiaan merupakan puncak dari seluruh pengabdian manusia kepada Tuhan—Allah SWT.
Konsekuensi lebih lanjut dari cara pandang tersebut adalah bahwa seluruh sumber legitimasi, referensi, dan rujukan keagamaan yang memuat pesan moral kemanusiaan universal tersebut harus menjadi dasar dan prinsip bagi seluruh cara pandang, pikiran, konsep, interpreasi, perjuangan, kerja, dan aktivitas manusia didunia ini. Sebaliknya, semua pikiran pandangan dan tafsir agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dengan sendirinya harus dibenahi. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (wafat 1292 H) dengan tegas menyatakan bahwa adalah mustahil (tidak masuk akal) jika agama, apapun namanya, diturunan Tuhan untuk mendatangkan ketidakadilan,dan malapetaka atas manusia. Jika hal ini terjadi maka pastilah interpretasi, regulasi, atau aturan-aturan positif yang memberlakukannya tidak tepat.
Saya kira kita perlu mengingat bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat dintara makhluk lainnya. Al-Quran menyatakan hal ini dengan sangat serius dan eksplisit, “Kami sungguh memuliakan anak-cucu Adam” ([17]:70). Anak cucu Adam adalah seluruh manusia yang berada didunia ini, mungkin dianggap aneh, bahwa Tuhan menghormati ciptaan-Nya sendiri, tapi senyatanya ini difirmankan oleh Tuhan melalui ayat-ayat sucinya. Ayat ini setidaknya menegaskan penghormatan Tuhan kepada manusia, tidak terkecuali semua manusia. Manusia ya manusia, “bintang yang berfikir” itu, kata Aristoteles, atau seperti wujud dan eksistensi kita di dunia ini.
Mengapa Tuhan menghormati manusia? Hal ini jelas karena manusia mempunyai keistimewaan lewat akal-budinya. Manusia diberi mandat untuk mendiami dan menjaga bumi seisinya dengan anugerah akal yang luar biasa hebatnya. Tugas manusia adalah menciptakan kehidupan yang sesuai dengan takdir Tuhan yang terpantul sempurna pada gramatika alam semesta. Sebagaimana bumi dan matahari, bulan dan bintang, yang tak keluar dari sumbunya, mereka dengan harmoni selalu melewati garis edarnya yang tetap, begitu pula rasio manusia yang seyogianya mengikuti harmoni alam dan kesemestaan rasio agung. Tugas dan amanat manusia sebagai Khalifah fi al-Ardh sebagai satu-satunya yang “berani” mengemban amanah dan titah Tuhan. Sebagaimana Al-Quran:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” ([33]:72)
Maka dari itu anugerah akal yang luar biasa dahsyat ini sudah semestinya kita gunakan sebaik mungkin, dengan daya dan rupa untuk membentuk kehidupan yang bermartabat, berkeadilan, dan bermoral. Kita, dengan akal ini, diberi kebebasan, namun kebebasan yang retak, kebebasan kita adalah kebebasan untuk memilih sejauh dalam pertimbangan rasional, atau dalam bahasa Immanuel Kant disebut imperative kategoris. Kita bebas, kita merdeka, tapi kemerdekaan kita dibatasi oleh kemerdekaaan orang lain yang berada diantara kita, sebuah liyan (the other) yang juga bagian dari kesadaran subyektif kita. Maka jelaslah, kebebasan itu meletakkan sebuah keniscayaan tanggung jawab. Karena kita hidup dalam dunia bersama dengan orang lain. Pendek kata, dengan tidak meletakkan tanggung jawab dalam kebebasan kita tersebut yang akan terjadi tentunya adalah konflik, situasi chaos. Manusia kemudian menjadi homo homini lupus yang memangsa sesamanya, merusak keunikan dan keragaman yang-lain dalam homogenisasi dan penyeragaman yang sejatinya malah merusak dunia yang niscaya plural ini.
Maka, pendayagunaan akal adalah nicaya, sebuah keharusan. Segala macam intoleransi terhadap kelompok lain yang marjinal dan beda yang mengatasnamakan Tuhan dan agama sudah saatnya tak dilakukan lagi, apalagi elegy yang kemudian muncul karena kekerasan adalah hal yang sama sekali tak dilegitimasi oleh ajaran islam. Tuhan sungguh maha bijaksana ketika firmannya berbunyi “Tidak ada paksaan (ikrah) dalam agama” ([2]: 156) di ayat yang lain juga tertera “Apakah kamu akan memaksa orang lain dengan kekerasan sampai dia menganut kepercayaan agamamu?”([10]:99)
Begitu jelas, bahwa agama Islam adalah agama perdamian, agama rahmatan lil alamin, yang tak hanya untuk manusia tapi seluruh alam. Semua kehidupan yang bernafas didalam kosmos ini. Jadi segala macam intoleransi dan kekerasan yang berbaju islam itu sejatinya bukanlah penafsiran yang tepat, terutama di zaman kontemporer ini yang mengedepankan dialog dan diskursus komunikatif. Seperti kata Derrida, zaman ini adalah zaman “kembalinya agama-agama”, begitu pula islam, yang sejatinya menjadi suluh yang menerangi peradaban, dengan ajarannya yang penuh dengan kedamaian dan cinta kasih. Maka, Sudah saatnya agama tak menjadi biang kekerasan, semua sudah jera dengan “pembela Tuhan” yang bengis kepada yang tak sama, wajah Islam yang santun dan inklusif sudah waktunya ditegakkan demi hidup yang damai, adil, dan sejahtera, Baldatun tayyibatun warrabun ghafur.
Wallahu A’lam.







Komentar

Populer