“The essence of equality is not so much to unify as to declassify, to undo the supposed naturalness of orders and replace it with the controversial figures of division.” –Jacques Ranciere
Seringkali dengan sulitnya hidup dalam rangka aktualisasi kebutuhan ekonomi, kita semakin jadi lupa diri. Dihadapan realitas kehidupan yang semakin menyesakkan dan berat ini, kita semakin hari semakin menjadi tak peduli. Yang kita pedulikan hanya sebatas bagaimana menghidupi diri, orang lain siapa peduli? Demikianlah secercah “realitas” masyarakat urban yang semakin hari semakin menjadi “liberal”. Semakin hari kepedulian akan yang social dan yang politik semakin luntur seiring meningkatnya persaingan hidup dan sulitnya mencari sesuap nasi.
Kita bahkan semakin anti pati dengan yang namanya politik. Banyak orang skeptic akan kondisi bangsa ini yang semakin hari semakin tak menentu arahnya. Bahkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan social lebih menjadi hiasan undang-undang dan alat propaganda para politisi yang akan mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat. Memang hal ini seakan serasa lumrah saja, karena secara obyektif dapat kita lihat sendiri dimana politik yang sejatinya sebagai “tata kelola kehidupan bersama” justru semakin hari semakin menjadi milik pribadi—diprivatisasi.
Mungkin pula persepsi atas politik itu sendiri terkadang disamakan dengan partai. Kesalahan inilah yang kemudian membawa sikap apolitis, karena memang partai hari ini cenderung anti-rakyat dan hanya mengatasnamakan rakyat untuk memenangkan pemilu.
Lantas sebenarnya apa yang salah dinegara ini? Banyak orang berapologi bahwa demokrasi kita ini sedang in progress—sedang dalam proses pencarian jati dirinya. Banyak pula yang menganggap bahwa demokrasi adalah jalan terakhir dari peradaban dunia, sebagaimana pernah dikatakan Francis Fukuyama dimana demokrasi liberal adalah system politik yang sudah final dan sesuai dengan trajektori perkembangan zaman.
Barangkali jika kita mau sedikit jujur, tentu kita akan merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari penghidupan. Orang miskin tiap hari jumlahnya makin bertambah, tapi paradox juga terjadi, dimana stratifikasi social semakin tak terperi. Pendek kata yang kaya semakin kaya, yang miskin semain miskin.
Tapi anehnya pula, kita juga semain tak peduli. Bukankah sebenarnya hidup ini structural? Dalam arti, setiap apapun yang kita lakukan akan berkorelasi dengan setiap kejadian yang lain diluar diri kita, pendek kata secara langsung ataupun tidak, tiap aksi, laku, tindakan kita selalu berhubungan dengan yang-lain. Apalagi, terkait yang-politik itu jelas-jelas sangat berdampak struktural keseluruh elemen dan entitas masyarakat yang berada dalam lingkup kekuasaan politik itu. Maka, sudah saatnya “kita” sebagai anak bangsa harus bertanggung jawab atas semua chaos yang telah terjadi dan kita harus aktif berpartisipasi dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama.
***
Politik seringkali diasosiasikan dengan perebutan kekuasaan, pencitraan, dan dominasi. Namun, sejatinya politik adalah tata kelola kehidupan bersama, untuk mencapai kesejahteraan bersama. Memang tak bisa dipungkiri ada persaingan dan dominasi, tapi bukan berarti semua itu lantas mengaburkan makna dan tujuan politik itu sendiri.
Keadilan tentu menjadi kata kunci dalam politik, sebab ketika dalam lanskap kehidupan bersama terjadi ketimpangan dan diskriminasi, yang terjadi tentunya adalah pengingkaran cita-cita politik itu sendiri. Lagipula kita, sebagai manusia, tentu mempunyai etika dalam berpolitik. Dimana sikap saling menghormati dan menghargai yang-lain mendahalui segala macam sikap menang sendiri. Apalagi melihat konteks keindonesiaan yang tak homogen, menyeragamkan semua warna itu dalam sebuah narasi tunggal tentu akan merusak tatanan yang sudah terbangun, pendeknya disintegrasi adalah konsekuensi yang harus ditebus.
Selain itu, kolektivitas yang mengedepankan kepentingan bersama haruslah mendahului segala kepentingan primordial apapun. Dalam arena kehidupan politik itu sendiri kadang dan mungkin selalu saja ada yang dimarjinalkan. Hak-hak warga Negara seringkali tercerabut atas nama kekuasaan, mayoritas, agama, ras, serta kecenderungan primordial lainnya.
Sejak zaman Yunani kuno terutama ide Platon tentang konsep Negara idealnya, sudah terjadi semacam partisi terhadap peran-peran social. Ada semacam kasta yang dibangun dalam konsep Negara Platon ini, dimana masyarakat dibagi-bagi dalam divisi-devisi dengan tatanan fungsionalnya masing-masing. Disini keadilan kemudian ditafsirkan sebagai kecocokan dengan jabatan-jabtan dlam struktur social, dan filsuf merupakan “kasta” tertinggi dari partisi ini. Dititik ini konsep politik ala Platon ini kemudian dikritik telak oleh Jacques Ranciere. Bagi ranciere, system partisi dalam Platon tersebut mencerminkan ketaksetaraan. Dalam arti ini, hanya orang yang lahir dalam kelas tertentu saja yang dapat mengakses dunia politik.
Begitu pula dengan Aristoteles yang dengan terang-terangan memosisikan budak secara tak manusiawi. Menurutnya manusia secara esensial sudah memiliki kemampuan bawaan. Kategorisasi inilah yang kemudian menjadikan diskriminasi terhadap kaum budak atau buruh dan tidak menghitungnya sebagai demos. Disinilah kemudian Ranciere menolak partisi yang cenderung diskriminatif dalam hal keadilan dan kesetaraan. Hal ini dikarenakan hanya orang yang memiliki akses sajalah yang berhak masuk dalam politik, sementara yang lain tidak dihitung dalam politik. Pada aras inilah kemudian demokrasi menurut Ranciere bermasalah dan bertentangan dengan dirinya sendiri, karena ketika demos didefinisikan ada kelompok yang sengaja tak dihitung sebagai bagian darinya.
Syahdan, bagi Ranciere kesetaraan dan keadilan dalm politik bukanlah tujuan. Kesetaraan adalah praktik kini dan bukan “diimajinasikan” dimasa depan. Dititik ini, “kita” sebagai subyek politik sudah dalam pengandaiannya untuk mengubah koordinat partisi dalam system social, sehingga subyek bisa mendeklarasikan diri bahwa: Kita semua setara!
Lalu ketika hari ini, kita dihadapkan dengan “demokrasi liberal” yang semakin memihak kaum modal dan politik sudah bertekuk lutut pada pasar bebas, relevansi apa yang bisa kita gali dari pemikian Ranciere? Setidaknya ketika demokrasi di Indonesia semakin hari semakin memihak kaum modal, popularitas, dan citra bukan karena proses, gagasan ranciere ini bisa kita jadikan pijkan untuk “melawan” setiap watak tiranik dan hegemonik otoritas apapun yang tidak memberi ruang aktualisasi kepada semua golongan dan kelompok yang masih tak diakui sebagai elemen konstitutif dinegara ini. […]
Komentar
Posting Komentar