"...dont walk behind me, i may not lead. dont walk in front of me, i may not follow... just walk beside me and be my friend..." --Albert Camus
Barangkali, terlalu naif untuk mengkalkulasikan hidup pada angka-angka dalam sebuah kesimpulan yang pasti. Garis kehidupan terlalu berliku untuk diramalkan. Semua tak pasti, kita tak tahu peristiwa apa yang akan terjadi. Seiring waktu yang terus bergulir, terkadang terasa lambat dan tak jarang terlalu cepat untuk dibawa pulang. Seperti seolah baru saja kemarin aku mengenal kehidupan ini, tiba-tiba saja, kini semua telah pergi dan slih berganti datang kembali dengan warna yang lain.
Aha…sebuah cerita telah terukir setia dalam bait kehidupan. Pada momen perkuliahan yang kadang membosankan, tak jarang penuh kesan, semerbak kejadian aneh, absurd, lucu, impresi perasaan, dan kadang pertautan cinta. Semuanya sudah jadi kenangan, ternyata!
Terkadang aku membenci masa lalu, karena dengan mengingatnya aku semakin terjebak dalam alusi dan romantisme yang membikin hati bergumam sayu. Tapi, aku juga menyukainya, sebab yang telah terjadi membuat kita berfikir dan merenungi kembali, atas nama yang tak terkatakan pula semua rasa yang terpendam. Sudah empat tahunan aku bersama merajut waktu bersamamu, kawan! Hingga hari ini, semua disini mungkin sudah tak hadir kembali, hanya jejak-jejaknya yang tersisa dalam hening sadar memori berkapasitas jutaan mega byte yang tak berbatas.
Aku ingat, kala kita bersama menuai peristiwa. Pada foto-foto yang diam menyiratkan makna. Atas wajah-wajah yang menghimbau untuk segera menyapa. Semua wajah itu tersenyum tanpa gurat lesu dan keluh angkuh. Dimulailah, sebuah rute perjalanan. Saat semua melebur bersama riuh tawa, dari Ruang Kuliah, Kantin, Kos, sampai Kaliurang, depok, Sadranan, Sundak, hingga Jungwook… semua sudah jadi lembaran cerita yang tersimpan dalam visualisasi atas nama mimesis dari kisah-kisah terindah, terkesah, dan yang menyisa luka sekalipun.
Kelas ini sudah memberi ragam inspirasi serta ribuah fragmen makna yang tak bisa aku hitung satu per satu. Meskipun persahabatan tak menuntut apa-apa, tapi tak bisa dipungkiri setiap perjumpaan akan sisakan relung rasa. Dan bagaimanapun sahabat tetap abadi, tak seperti pacar yang menuntut keberlebihan. Temanku, kelasku; kalian telah sisakan intertekstualitas bahasa yang berpahat beragam makna tertoreh dalam impresi subyektif terdalam.
Semuanya…Cah kentir bagi sang nreman lanang…serta genk-genk cewek yang punya ‘gerakan’ primordialnya masing-masing, entah kenapa cewek itu gak bisa padu, selalu terpecah dan terbelah dalam sektarianisme.
Apa yang kita cari, barangkali tinggal beberapa langkah lagi. Kita semua sudah menjadi manusia dewasa yang tahu tanggung jawab serta yang terbaik bagi diri kita masing-masing. Jalan kita perlahan telah terbuka, mau jadi apa saja, pada diri sendirilah kita yang bakal melewati arus deras sistem habitus dalam ruang sosial.
Seperti hari-hari terakhir tentang semua kegiatan kita sekarang. Dengan ragam persoalan; dari skripsi, kuliah yang belum kelar, nyari kerja, nyari jodoh, dan apa saja, bahkan jadi pengangguran yang semakin menambah daftar panjang orang tak berguna dinegara ini.
Secercah kebosanan dan rasa suntuk dalam rangka membunuh waktu yang malu berlalunya.
Secercah kebosanan dan rasa suntuk dalam rangka membunuh waktu yang malu berlalunya.
Dari sebuah penjuruan cup-cup, laknatnya buku-buku, hingga kabel kuning yang membuat akhir-akhir ini aku dan seorang kawanku sibuk bersama “the message from the Lion had…”, atau cinta yang semakin busuk ditelan remah pagi dalam ornamen wajah memucat pasi?
Ah…Entah kenapa pula, akhir-akhir ini aku jadi kengen masa kuliah dulu…
Komentar
Posting Komentar